Jumat, 10 Juli 2015

Membongkar Kota dari Pulosari


Vincent Albert Samoel Rumahloine, 30 tahun punya cara lain membaca perkembangan Kota Bandung. Lewat 18 foto keluarga di Kampung Pulosari, RT09/RW15, Kelurahan Taman Sari, Kecamatan Bandung Wetan, Vincent menghadirkan kenyataan kehidupan di kota yang perputaran uangnya mencapai Rp7,7 triliun dalam triwulan pertama 2015.


Foto-foto tersebut dia bingkai dengan tajuk “Family Portrait”. Karya ini merupakan bagian ke dua dari proyek pribadinya yang dia beri judul “Melainkan Tentang Kamu”.

Seperti judul pameran tunggalnya, foto-foto yang Vincent hasilkan memang berupa foto keluarga. Idealnya, sebuah foto keluarga itu menampilkan keluarga inti dengan senyum di wajah objeknya. Seiring perjalanannya, lulusan Seni Keramik Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) ini sadar, konsep ideal itu hanya bayangannya belaka.

“Karena ternyata banyak juga keluarga yang bermasalah. Ada yang membesarkan anak sendiri, ada yang cerai, ada yang mengadopsi anak. Ternyata konsep keluarga itu benar-benar cair. Makanya konsep saya juga berubah,” ujar dosen desain grafis di Institut Teknologi Harapan Bangsa ini.

Tengok saja karya favoritnya, Sarinah dan Agus. Foto itu memperlihatkan Agus yang sedang mencium pipi ibunya. Foto itu mengambil latar di bawah Jalan Layang Pasteur Surapati. Mata Agus terpejam saat difoto. Sarinah yang menggunakan hijab seperti hendak menghadiri pengajian, merespon tindakan anaknya dengan senyum.

“Itu foto pertama saya di saat kacau. Hari pertama, tidak ada yang bisa saya foto, tapi kebetulan Agus dan ibunya bersedia. Waktu itu, saya datang, Agus langsung mencari ibunya. Ada lima foto, sedang berdiri, duduk, memeluk, dan mencium. Saya ambil yang sedang mencium,” kata Vincent yang mengenal Agus saat dia tinggal di Pulosari selama 1,5 bulan.

Agus, sambung Vincent merupakan potret salah satu pemuda yang kerap nongkrong di dekat lapangan ujung Kampung Pulosari. Perkenalannya itu membantu dia dalam proses pengambilan foto. “Saya ngobrol di sana kalau malam sampai kenal dengan Agus. Dia bilang memang nakal tapi kalau sudah dimarahin sama ibunya, tidak akan melawan,” tutur Vincent menirukan Agus.

Buat mengapresiasi karya-karya Vincent ini, pengunjung harus masuk ke dalam lingkungan Pulosari. Karya-karya, yang dicetak di atas kertas HVS ukuran A3 dan ditempel hingga berukuran 130x90 sentimeter, itu disebar dan ditempel di dinding rumah yang berdempetan.



Menikmati karya-karya ini seperti masuk ke dalam labirin di tengah kota. Lembabnya gang yang kurang terpapar matahari, aroma ikan asin, suara anak-anak kecil riuh rendah berkejaran, serta jemuran yang ada di depan mata merupakan bagian dari pengalaman mengapreasi pameran ini.

“Sengaja biar yang datang juga harus berinteraksi dengan masyarakat. Ya punten-punten kalau lewat karena memang seperti itulah kehidupan di sini. Kalau pameran di galeri, mungkin orang-orang di sini bingung harus seperti apa. Tapi biar saja orang-orang yang biasa ke galeri datang ke sini. Biar tidak ada batas atau rasa sungkan,” kata Vincent.

Salah satu contohnya adalah foto Neng dan Nunung, anaknya. Kedua perempuan ini berpose di ujung dapur yang juga bagian dari ruang keluarga, sekaligus ruang tamu dan tempat tidurnya. Makanya jangan heran kalau ada baso goreng yang menjadi barang jualan mereka, colokan listrik, kalender dari partai politik hingga poster film animasi Frozen di latar belakang fotonya.

Rata-rata rumah di Pulosari memang seperti itu karakternya. Memanfaatkan ruang semaksimal mungkin. Meski demikian, mayoritas objek yang difoto oleh Vincent memberikan senyuman malah sampai ada yang kelihatan giginya. “Saya perlihatkan foto-foto yang akan saya perbesar. Warga yang memilih sendiri. Sama seperti lokasi penempelan foto itu dibantu kawan-kawan Karang Taruna dan komunitas di sini,” imbuh Vincent,

Pilihan warna hitam putih seperti hasil fotokopi. Lokasi pemasangan foto yang dibiarkan terpapar hujan atau sinar matahari, mendekatkan karya-karya ini pada keseharian masyarakat di sana. Foto-foto itu rentan jika tidak ada yang menjaga. Sementara masyarakat di sana terbukti bisa mempertahankan diri dari berbagai dinamika kehidupan di kota. Namun bukan berarti peran serta pemerintah tidak diperlukan untuk membantu warga di sana.

Perlu proses tiga bulan bagi Vincent buat mendapatkan foto-foto itu. Satu persatu pintu rumah dia sambangi. Bersama Erna Susilawati, warga Pulosari sekaligus rekan Vincent di komunitas Rumah Cemara, mereka menceritakan proyeknya dan meminta kesediaan keluarga di sana untuk diabadikan momennya.

“Tidak semua juga bersedia. Ada yang alasan keluarga sedang tidak lengkap, ada juga yang sedang ribut, jadi kita menyingkir saja,” kenang Vincent dibenarkan Erna.

Perkenalan Vincent dengan tempat itu sudah berlangsung sejak 11 tahun silam. Saat itu, Jalan Layang Pasteur-Surapati baru berdiri. Berbekal kamera pinjaman dari kakaknya, mahasiswa baru ini berkeliling mencari objek foto human interest. “Dari sana mulai tertarik sampai akhirnya bisa berkegiatan lagi di sini,” ungkap Vincent mengenang perjalanannya menjadi relawan Rumah Cemara, organisasi berbasis komunitas yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS dan pecandu narkoba sejak tahun 2012 lalu.

Kawasan Pulosari sebuah wilayah di dekat pusat kota yang beresiko untuk penyebaran HIV/AIDS dan obat-obatan terlarang. Makanya tidak heran jika pada masa lalu, kolong jalan layang itu terkenal sebagai daerah pencurian, perjudian, hingga tawuran.

Inisiatif masyarakat yang membentuk komunitas guna menjaga lingkungan seperti Komunitas Kuya Gaya juga menarik perhatian Vincent. Apresiasinya itu dia sampaikan lewat karya berukuran 17x2,5 meter di bantaran Sungai Cikapundung. Karya itu memuat foto, setengah badan, tujuh orang pegiat komunitas di sana seperti Mang Han, Mang Ebek, Dian, Geboy, dan Jojo. “Mereka luar biasa. Membersihkan sungai dan berkegiatan yang intinya menggalang kepedulian anak muda, buat saya ini inspirasi,” imbuh Vincent.

Pameran ini sedianya digelar hingga hari Sabtu, tanggal 20 Juni 2015 lalu. Namun Vincent menyerahkan semuanya kepada warga di sana. Karena sebelum pameran selesai juga, sudah ada beberapa foto yang berpindah dari dinding di luar jadi masuk ke dalam rumah. “Mungkin mau dikoleksi, bebas-bebas saja,” kata Vincent yang salah satu fotonya dipamerkan dalam ajang OFFM Public Art Panels, Frankfurt, Germany saat ini. [Adi Marsiela]

Selasa, 24 Februari 2015

Sengkarut Sampah Kota Kembang-bagian 5-Habis

Solusi Terbaik Kurangi dan Olah Sampah dari Sumbernya

Senin, 27 Oktober 2014 lalu, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil baru saja meresmikan biodigester dan air siap minum di Gang Simpang, tepatnya dekat kantor RW07, Kelurahan Babakan Surabaya, Kecamatan Kiaracondong, Bandung. Biodigester berskala kelurahan itu mampu mengolah sampah organik, sejenis sayur-sayuran dan sisa makanan menjadi gas metan.

Saat peresmian, wali kota yang berlatar belakang arsitek profesional ini sempat menyaksikan ibu-ibu yang memasak memakai gas metan tersebut. “Alhamdulillah peresmian ini sebagai masa depan Kota Bandung, di mana sampah dan air hujan dapat dimanfaatkan,” kata Ridwan usai peresmian.

Biodigester yang bisa menampung sampah hingga 20 kubik ini rencananya bakal dibuat di 151 kelurahan di seluruh wilayah kota. Harapannya, masyarakat bisa mengelola sampah semenjak dari sumbernya. Sampah yang dimasukkan ke dalam kubah, berbentuk setengah bola di bagian atasnya ini, akan menghasilkan gas metan yang bisa dipakai untuk memasak atau energi listrik.

Wakil Wali Kota Bandung Oded M. Dahnial menyatakan pihaknya sudah menganggarkan dana Rp6 miliar di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan 2014 untuk pengadaan biodigester berkapasitas 20 ton per hari tersebut. Harapannya, alat pengolah sampah itu bisa disebar di setiap kecamatan.

Selain itu, sambung dia, pihaknya akan membagikan biodigester yang lebih kecil  dengan harga Rp10 juta hingga Rp20 juta per unit. Alat-alat tersebut akan disebar ke 9.691 satuan rumah tangga di Bandung. Harapannya, masyarakat bisa melakukan pengolahan sampah organik sejak dari tingkat rumah tangga.

Upaya ini merupakan salah satu alternatif untuk mengelola sampah di Bandung. Namun, pendekatan tersebut perlu dipikirkan keberlanjutannya.

Saat SP melihat langsung biodigester di Gang Simpang, dua hari setelah peresmian oleh wali kota, tidak ada kegiatan pemilahan apalagi pencacahan sampah organik di sana. Sambungan pipa gas yang sebelumnya dipakai untuk bahan bakar memasak tergantung. Tidak ada lagi sambungan ke kompor untuk ibu-ibu memasak apalagi ke rumah warga.

Ketua RW 07, Kelurahan Babakan Surabaya, Iwan Setiawan, 47 tahun, mengatakan, fasilitas biodigester yang diberi cuma-cuma oleh Dinas Tata Ruang Cipta Karya Kota Bandung itu memang belum dimanfaatkan secara maksimal. “Selain itu belum ada nilai ekonomisnya,” kata Iwan.

Sederhananya, ungkap Iwan, selama biodigester belum bisa memberikan nilai tambah ekonomi buat operator atau orang yang mengelolanya, maka fasilitas itu tidak akan digunakan secara maksimal oleh masyarakat. “Mending mengerjakan hal lain yang jelas ada uangnya buat menutupi kebutuhan sehari-hari,” kata Iwan sembari menambahkan saat ini ada dua operator di biodigester tersebut.

Gas metan yang keluar dari biodigester itu memang bisa untuk menyalakan genset berdaya 2.000 watt. Namun sebagian besar dayanya digunakan untuk mengoperasikan biodigester. “Sementara buat gas belum optimal karena tidak tersambung langsung ke warga. Seandainya tersambung juga hanya bisa beberapa rumah saja. Mau ada nilai ekonomi dari mana?” ungkap Iwan lagi.

Beda lubuk beda pula ikannya. Beda lokasi biodigester, beda pula hasilnya. Salah satu biodigester yang sudah berjalan pengelolaan sampahnya ada di RW 11 Kelurahan Cibangkong, Kecamatan Batununggal. Lokasinya tidak jauh dari Trans Studio Mal.

Dewi Kusmianti, 39 tahun, pengelola di sana mengungkapkan, pengolahan sampah organik untuk menjadi pupuk bisa berjalan dengan baik di sana. Namun untuk pemanfaatan gasnya, perlu ada perbaikan. “Biodigester ini sudah ada sejak tahun 2010. Pemberian CSR dari bank,” kata Dewi.

Keberadaan biodigester itu, sambung Dewi, bisa menampung sampah organik untuk kebutuhan satu RW atau 824 kepala keluarga. Setiap hari bisa terkumpul minimal 150 kilogram sampah organik di sana.

Setiap hari ada dua petugas yang berkeliling mengambil dan kemudian mengolah sampah tersebut. Mereka dibayar Rp475 ribu per bulan. Uang gaji mereka berasal dari iuran warga. Setiap rumah tangga wajib membayar Rp2 ribu setiap bulan. Apabila memiliki sambungan listrik harus membayar tambahan Rp3 ribu untuk retribusi sampah. “Mereka berdua bisa dapat uang tambahan dari sampah-sampah non organik seperti kemasan air mineral,” ujar Dewi yang memberikan pupuk cair hasil olahan biodigester secara cuma-cuma kepada yang membutuhkan.

Upaya paling penting dari kegiatan ini adalah memilah sampah sejak dari rumah. Indriyani Rachman, seorang mahasiswa program PhD di Course of Environment and Resources Systems di Graduate School of Environmental Engineering, The University of Kitakyushu, Jepang menyatakan, konsep pemilahan sampah serupa berlangsung di kota tempat dia belajar.

Meski harus berakhir di insenerator, sambung Indriyani, sampah dari masyarakat itu hampir 90 persen bisa didaur ulang. “Tidak musti berakhir di pembakaran. Di beberapa negara lain , ada yang menggunakan controlled landfill juga. Tentunya dengan kedisiplin nan tinggi,” kata Indriyani lewat surat elektroniknya.

Masyarakat di Kitakyushu, sambung Indriyani, awalnya memang tidak memiliki kesadaran tentang lingkungan. Kesadaran bermula dari para ibu rumah tangga yang merasa polusi udara serta air di kotanya memburuk sejak pendirian pabrik baja pada tahun 1901.

Berbekal kekhawatiran terhadap kesehatan suami dan anak-anaknya, para ibu-ibu di sana mendesak pemerintah dan pemilik pabrik untuk memperbaiki kondisi tersebut. Setelah 30 tahun berbenah, Kota Kitakyushu berubah menjadi bersih dan memiliki sarana pengelolaan limbah dan sampah yang sangat maju. Namun, sambung Indriyani, inti dari perubahan itu berawal dari tanggungjawab masyarakat untuk memelihara lingkungannya.

Saat ini, pengolahan sampah di sana diawali dengan memilah sampah organik, plastik kemasan, botol plastik, dan sampah kaca serta kaleng. Setiap jenis sampah itu diangkut dalam waktu yang berbeda. Sementara untuk buku, majalah, dan koran bekas disetor ke pusat pembelajaran kelurahan atau dikumpulkan di taman dekat rumah, seminggu sekali pada hari Sabtu.

Untuk pengolahan sampah anorganik, pemerintah menggandeng 27 jenis pabrik yang berbeda-beda. Semuanya dimiliki swasta namun tetap dikontrol pemerintah. Konsep ini disebut ecotown.

Menyoal penggunaan insenerator atau tungku pembakaran sampah, Indriyani mengungkapkan, pemerintah punya empat instalasi. Sampah yang masuk ke insenerator adalah sampah yang tidak dibawa ke ecotown.

Incinerator ini sepenuhnya dipantau oleh pemerintah dan pusat reseach dari 4 universitas, yang terus menerus mencari inovasi baru. Dengan berbagai penelitian dan hasil terbaik, saat ini asap yang dikeluarkan oleh incinerator benar benar asap yang ramah lingkungan . sedangkan gas dioxin nya disaring dan dimasukan ke adalam tabung dan dipindahkan ke pabrik pengolahan limbah gas. Jadi tidak ada asap yang mengotori udara kota. Tentunya ini menggunakan teknologi yang canggih,” tambah Indriyani.


Pengolahan sampah paling baik memang melibatkan seluruh masyarakat. Karena sampah bukan hanya urusan pemerintah belaka. Untuk memulainya juga cukup mudah. Bijaksana dalam mengonsumsi dan memilah sampah sejak dari rumah kita masing-masing.

Senin, 23 Februari 2015

Sengkarut Sampah Kota Kembang-bagian 4

Peluang Terbesar Membatalkan PLTSa

Wali Kota Bandung Ridwan Kamil masih bimbang dan ragu menentukan cara untuk mengatasi sampah di kotanya. Bola panas pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di kawasan Gedebage, kini ada di tangannya. 

Istilah PLTSa itu sebenarnya muncul dari Dada Rosada, Wali Kota Bandung periode 2008-2013. Tidak ada yang keliru dengan pembangkit listrik berbahan baku sampah. Pengolahan sampah menggunakan teknologi biodigester yang memanfaatkan proses gasifikasi dari sampah organik juga bisa dimanfaatkan sebagai energi listrik. 

Namun pilihan teknologi insenerator atau pembakaran sampah untuk 2,5 juta jiwa masyarakat Kota Bandung sudah ‘dikunci’ pada pengajuan teknologi dari Hangzhou Boiler Group. 

Semua ini berawal dari tawaran Pemerintah Kota Bandung yang membuka kesempatan bagi pihak swasta untuk menangani sampah pada tahun 2005 silam, selepas peristiwa longsor sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah. 

Tawaran pengelolaan sampah itu mendapatkan tanggapan dari 16 perusahaan swasta serta lembaga swadaya masyarakat. “Macam-macam tawarannya tapi tidak ada insenerator waktu itu,” kata Enri Damanhuri, Ketua Kelompok Keahlian Pengelolaan Udara dan Limbah Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung yang diminta tim penilai terkait berbagai tawaran teknologi itu. 

Enri mengaku dalam prosesnya, tim penilai mendapatkan titipan PT Bandung Raya Indah Lestari (BRIL) sebagai salah satu peserta. Padahal perusahaan tersebut sama sekali tidak hadir saat diundang mempresentasikan teknologi pengelolaan sampah yang ditawarkannya. “Jadi kami tidak bisa merekomendasikan,” ujarnya. 

Belakangan, Pemerintah Kota Bandung malah menandatangani nota kesepahaman tentang rencana pengolahan sampah menjadi energi listrik dengan PT BRIL pada tanggal 21 September 2005. “Waktu itu memang ada 16 pengusul, diseleksi lalu menjadi 9 pengusul, selanjutnya menjadi 3 pengusul dan membentuk konsorsium PT BRIL,” kata Direktur Utama PD Kebersihan Cece Iskandar merujuk kesepakatan tersebut. 


Dada Rosada lantas menerbitkan Surat Keputusan Walikota Bandung No: 658.1/kep.010-BAPPEDA/2012 tentang Penetapan Badan Usaha Pemrakarsa dan Pemberian Kompensasi Dalam Rangka Rencana Kerjasama Pembangunan Infrastruktur PSBTRL (pengelolaan sampah berbasis teknologi ramah lingkungan) melalui Mekanisme Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha pada tanggal 3 Januari 2012. 

Surat keputusan ini guna melegitimasi masuknya dana anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kota Bandung untuk pembangunan infrastruktur pengelolaan sampah. Buntutnya, Pemerintah Kota Bandung harus mengadakan lelang. 

Enri mengaku tidak tahu sama sekali mengenai proses tersebut. Padahal, dia adalah salah seorang yang diminta memeriksa studi analisis mengenai dampak lingkungan terkait dampak pembangunan PLTSa oleh PT BRIL.

Proses lelang itu diikuti 18 dari 26 perusahaan yang mengambil dokumen prakualifikasi. Beberapa perusahaan yang ikut proses ini, antara lain, CTCI Corporation. LTD, PT Godang Tua Jaya, PT GS Engineering Construction, PT JFE Engineering Indonesia, PT Navigat Organic Energy Indonesia, PT Sound Environment Resources Co., Ltd., dan PT BRIL. 

Para peserta harus melewati proses penilaian administrasi, komposisi peserta, bisnis, keuangan, dan masalah teknis. Selepas itu muncul tiga perusahaan hasil prakualifikasi, masing-masing, Sound Environment Resources Co, Ltd., PT. BRIL, dan CTCI Corporation. 

Setelah melalui proses panjang, Pemerintah Kota Bandung akhirnya menetapkan konsorsium PT BRIL dan Hangzhou Boiler Group sebagai pemenang lelang. Penetapan itu tercantum dalam Surat Panitia Pengadaan Badan Usaha Nomor:95/PL-TPSBTRL/VII/2013 perihal Laporan Hasil Evaluasi, tentang usulan penetapan pemenang lelang. Surat tersebut muncul pada bulan Juli 2013. Tender proyek ini diumumkan pada tanggal 23 Juli 2013 lalu lewat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Terkait proses ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengendus adanya praktik persaingan usaha tidak sehat. “Kami sedang periksa. Masuknya dari proses tender. Tidak bisa mengeluarkan pernyataan, masih terlalu dini (untuk menyatakan pelanggaran),” kata Ketua KPPU, M. Nawir Messi di Bandung bulan Oktober lalu. 

KPPU juga sudah memanggil Wali Kota Bandung periode 2013-2018, Ridwan Kamil untuk dimintai keterangannya. “Dimintai keterangan dari jam 1 sampai 5 sore,” tambah Messi yang mengundang saksi-saksi ahli untuk melihat proses tender tersebut dari berbagai sudut pandang, termasuk soal penetapan harganya. 

Indikasi korupsi dalam lelang ini menguat setelah Wali Kota Bandung Dada Rosada yang menggelar proses lelang ini menjadi terpidana kasus suap hakim terkait penyalahgunaan dana bantuan sosial Kota Bandung di masa kepemimpinannya. 

Satu-satunya upaya yang memiliki peluang paling besar guna membatalkan pembangunan PLTSa adalah keputusan KPPU. Messi membenarkan hal itu. “Bisa saja kalau ditemukan persaingan usaha tidak sehat,” tegas Messi. 

Menyoal pilihan teknologi, Guru Besar Lingkungan Hidup dari Universitas Katolik Parahyangan Asep Warlan Yusuf mengatakan, Undang-Undang no 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah hanya mencantumkan pemrosesan akhir sampah bisa dilakukan dengan teknologi ramah lingkungan. “Tanpa dijelaskan apakah itu incinerator, sanitary landfill yang penting ramah lingkungan. Apapun itu harus ramah lingkungan,” kata Asep. 

Pemerintah Kota Bandung saat ini sudah memiliki tiga peraturan daerah yang membahas pengolahan sampah. Dalam Peraturan Daerah nomor 09 tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah sama sekali tidak menyinggung perihal PLTSa. Hal serupa terlihat dalam Peraturan Daerah Kota Bandung nomor 14 tahun 2010 tentang Belanja Jasa Pengolahan Sampah Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan Melalui Mekanisme Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Badan Usaha. 

Satu-satunya aturan yang mendukung PLTSa itu hanyalah Peraturan Daerah no 18 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung tahun 2011-2013. Dalam pasal 77 disebutkan Kota Bandung akan mewujudkan sistem jaringan energi salah satunya dengan membangun prasarana listrik yang bersumber dari energi alternatif sampah di Gedebage. 

“Jika kita telaah peraturan daerah yang ada menekankan pengelolaan sampah itu harus berbasis reduse, reuse, dan recycle. Sampah ke TPA (tempat pemrosesan akhir) harus sekecil mungkin,” kata Asep. 

Terkait adanya klausul pembangunan prasarana listrik yang bersumber dari energi alternatif sampah, Asep mengungkapkan, masyarakat bisa meminta wali kota untuk memperhatikan aspek dampak lingkungan yang mungkin timbul apabila PLTSa itu dibangun dan digunakan. 

“Sekarang memang masih belum terjadi, tapi bisa diminta untuk dibatalkan karena potensi kerugian yang mungin timbul. Jadi konsepnya mencegah terjadi kerugian yang lebih besar,” papar Asep. 


Minggu, 22 Februari 2015

Sengkarut Sampah Kota Kembang-bagian 3

Pembakaran Sampah Meracuni Warga

Kamis, 29 November 2007, aparat Pemerintah Kota Bandung mengukur dan mematok lahan untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di Kelurahan Rancanumpang, Gedebage, Bandung. Lokasinya di samping Komplek Griya Cempaka Arum. Pengukuran dan pematokan itu berjalan lancar tanpa gangguan selama dua hari. 

Pada hari terakhir, saat malam hari, warga mencabuti dan membakar patok-patok tersebut. Dwi Retnastuti, sekarang 45 tahun, masih ingat kejadian malam itu. “Itu puncak-puncaknya menolak PLTSa. Beberapa warga dipanggil polisi dengan tuduhan mencuri patok,” katanya saat berbincang dengan SP akhir Oktober lalu. 

Ibu dari dua anak ini juga sempat menggalang kaum ibu dari sekitar kompleknya untuk membentangkan spanduk penolakan hingga menggelar doa bersama agar proyek itu dibatalkan. Aksi serupa mereka lakukan pada hari Rabu, tanggal 21 Mei 2008 saat Wali Kota Bandung Dada Rosada melakukan prosesi peletakan batu pertama pembangunan sarana olahraga Gedebage. 

Rena, demikian dia biasa disapa, yang saat aksi masih menggendong Rafi Taftanzani, putra bungsunya sempat dibawa ke kantor polisi akibat aksi ini. “Saya ditanya-tanya maksud dan tujuannya apa? Ya sudah jelas, menolak PLTSa,” kata dia. 

Perempuan yang aktif sebagai Ketua Forum Kader Lingkungan ini percaya pengelolaan sampah tidak mesti dengan cara dibakar lantas menghasilkan energi listrik. “Saya juga tidak percaya teknologinya aman,” tegas Rena.

Pemerintah Kota Bandung sebelumnya sudah menetapkan Konsorsium PT Bandung Raya Indah Lestari (BRIL) dengan Hangzhou Boiler Group sebagai pemenang lelang pengelolaan sampah Kota Bandung. Konsorsium ini menawarkan teknologi pembakaran sampah yang bisa menghasilkan energi listrik sebesar 7 megawatt. 

Bian Jun, insinyur Hangzou Boiler Group memaparkan, teknologi pengelolaan sampah yang mereka tawarkan bisa menangani sampah yang tidak terpilah dengan baik. Pembakaran sampah mereka akan menggunakan panas 850 derajat celcius dengan harapan menghasilkan energi kalor yang cukup untuk diubah menjadi energi listrik.

“Kami sudah memasok peralatan pembakaran sampah untuk 56 instalasi pembangkit listrik tenaga sampah di Tiongkok. Dari jumlah itu, sekitar 40 instalasi sudah beroperasi,” ungkap Jun saat memaparkan teknologinya di hadapan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, bulan Oktober 2014 lalu.

Komposisi sampah di Kota Bandung sekitar 70 persen merupakan sampah organik atau sampah basah. Karakter sampah basah itu tingkat kelembabannya tinggi serta nilai kalorinya rendah. Apabila energi kalornya tidak dijaga, maka target listrik yang dihasilkan tidak akan tercapai. 

Pada sisi lain, apabila suhu pembakaran lebih rendah dari 800 derajat celcius, maka sampah-sampah itu malah akan menimbulkan dioksin, sekelompok senyawa yang bersifat racun dan diketahui secara nyata sebagai faktor pemicu kanker. Apabila dioksin itu sudah lepas ke udara, maka senyawa tersebut bisa berpindah tempat tanpa ada batasannya. 

The US Environmental Protection Agency (EPA) pada tahun 1994 menyatakan dioksin merupakan senyawa organik paling beracun yang pernah manusia ketahui. Pengaruhnya sangat negatif terhadap resiko kesehatan bahkan dengan dosis yang sangat kecil yaitu 10-15 ppt (part per trillion), yang terakumulasi selama hidup. Berdasarkan hal tersebut, EPA menetapkan ambang batas dioksin yang diizinkan dalam tubuh manusia adalah sekitar 0,006 pikogram (seper juta-juta gram) per kilogram berat badan, atau sekitar 0,40  pikogram untuk seorang dewasa.

International Agency for Research on Cancer pada World Health Organization yang melakukan evaluasi dampak dioksin pada manusia dan hewan sejak tahun 1997 hingga 2007 membuat peringatan akan efek samping senyawa tersebut. Dioksin berbahaya bagi kesehatan tubuh. 

Yuyun Ismawati, anggota Global Alliance on Incinerator Alternatives menyoroti kemungkinan terjadinya pengelolaan pembakaran sampah yang tidak cermat di Indonesia dalam penggunaan insenerator tersebut. Menurut dia, Pemerintah Kota Bandung jangan membandingkan penerapan insenerator di Singapura dan Jepang. 

“Kita sendiri belum punya aturan-aturan baku mutu apa yang harus diikuti. Kalau mau buat insenerator di Bandung, mau memantau udaranya bagaimana? Baku muku mana yang harus diikuti? Kementerian Lingkungan Hidup juga belum ada panduan atau baku mutu dari insenerator sampah, yang ada baru industri dan batu bara. Padahal Keluaran abu (pembakaran) itu masuk kategori (limbah) B3 (bahan berbahaya dan beracun),” tegas Yuyun. 

Pengukuran kadar dioksin, sambung Yuyun, harus berjalan 24 jam setiap hari tanpa terputus. “Karena bakar sampah juga setiap hari,” urai Yuyun sembari menambahkan laboratorium untuk memeriksa kadar dioksin itu belum ada di Indonesia. 

Menyoal kekhawatiran pencemaran, Bian Jun menyatakan teknologi yang digunakan Hangzhou Boiler menjamin tidak akan ada pencemaran. Mereka akan memasang penyaring sehingga abu terbang dan gas buang sisa pembakaran benar-benar bebas polusi. “Sampah di Tiongkok dan Indonesia itu serupa, kami sudah bisa mengatasinya,” kata Jun lagi. 

Menariknya, biaya pengolahan sampah yang mereka tawarkan ini lebih rendah dari rata-rata biaya pengolahan sampah di negara-negara lain yang menggunakan insenerator. PT BRIL bersama Hangzhou Boiler Group dalam dokumen penawaran lelangnya mematok tipping fee atau biaya pengolahan sampah sebesar Rp350 ribu per ton. 

Ketua Kelompok Keahlian Pengelolaan Udara dan Limbah Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB), Enri Damanhuri mempertanyakan hal tersebut. “Rata-rata tipping fee untuk insenerator di luar negeri itu minimum 70 dolar Amerika untuk setiap tonnya. Kalau ini kenapa bisa lebih murah?” ungkap Enri yang hadir dalam presentasi Hangzhou Boiler Group di Aston Primera Hotel, Bandung. 

Enri secara pribadi tidak menolak penggunaan teknologi insenerator untuk pengelolaan sampah di Kota Bandung. “Ini ibarat kita mau menuju suatu tempat. Kita mau pakai Bajaj atau mau pakai Mercedez. Sama-sama sarana transportasi, tinggal mau pilih yang mana? Kalau saya pilih yang benar-benar bagus,” kata Enri. 

Sebagai warga yang tinggal berdekatan dengan lokasi calon PLTSa, Rena benar-benar berharap Pemerintah Kota Bandung mau memperhatikan kerisauan warga. “Penolakan ini tetap akan saya lakukan sampai batas maksimal yang bisa saya lakukan. Karena masih ada cara lain untuk mengelola sampah dengan baik,” kata Rena yang kerap didiamkan suaminya jika sudah pulang malam selepas konsolidasi dengan rekan-rekannya terkait penolakan PLTSa. 



Sabtu, 21 Februari 2015

Sengkarut Sampah Kota Kembang-bagian 2

Bandung Baru Sebatas Bersih di Mata

Pemerintah Kota Bandung berniat membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) sebagai upaya pengelolaan sampah bagi 2,5 juta penduduknya. Rencana ini mendapatkan penolakan dari aktivis lingkungan hidup dan warga yang tinggal di sekitar lokasi pembangunan PLTSa. 

Meski mendapatkan penolakan, pemerintah kota tidak bergeming. Mereka tetap maju dan sukses menggagas kerjasama pemerintah dan swasta atau public privat partnership (PPP) untuk membangun PLTSa di kawasan Gedebage, Bandung.  

Wali Kota Bandung Ridwan Kamil hingga saat ini belum mengambil keputusan terkait pembangunan PLTSa tersebut. Dia masih mempertimbangkan banyak hal. 

Sembari menanti keputusannya, Ridwan menggalang berbagai upaya pengelolaan sampah. Sayangnya, upaya itu masih sebatas urusan membersihkan sampah dari ‘pandangan’ mata dan memindahkannya ke tempat lain. 

Arsitek lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini menggelar setidaknya lima program terkait hal itu. Gebrakan pertamanya adalah menempatkan ratusan tempat sampah yang membagi sampah organik dan non organik. Sebagai pembedanya, dia menggunakan kantong kresek berwarna putih dan hijau. Kantong kresek itu diklaim berbahan dasar ramah lingkungan yang bisa terurai seiring berjalannya waktu. 

Program ini tidak berjalan dengan baik. Kenyataan di lapangan, banyak tempat sampah yang rusak dan tidak berbekas peyangganya. Setelah berjalan beberapa bulan, Ridwan mengganti tempat sampah itu dengan bentuk yang lebih ‘lucu’ seperti kodok yang membuka mulut. Lagi-lagi, upaya ini belum memperlihatkan hasil. 

Dia lantas merekrut sedikitnya 96 penyapu jalan yang terbagi dalam dua tim. Mereka bekerja di luar struktur PD Kebersihan yang memang sehari-hari memunguti sampah di Bandung. Penambahan penyapu jalan ini untuk membersihkan setidaknya 16 jalur jalan protokol serta jalur wisata di Bandung. “Tidak cukup kalau hanya mengandalkan pegawai kebersihan saja,” ujar Ridwan. 

Budiman, 60 tahun, seorang petugas penyapu jalan mengaku, dirinya mendapatkan bayaran Rp50 ribu setiap hari untuk pekerjaan ini. Dia bertugas selama enam jam setiap harinya. Jika masuk pada hari libur, maka dia mendapatkan bayaran Rp100 ribu. Apabila dirata-rata, Budiman mengaku bisa memperoleh pemasukan Rp1,3 juta per bulannya. 

“Buat saya yang penting pekerjaan ini halal. Anak saya ada tiga, istri juga bekerja. Perlu sama-sama bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup,” kata pria asal Sulawesi Selatan yang sudah 10 tahun terakhir ini menetap di Bandung. 

Setiap 10 hingga 15 penyapu ini, ada seorang pengawas yang berkeliling. Setiap pengawas bertugas memotivasi dan mengawasi kinerja dari para penyapu jalan yang sehari-hari memakai rompi hijau. 

Untuk kegiatan pengadaan tempat sampah dan penyapu jalan ini, Ridwan mengandalkan dana corporate social responsibility dari pengusaha yang ada di kotanya. 

Berdasarkan perhitungan Badan Perencanaan Pembangunan Kota Bandung, Ridwan memaparkan Bandung bisa bersih seperti Kota Singapura asal didukung pendanaan sedikitnya Rp80 triliun. Sementara anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kota Bandung hanya sekitar Rp5 triliun. “Itu juga setengahnya habis oleh gaji (pegawai negeri sipil),” ujar Ridwan sembari menegaskan pentingnya kolaborasi antara pengusaha dan pemerintah untuk membangun kota. 

Tidak cukup hanya itu, Ridwan menggagas Gerakan Pungut Sampah (GPS). Melalui gerakan yang dilakukan secara sukarela setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat selama setengah jam, Ridwan berharap masyarakat mau membersihkan kawasan radius 100 hingga 300 meter dari rumah, bangunan sekolah, serta kantornya.

Upaya ini dia lakukan untuk menumbuhkan kebiasaan atau budaya membuang sampah pada tempatnya kepada anak-anak sekolah. Bagi siswa sekolah serta pegawai negeri sipil. GPS merupakan sebuah imbauan yang belakangan menjadi sebuah kewajiban. “Kalau orang dewasa sudah tidak bisa dirubah, makanya kita mulai dari anak-anak. Kita luangkan waktu antara 10 sampai 30 menit melakukan GPS di lingkungan terdekat,” ungkap Ridwan. 

Program-program ini mendapatkan apresiasi meski bukan solusi untuk menuntaskan masalah sampah di Kota Bandung. Direktur Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi, David Sutasurya mengatakan, persoalan sampah harus dibenahi secara sistem. 

“Sekarang ini sampah baru dituntaskan sebatas tidak terlihat. Itu bukan solusi karena itu hanya memindahkan masalah dari satu tempat ke tempat lain, yaitu penampungan akhir,” ujar David.

Seharusnya, sambung pria yang aktif membantu Badan Pengelola Lingkungan Hidup Kota Bandung ini, pemerintah menyelesaikan kelembagaan yang mengelola sampah di Bandung. Saat ini, pemerintah hanya memiliki PD Kebersihan, sebuah perusahaan daerah yang tugas dan fungsinya mencari profit dari pengangkutan sampah dari tempat penampungan sementara ke tempat penampungan akhir. 

“Selepas itu ada masalah pembiayaan, teknis operasional pengelolaan sampah, penyusunan regulasi, dan peran serta masyarakat serta swasta. Selesaikan dulu lima masalah ini baru kita bicara teknologi,” kata David. 

Bersama lembaganya, David percaya, permasalahan sampah di Bandung bisa dituntaskan apabila pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengurangi sampah dari sumbernya. 

PD Kebersihan mencatat, produksi sampah di Bandung mencapai 1.200 hingga 1.500 ton per harinya. Dari jumlah itu, sekitar 70 persennya berupa sampah basah atau sampah organik. Apabila 70 persen sampah itu dikelola dengan baik lewat pengomposan dan pengolahan biodigester untuk menjadi gas, maka sebagian besar sampah itu sudah selesai ditangani.

Sisa sampahnya, sambung David, bisa dimaksimalkan dengan Bank Sampah seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang no 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Sampah-sampah tersebut bisa dikumpulkan dan dibeli oleh produsennya. Aturan itu tercantum dalam pasal 15 yang berbunyi, “Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam”. 

Terkait pembiayaan, Pemerintah Kota Bandung sama sekali tidak pernah mengalokasikan dana untuk pengelolaan sampah. Pada tahun 2014 saja, pemerintah memberikan subsidi Rp70 miliar kepada PD Kebersihan untuk urusan pengelolaan sampah di Tempat Pembuangan Akhir Sarimukti serta pengangkutan sampah dari tempat pembuangan sementara di Bandung ke Sarimukti. 

Menuntaskan permasalahan sampah ini memang membutuhkan usaha serius. David menilai kebijakan penerapan denda bagi orang yang membuang sampah sembarangan dalam Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 Pasal 49 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan Kota tidak akan berjalan efektif apabila masyarakat tidak mau merubah kebiasaannya. 

Denda itu tidak main-main. Bagi mereka yang membuang sampah ke luar kendaraan bisa dikenakan pembebanan biaya paksaan sebesar Rp250 ribu. Sementara bagi yang membuang sampah ke selokan, saluran air, tempat umum bisa dikenai denda hingga Rp5 juta. 

“Yang harus dimulai sekarang bukan buang sampah pada tempatnya, tapi jangan melakukan tindakan yang berpotensi menghasilkan sampah,” ungkap David. 


Jumat, 20 Februari 2015

Sengkarut Sampah Kota Kembang-bagian 1

Sudah lama tidak ada pembaruan dalam blog ini. 
Mendekati tanggal 21 Februari 2015, saya coba memuat tulisan yang dibuat pada bulan November 2014 lalu. Tulisan ini agak panjang dibandingkan biasanya. Saya akan menampilkannya secara bersambung dalam lima tulisan. Terima kasih buat Suara Pembaruan yang sudah memuatnya. Selamat menikmati.  
***

Masih ingat kasus longsor sampah? Ledakan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah tahun 2005 silam mengakibatkan sedikitnya 147 jiwa melayang. Kejadian ini membuka mata banyak pihak dan menjadi salah satu faktor pemicu lahirnya Undang-undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah di Indonesia. 

Hampir satu dekade pasca longsor itu, Pemerintah Kota Bandung mengusulkan penggunaan insenerator atau tungku pembakaran sebagai solusi memusnahkan sampah. Tulisan bersambung ini berupaya menampilkan wacana pro dan kontra di masyarakat serta solusi pengelolaan sampah berkelanjutan. Harapannya tulisan-tulisan ini memberikan inspirasi pengelolaan sampah yang ramah lingkungan. 

Sengkarut Sampah Kota Kembang 

Tini Rostini, 60 tahun, membiarkan wajahnya terbakar matahari. Perawakan badannya yang mungil tidak membuatnya kecil hati. Dia tetap berupaya menyeruak di antara para pria. Berbekal karung plastik di tangan kanannya, perempuan asal Majalaya ini  sigap memisahkan gelas plastik bekas minuman  dalam kemasan dari antara timbunan sampah di hadapannya. 

Tini mencari dan memungut kantong kresek serta kemasan plastik dari timbunan sampah. Hasil pencariannya dia simpan ke karung di pundak kanannya. Lima tahun terakhir, kegiatan ini menjadi keseharian Tini. Ibu dari lima orang anak ini mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari dari hasil penjualan ‘sampah’ yang sudah dipilahnya. 

Sebagian orang menyebutnya sebagai pemulung sampah. Tini tidak jengah dengan predikat itu. “Lima anak saya sudah bekerja dan keluar dari sini,” kata Tini yang sehari-hari bekerja di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. 

Dia tidak sendirian. Ada sedikitnya 200 pemulung lain yang menyambung hidupnya di tempat seluas 25 hektare itu. Mereka memunguti sampah-sampah yang memiliki nilai jual. “Paling tinggi itu bekas botol minuman dalam kemasan. Harganya bisa mencapai Rp1.500 per kilogram,” ungkap Tini yang setiap bulannya rata-rata mendapatkan pemasukan antara Rp2 juta hingga Rp3 juta dari tempat sampah terbesar di Bandung sejak tahun 1970-an. 

TPA ini memang memberikan kehidupan bagi ratusan pemulung, belum lagi para pengepul atau bandar plastik. Pada saat yang sama, TPA juga bisa mengakibatkan kematian. Setidaknya itu yang terjadi pada tanggal 21 Februari 2005 di TPA Leuwigajah, lokasi pembuangan sampah dari Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung.

Ledakan akibat akumulasi gas metan dari sampah yang menumpuk hingga belasan meter menjadi pemicu longsor. Timbunan sampah yang tampak seperti bukit itu luluh lantak. Menerjang semua yang ada di hadapannya, termasuk para pemulung yang bermukim di sana. Setidaknya 147 orang kehilangan nyawanya akibat kejadian ini. Sebagian besar jenazah malah direlakan terkubur karena tidak berhasil dievakuasi. 

Usai kejadian ini, sampah di Kota Bandung sempat dibiarkan tertumpuk di ruas-ruas jalan. Sama sekali tidak diangkut selama 41 hari. Alasannya, tidak ada lokasi pembuangan akhir. 

Berharap tragedi ini tidak terulang, pemerintah lewat Kementerian Lingkungan Hidup mencanangkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Peduli Sampah. Ironisnya, satu dekade setelah kejadian itu, Pemerintah Kota Bandung masih belum bisa menuntaskan persoalan sampah di kotanya. 

Direktur PD Kebersihan Kota Bandung Cece Iskandar menyatakan, TPA Sarimukti hanya bisa digunakan hingga pertengahan tahun 2016 mendatang. Hal ini berkaitan dengan semakin bertambahnya sampah yang masuk sementara luasan lahan semakin terbatas. “Perhitungan itu setelah sampahnya dipadatkan,” kata Cece. 

Semenjak tahun 1972, Pemerintah Kota Bandung sudah menggunakan setidaknya enam TPA. Masing-masing, TPA Cicabe (4,6 hektare) pada tahun 1972-1987, TPA Cieunteung (3,7 hektare) pada tahun 1978-1984, TPA Pasir Impun (3,2 hektare) pada tahun 1989-2000, TPA Leuwi Gajah (17,5 hektare) pada tahun 1987-2005, TPA Jelekong (10 hektare) pada tahun 1991-2005, TPA Cikubang (17,5 hektare) pada tahun 2006, serta TPA Sarimukti (25 hektare) sejak tanggal 28 Mei 2006 hingga sekarang. 

Cece mengaku, pihaknya sudah mencari 13 lahan buat TPA pengganti namun upaya itu nihil. Sebagai alternatifnya, pemerintah menawarkan solusi berupa pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Gedebage, Bandung. “Kami butuh lahan yang tidak luas tapi berkesinambungan dengan teknologi tinggi ramah lingkungan,” terang Cece sembari menambahkan pilihannya kemungkinan besar jatuh pada penggunaan insenerator untuk menghasilkan panas yang bisa dikonversi jadi energi listrik.

Pengusulan teknologi itu hadir sejak tahun 2006 silam saat Kota Bandung masih dipimpin Wali Kota Dada Rosada. Saat itu, ada 16 pengusul yang mengajukan proposal pengelolaan sampah Kota Bandung. Dari 16 pengusul itu, tawaran solusinya dengan pembuatan kompos, landfill, insenerator dan sebagainya. “Akhirnya ada 4 pengusul, yang 3 kemudian membentuk konsorsium PT BRIL (Bandung Raya Indah Lestari) yang mengusulkan insenerator,” terang Cece. 

Kalangan aktivis lingkungan hidup dan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi PLTSa menolak rencana ini. Pemerintah Kota Bandung sendiri sudah menandatangani nota kesepahaman dengan PT BRIL untuk pengelolaan sampah tersebut pada tanggal 21 September 2005. Perusahaan itu juga sudah menggelar studi kelayakan pada tahun 2007 dan mendapatkan analisa mengenai dampak lingkungan (Amdal) pada tahun 2008. “Hasilnya pembangunan PLTSa layak buat dilaksanakan,” kata Cece. 

Meski demikian, Guru Besar Teknik Lingkungan dari Institut Teknologi Bandung Enri Damanhuri mempertanyakan hasil studi kelayakan dan Amdal. Dosen berambut putih yang menjadi tim pakar untuk PLTSa itu menyatakan, studi Amdal tersebut belum menyertakan rencana penggunaan pendingin buat insenerator. 

Dia mengilustrasikan insenerator itu ibarat mesin mobil yang membutuhkan pendingin agar tidak meledak. “Sekali berjalan harus operasional 365 hari dalam setahun, tidak boleh berhenti. Bagaimana pasokan air untuk mendinginkannya?” kata Enri.

Kebutuhan air untuk mendinginkan itu, sambung Enri, sudah dia pertanyakan sejak pertama kali melihat laporan pra studi kelaikan PLTSa tersebut. Saat itu, kebutuhan airnya disebutkan mencapai debit 10 hingga 15 liter per detik. “Itu setara dengan kebutuhan air untuk kota berpenduduk sekitar 70 ribu jiwa,” ujar Enri.

Pengembang mencantumkan pengambilan air dari pengolahan air limbah yang dikelola PDAM Tirta Wening di Bojongsoang untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Masalahnya, jarak antara lokasi penampungan air limbah ke kawasan Gedebage mencapai 13 kilometer.

“Mengambil dari satu titik, perlu diperhatikan mobilisasi airnya. Apakah petani yang selama ini menggunakan air dari sana tidak akan terkena dampak? Lalu bagaimana pembuangan air kotornya?” ungkap Enri lagi.

Ketua Kelompok Keahlian Pengelolaan Udara dan Limbah Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB ini juga menyatakan semua teknologi bisa mengatasi sampah. Yang membedakan adalah pilihan teknologi dan harganya.

Terkait pengoperasian PLTSa, Enri mengambil contoh Singapura yang terbilang berhasil membakar sampahnya menjadi energi. “Mereka menghasilkan 17 megawatt energi listrik dari per 1.000 ton sampah yang masuk. Itu kecil padahal sampahnya sudah terseleksi,” ujar Enri sembari membandingkan karakter sampah di Bandung yang cenderung basah dan diperkirakan hanya bisa menghasilkan energi listrik hingga 5 megawatt untuk tonase sampah yang sama.


Hingga saat ini, Wali Kota Bandung periode 2013-2018 Ridwan Kamil masih belum menentukan teknologi atau upaya pengelolaan sampah untuk Kota Bandung. Pertimbangan yang matang sangat diperlukan agar pengelolaan sampah ini memberikan kesejahteraan bukan bencana bagi warga kota yang jumlahnya sekitar 3,5 juta jiwa. 

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...