Jumat, 20 Februari 2015

Sengkarut Sampah Kota Kembang-bagian 1

Sudah lama tidak ada pembaruan dalam blog ini. 
Mendekati tanggal 21 Februari 2015, saya coba memuat tulisan yang dibuat pada bulan November 2014 lalu. Tulisan ini agak panjang dibandingkan biasanya. Saya akan menampilkannya secara bersambung dalam lima tulisan. Terima kasih buat Suara Pembaruan yang sudah memuatnya. Selamat menikmati.  
***

Masih ingat kasus longsor sampah? Ledakan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah tahun 2005 silam mengakibatkan sedikitnya 147 jiwa melayang. Kejadian ini membuka mata banyak pihak dan menjadi salah satu faktor pemicu lahirnya Undang-undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah di Indonesia. 

Hampir satu dekade pasca longsor itu, Pemerintah Kota Bandung mengusulkan penggunaan insenerator atau tungku pembakaran sebagai solusi memusnahkan sampah. Tulisan bersambung ini berupaya menampilkan wacana pro dan kontra di masyarakat serta solusi pengelolaan sampah berkelanjutan. Harapannya tulisan-tulisan ini memberikan inspirasi pengelolaan sampah yang ramah lingkungan. 

Sengkarut Sampah Kota Kembang 

Tini Rostini, 60 tahun, membiarkan wajahnya terbakar matahari. Perawakan badannya yang mungil tidak membuatnya kecil hati. Dia tetap berupaya menyeruak di antara para pria. Berbekal karung plastik di tangan kanannya, perempuan asal Majalaya ini  sigap memisahkan gelas plastik bekas minuman  dalam kemasan dari antara timbunan sampah di hadapannya. 

Tini mencari dan memungut kantong kresek serta kemasan plastik dari timbunan sampah. Hasil pencariannya dia simpan ke karung di pundak kanannya. Lima tahun terakhir, kegiatan ini menjadi keseharian Tini. Ibu dari lima orang anak ini mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari dari hasil penjualan ‘sampah’ yang sudah dipilahnya. 

Sebagian orang menyebutnya sebagai pemulung sampah. Tini tidak jengah dengan predikat itu. “Lima anak saya sudah bekerja dan keluar dari sini,” kata Tini yang sehari-hari bekerja di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. 

Dia tidak sendirian. Ada sedikitnya 200 pemulung lain yang menyambung hidupnya di tempat seluas 25 hektare itu. Mereka memunguti sampah-sampah yang memiliki nilai jual. “Paling tinggi itu bekas botol minuman dalam kemasan. Harganya bisa mencapai Rp1.500 per kilogram,” ungkap Tini yang setiap bulannya rata-rata mendapatkan pemasukan antara Rp2 juta hingga Rp3 juta dari tempat sampah terbesar di Bandung sejak tahun 1970-an. 

TPA ini memang memberikan kehidupan bagi ratusan pemulung, belum lagi para pengepul atau bandar plastik. Pada saat yang sama, TPA juga bisa mengakibatkan kematian. Setidaknya itu yang terjadi pada tanggal 21 Februari 2005 di TPA Leuwigajah, lokasi pembuangan sampah dari Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung.

Ledakan akibat akumulasi gas metan dari sampah yang menumpuk hingga belasan meter menjadi pemicu longsor. Timbunan sampah yang tampak seperti bukit itu luluh lantak. Menerjang semua yang ada di hadapannya, termasuk para pemulung yang bermukim di sana. Setidaknya 147 orang kehilangan nyawanya akibat kejadian ini. Sebagian besar jenazah malah direlakan terkubur karena tidak berhasil dievakuasi. 

Usai kejadian ini, sampah di Kota Bandung sempat dibiarkan tertumpuk di ruas-ruas jalan. Sama sekali tidak diangkut selama 41 hari. Alasannya, tidak ada lokasi pembuangan akhir. 

Berharap tragedi ini tidak terulang, pemerintah lewat Kementerian Lingkungan Hidup mencanangkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Peduli Sampah. Ironisnya, satu dekade setelah kejadian itu, Pemerintah Kota Bandung masih belum bisa menuntaskan persoalan sampah di kotanya. 

Direktur PD Kebersihan Kota Bandung Cece Iskandar menyatakan, TPA Sarimukti hanya bisa digunakan hingga pertengahan tahun 2016 mendatang. Hal ini berkaitan dengan semakin bertambahnya sampah yang masuk sementara luasan lahan semakin terbatas. “Perhitungan itu setelah sampahnya dipadatkan,” kata Cece. 

Semenjak tahun 1972, Pemerintah Kota Bandung sudah menggunakan setidaknya enam TPA. Masing-masing, TPA Cicabe (4,6 hektare) pada tahun 1972-1987, TPA Cieunteung (3,7 hektare) pada tahun 1978-1984, TPA Pasir Impun (3,2 hektare) pada tahun 1989-2000, TPA Leuwi Gajah (17,5 hektare) pada tahun 1987-2005, TPA Jelekong (10 hektare) pada tahun 1991-2005, TPA Cikubang (17,5 hektare) pada tahun 2006, serta TPA Sarimukti (25 hektare) sejak tanggal 28 Mei 2006 hingga sekarang. 

Cece mengaku, pihaknya sudah mencari 13 lahan buat TPA pengganti namun upaya itu nihil. Sebagai alternatifnya, pemerintah menawarkan solusi berupa pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Gedebage, Bandung. “Kami butuh lahan yang tidak luas tapi berkesinambungan dengan teknologi tinggi ramah lingkungan,” terang Cece sembari menambahkan pilihannya kemungkinan besar jatuh pada penggunaan insenerator untuk menghasilkan panas yang bisa dikonversi jadi energi listrik.

Pengusulan teknologi itu hadir sejak tahun 2006 silam saat Kota Bandung masih dipimpin Wali Kota Dada Rosada. Saat itu, ada 16 pengusul yang mengajukan proposal pengelolaan sampah Kota Bandung. Dari 16 pengusul itu, tawaran solusinya dengan pembuatan kompos, landfill, insenerator dan sebagainya. “Akhirnya ada 4 pengusul, yang 3 kemudian membentuk konsorsium PT BRIL (Bandung Raya Indah Lestari) yang mengusulkan insenerator,” terang Cece. 

Kalangan aktivis lingkungan hidup dan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi PLTSa menolak rencana ini. Pemerintah Kota Bandung sendiri sudah menandatangani nota kesepahaman dengan PT BRIL untuk pengelolaan sampah tersebut pada tanggal 21 September 2005. Perusahaan itu juga sudah menggelar studi kelayakan pada tahun 2007 dan mendapatkan analisa mengenai dampak lingkungan (Amdal) pada tahun 2008. “Hasilnya pembangunan PLTSa layak buat dilaksanakan,” kata Cece. 

Meski demikian, Guru Besar Teknik Lingkungan dari Institut Teknologi Bandung Enri Damanhuri mempertanyakan hasil studi kelayakan dan Amdal. Dosen berambut putih yang menjadi tim pakar untuk PLTSa itu menyatakan, studi Amdal tersebut belum menyertakan rencana penggunaan pendingin buat insenerator. 

Dia mengilustrasikan insenerator itu ibarat mesin mobil yang membutuhkan pendingin agar tidak meledak. “Sekali berjalan harus operasional 365 hari dalam setahun, tidak boleh berhenti. Bagaimana pasokan air untuk mendinginkannya?” kata Enri.

Kebutuhan air untuk mendinginkan itu, sambung Enri, sudah dia pertanyakan sejak pertama kali melihat laporan pra studi kelaikan PLTSa tersebut. Saat itu, kebutuhan airnya disebutkan mencapai debit 10 hingga 15 liter per detik. “Itu setara dengan kebutuhan air untuk kota berpenduduk sekitar 70 ribu jiwa,” ujar Enri.

Pengembang mencantumkan pengambilan air dari pengolahan air limbah yang dikelola PDAM Tirta Wening di Bojongsoang untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Masalahnya, jarak antara lokasi penampungan air limbah ke kawasan Gedebage mencapai 13 kilometer.

“Mengambil dari satu titik, perlu diperhatikan mobilisasi airnya. Apakah petani yang selama ini menggunakan air dari sana tidak akan terkena dampak? Lalu bagaimana pembuangan air kotornya?” ungkap Enri lagi.

Ketua Kelompok Keahlian Pengelolaan Udara dan Limbah Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB ini juga menyatakan semua teknologi bisa mengatasi sampah. Yang membedakan adalah pilihan teknologi dan harganya.

Terkait pengoperasian PLTSa, Enri mengambil contoh Singapura yang terbilang berhasil membakar sampahnya menjadi energi. “Mereka menghasilkan 17 megawatt energi listrik dari per 1.000 ton sampah yang masuk. Itu kecil padahal sampahnya sudah terseleksi,” ujar Enri sembari membandingkan karakter sampah di Bandung yang cenderung basah dan diperkirakan hanya bisa menghasilkan energi listrik hingga 5 megawatt untuk tonase sampah yang sama.


Hingga saat ini, Wali Kota Bandung periode 2013-2018 Ridwan Kamil masih belum menentukan teknologi atau upaya pengelolaan sampah untuk Kota Bandung. Pertimbangan yang matang sangat diperlukan agar pengelolaan sampah ini memberikan kesejahteraan bukan bencana bagi warga kota yang jumlahnya sekitar 3,5 juta jiwa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...