Jumat, 12 September 2008

Keroncong Menggugat

Yoga dan Nedi tidak akan pernah melupakan pengalamannya membuka konser kelompok musik The Titans di Lapangan Tegallega, medio 2007 lalu. “Dilempari penonton soalnya,” kata Yoga kepada SP, Kamis (28/8) lalu.

Mereka tidak hanya berdua, melainkan bertujuh saat tampil menjadi pembuka di konser tersebut. Nedi, sang vokalis sebenarnya sudah banyak dikenal lewat grup musiknya, PHB (Pemuda Harapan Bangsa) yang sering membawakan lagu-lagu dangdut melayu. Seperti Pancaran Sinar Petromax di era tahun ’80-an. “Tetap saja dilemparin, biar Nedi sudah di depan juga,” tambah Yoga.
Ketika tampil itu, mereka bukan mengusung nama PHB, melainkan Gurame Edan. 

Musik yang diusungnya pun jauh berbeda. Mereka memang sengaja memainkan lagu-lagu yang sudah terkenal dengan nuansa keroncong. “Sulit untuk memainkan lagu keroncong sesuai pakem. Makanya kita main dengan nuansanya saja,” papar Yoga yang juga anggota PHB.
Gaya bermusik Gurame Edan memang unik, sesuai dengan nama grup musiknya yang tidak lazim. Lihat saja mereka saat tampil dalam acara Repoeblik Kerontjong Indonesia di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, pekan lalu. 

Mengenakan kaos oblong putih dengan celana jins selutut, Nedi membuka penampilannya lewat lagu Rolling Stones, ‘She’s a Rainbow’. Dia diiringi oleh Rai (celo), Barkah (gitar), Yuda (biola), Daris (cuk), Dela (cak), dan Yoga yang membetot senar sembari duduk di bagian sisi kontra bas-nya.



Posisi bermain Daris dan Barkah pun tampak tidak biasa. Keduanya jongkok di atas kursi. “Kita bukan gaya, tapi kursinya kekecilan,” kata Yoga mencari pembenaran buat gayanya.

Mereka juga ternyata bisa membawakan lagu Bob Marley ‘Redemption Song’ dengan nuansa keroncong. Pasalnya, dalam lagu itu ada permainan harmonik dari gitar melodi, gedugan celo, dan gerakan kencrungan variable harmonik ukulele (cuk atau crung). 

Harmonisasi antara ketiga instrumen musik itu semakin terasa kala mereka mempersembahkan lagu ‘Bandar Jakarta’. “Buat kita semua jenis musik itu untuk diapresiasi,” kata Yoga mengungkapkan ketertarikannya soal musik jenis keroncong.

Semangat mengapresiasi ini ternyata ditangkap oleh Bambang Subarnas, Ketua Pelaksana Repoeblik Kerontjong Indonesia. Setidaknya, dalam penampilan mereka kali ini, Gurame Edan disambut oleh tepuk tangan bukan lemparan batu.

Keroncong Tugu yang diyakini sebagai protipe awal musik keroncong Indonesia juga tampil dalam acara ini. Hanya saja harinya berbeda. “Kami ini generasi ke-10 dari Keroncong Tugu,” kata Ages yang memainkan biola.

Berbeda dengan Nedi dan kawan-kawan, komposisi yang dibawakan oleh Ages dan kawan-kawannya, kebanyakan lagu-lagu yang sudah biasa mereka bawakan di Kampung Tugu, Cilincing, Jakarta Utara seperti ‘Keroncong Tugu’, ‘Moritzku’, dan ‘Cafrinho’.

“Lagu dari Tugu biasanya lebih cepat karena digunakan untuk pesta, menari,” ungkap Andre Juan Michiels yang dipercaya menjadi koordinator atau Ketua Ikatan Keluarga Besar Toegoe.

Andre menuturkan kelompoknya memang sengaja tampil dengan membawa serta dua anak kecil yang memainkan biola dan cuk. “Ini tanggungjawab bersama untuk menjaga,” papar dia.

Andre sendiri merupakan satu dari lima bersaudara Michiels dari ratusan warga keturunan tentara Portugis yang menjadi tawanan saat Malaka jatuh ke tangan VOC (kongsi dagang Belanda) sekitar tahun 1590.

Tentara Portugis yang berasal dari Bengali, Malabar, dan Goa, itu ditawan dan dibawa ke Batavia. Baru sekitar 1661 mereka dimerdekakan dan diberi tempat di sebelah timur Batavia, yang saat kini secara administratif berada di Kelurahan Tugu, Cilincing, Jakarta Utara.

Agama mereka diganti oleh VOC dari Katolik menjadi Protestan dan dipanggil dengan sebutan kaum Mardijkers yang dalam bahasa Indonesia, artinya dimerdekakan.

Kaum Mardijkers itu kemudian dibagi menjadi belasan fam berdasarkan keturunannya dengan nama Belanda. Namun kini hanya enam fam yang tersisa, yaitu Michiels, Andries, Abrahams, Browne, Quiko, dan Cornelis, yang merupakan keturunan kesembilan tentara Portugis itu.

Sebagaimana budak-budak asal Afrika di Amerika yang di kala senggang usai menggarap ladang atau berburu mengisi waktunya dengan bermain musik blues, yang menjadi musik ratapan kaum tertindas, begitu pula dengan kaum Mardijkers. Dengan peralatan sederhana berupa alat musik petik mirip gitar kecil berdawai lima, yang disebut matjina (ukulele) serta djitera (gitar), suling, dan rebana, mereka memainkan lagu-lagu berbahasa Portugis.

Karena musik yang mereka bawakan didominasi suara 'crong crong crong' dari ukulele, jadilah musik mereka oleh masyarakat sekitarnya disebut keroncong, yang sampai sekarang masih bisa dinikmati.
Pakar musik Suka Hardjana mengungkapkan keroncong adalah jenis musik yang memiliki teknik permainan, karakter, dan selera musik lokal Indonesia. Artinya, sambung alumnus Akademi Musik Detmold (Jerman Barat) ini, jenis musik tersebut tidak dijumpai di tempat lain, kecuali di Indonesia.
“Saya sudah ke pelosok-pelosok, (musik keroncong) tidak ada di Portugal,” tegas dia. 

Suka sendiri memilih untuk tidak mempermasalahkan dari mana asalnya musik keroncong. Dia sepakat dengan pendapat yang menyatakan keroncong itu berasal dari kesan bunyi salah satu alat musiknya.

Menurut Suka, musik keroncong ini sebenarnya baru berkembang di awal abad 20.

Meskipun telah mengalami banyak perkembangan, Suka menilai keroncong tetap memiliki aura sendiri, misalnya instrumen gesek celo dan bas dalam musik ini dimainkan dengan cara dipetik.  “Main keroncong itu cukup ada gitar melodi, celo, dan kencrungan ukulele, maka bisa dapat nuansanya,” papar dia dalam diskusi Repoeblik Kerontjong Indonesia yang digelar untuk memperingati 10 tahun lahirnya grup Keroncong Merah Putih ini.

Selain menampilkan pertunjukan dan diskusi, acara yang digelar sejak Rabu (27/8) hingga Sabtu (30/8) ini juga berupaya mengaktualisasikan kembali perjalanan musik keroncong di Indonesia. 

Menyusun satu per satu bagian, seperti membuat bunga rampai. Makanya, dalam acara itu juga ada pameran artefak keroncong seperti alat musik, kostum panggung, piringan hitam, foto-foto pertunjukan, pemutaran film dokumenter, dan lokakarya ‘Musik Tradisi dan Tradisi Musik’ bersama Sujiwo Tedjo. 

Semoga saja dengan diadakannya acara ini di gedung yang membuat Soekarno terkenal dengan pembelaannya yang berjudul ‘Indonesia Menggugat’, maka keberadaan musik keroncong pun akan semakin dikenal. 

Suka Hardjana pun mengajak seluruh warga Indonesia untuk sedikitnya mendengarkan lagu keroncong. “Berkeronconglah saudaraku, sebelum keroncong diklaim Malaysia,” katanya menandaskan. [SP/Adi Marsiela]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...