Jumat, 28 Desember 2007

Pesona di Atas Danau

 “Sometimes words are hard to find

i'm looking for that perfect line

to let you know you're always on my mind

yeah, this is love - and i've learned enough to know 
i'm never letting go 
no, no, no - won't let go,…”
 

Lantunan lagu berjudul 'The Best of Me' dari dalam pemutar kaset di KM Lake Toba Cruise 2 itu seakan-akan mengerti dengan apa yang tengah saya alami. Bryan Adams sendiri, menyanyikan lagu tersebut untuk menceritakan sesuatu yang indah dalam hidup tidaklah akan dilepaskan atau dilupakannya. 

Saat mendengar lagu itu, saya tengah berada di kapal motor meyeberang ke Pulau Samosir di kawasan Danau Toba dari Parapat (disebut pula Prapat). Menarik memang menikmati keindahan pemandangan alam, terlebih ini kunjungan pertama saya ke danau vulkanik terbesar di Asia Tenggara. Apalagi letaknya merupakan yang tertinggi di dunia.  

Pulau Samosir yang saya tuju memiliki panjangnya sekitar 130 kilometer. Apabila ada waktu lebih, kita dapat mengelilinginya lewat perjalanan darat. “Pulau di atas pulau dan danau di atas danau,” demikian slogan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk mempromosikan dunia pariwisatanya.  

Merunut pada tulisan seorang ahli geologi asal Jerman, Van Bemmelen, pulau itu terbentuk akibat letusan Gunung Toba ratusan abad silam. Secara teori, papar dia, letusan Tumor (gunung) Toba waktu itu merupakan letusan terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah manusia.  

Buktinya bisa ditemukan pada struktur kawasan yang berbatu-batu. Diyakini, dulunya sedimen pulau ini berada di bagian bawah gunung, yang karena pergeseran tektonik akhirnya bergerak ke permukaan saat letusan terjadi. Aktifitas gunung api sendiri bis ditemukan di bagian barat pulau ini yang ditandai dengan munculnya titik-titik air panas. 

Samosir sendiri adalah pulau yang berada di tengah Danau Toba. Dia berada pada ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Memasuki tahun 2004, Samosir menjadi sebuah kabupaten tersendiri dengan sembilan kecamatan. Sebelumnya, masih menjadi bagian Kabupaten Tapanuli Utara Kawasan ini pun terdiri atas 9 kecamatan, yakni;. 

Untuk menuju ke sana, saya memulainya dari Parapat, sebuah kota tujuan wisata di tepi Danau Toba. Kota ini berada di wilayah Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Jaraknya sekitar 48 kilometer dari Pematangsiantar. Parapat menjadi salah satu titik persinggahan penting dari Jalan Raya Lintas Sumatera bagian barat yang menghubungkan Kota Medan dengan Kota Padang.  

Menyeberang dengan perahu motor dari pelabuhan Tiga Raja, Parapat ke Samosir memakan waktu antara setengah hingga satu jam. Masyarakat sekitar yang menggunakan motor, bus, dan truk pengangkut barang, bisa menyeberang dengan kapal feri yang nantinya bersandar di dermaga Aji Bata tiap tiga jam sekali. 

“Tarif kendaraan roda empat untuk sekali menyeberang Rp 78 ribu, sedangkan penumpang biasa hanya dikenai Rp 1.500,” tutur M. Idris Nasution yang memandu perjalanan wisata saya dan rekan-rekan jurnalis dari Jakarta

Di sela-sela perjalanan menyeberang, Idris sempat menceritakan asal muasal terjadinya Danau Toba. Cerita ini berawal ketika seorang pemuda yatim piatu pergi memancing. Kegiatan ini merupakan salah satu mata pencahariannya selain bertani. Maklum dia pemuda yang miskin.  

Ketika memancing, dia mendapatkan ikan tangkapan yang aneh. Ikan itu besar dan sangat indah. Warnanya keemasan. Dibawanya ikan itu ke rumahnya. Ketika dia tinggalkan, ikan itu berubah menjadi seorang putri yang cantik. Singkat cerita, ikan itu mengaku dirinya telah dikutuk dewata dan bisa berubah menjadi manusia karena sudah disentuh oleh sang pemuda.  

Singkat cerita si pemuda melamar gadis untuk menjadi istrinya. Sesaat sebelum menerima lamaran, sang gadis meminta agar pemuda itu memenuhi syarat yang diajukannya. “Aku bersedia menjadi istri kakanda, asalkan kakanda mau menjaga rahasiaku bahwa aku berasal dari seekor ikan,” kata Idris meniru ucapan sang gadis. 

Karena menyanggupinya, jadilah mereka berdua menikah dan dikaruniai seorang putra. Beranjak dewasa, si anak selalu merasa lapar. “Walapun sudah banyak makan-makanan, ia tak pernah merasa kenyang.” 

Suatu hari, karena begitu laparnya, ia makan semua makanan yang ada di meja, termasuk jatah makan kedua orang tuanya. Sepulang dari ladang, bapaknya yang lapar mendapati meja yang kosong tak ada makanan, marahlah hatinya. Karena lapar dan tak bisa menguasai diri, ayahnya pun mengumpat kelakuan sang anak. “Dasar anak keturunan ikan!” 

Dari sana bencana berawal. Sang istri yang merasa dikhianati marah dan pergi ke bukit. Dengan emosi, dia meminta agar Yang Kuasa memberikan pelajaran kepada suaminya. Tidak lama kemudian, langit pun menjadi gelap dan turunlah hujan dalam waktu yang cukup lama. Lama-kelamaan, air hujan itu terkumpul semakin banyak dan besar genangannya hingga menjadi danau.

Tidak terasa, cerita itu menghantarkan kami ke Desa Siallagan, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir. Di sana kami disambut oleh pemandu wisata setempat, Guido Sitinjak.  

Perkampungan ini dikelilingi dengan batu-batu alam yang disusun dengan tinggi lebih dari satu meter. Guido kemudian mengajak kami menikmati peninggalan sejarah di sana, kursi dan meja yang usianya sudah lebih dari 200 tahun.  

Kursi-kursi itu ditempatkan mengelilingi sebuah meja dari batu alam. Di bagian tengahnya ada pohon Beringin, simbol adanya sebuah kampung pada masa lalu. Kursi dan meja itu digunakan untuk menggelar persidangan.  

“Saat sidang, terdakwa bisa mendengarkan sembari dipasung di bawah salah satu rumah. Yang paling sering disidang dan dihukum berat itu biasanya mata-mata musuh,” kata Guido. 

Sebelum sidang digelar, biasanya kepala suku meminta bantuan dari penasehat spiritualnya untuk menentukan hari baik. Guido sendiri menyebut penasehat spiritual raja itu sebagai dukun. Sebutan itu mungkin terkait dengan adanya tunggal panaluan (tongkat sihir) yang dimiliki oleh sang dukun.  

“Dengan tongkat itu, dia bisa menaklukan orang atau juga memanggil roh. Baik yang sudah tidak ada atau yang masih hidup.” 

Apabila dalam sidang diputuskan si terdakwa bersalah, maka dia akan dibawa ke tempat eksekusi. Letaknya terpisahkan oleh tembok batu. Di sana, si terdakwa akan mendapatkan makanan terakhirnya.  

Terdakwa akan ditutup matanya. Setelah itu badannya akan ditelentangkan di atas batu yang lebih panjang ukurannya. Agar kekuatan magis terdakwa terkuras habis dan eksekusi berjalan dengan lancar, biasanya sang dukun akan menyayat tubuh serta memberikan asam garam di atasnya. Selain itu jantung dan hatinya akan diambil. Sebelum kepalanya dipenggal, sang dukun juga bakal merapal mantera yang dibacanya dari kitab yang disimpan melintang di atas tubuh terdakwa.  

“Itu agar hukum pancung lancar. Eksekusi terakhir dilakukan tahun 1816. Setelah itu datang misionaris ke sini,” papar Guido. 

Menurut dia, perkampungan itu sendiri usianya sudah lebih dari 500 tahun berdasarkan silsilah keturunan Raja Siallagan ompu Batu Binjang. “Sekarang yang merawatnya keturunan ke-18.” 

Masih di tempat yang sama, dia mengajak kami melihat Rumah Bolon, rumah tradisional di sana. Dapur di rumah panggung itu terletak di bagian tengah. Peralatan dapur dan kayu bakar disimpan di para-para yang digantung tepat di atas posisi dapur. Seluruh anggota keluarga tinggal di dalam satu rumah.  

Tempat buang air sendiri berada di pojokan ruangan dengan lubang pembuangan yang langsung menuju ke bawah, tempat biasa binatang ternak disimpan. Atap rumah tradisional itu bagian depannya lebih tinggi dari yang belakang. Ini menjadi pesan agar sang anak nantinya lebih sukses daripada orang tuanya.  

Yang cukup unik adalah pintu masuknya. Selain kecil, setiap orang masuk harus menunduk kepala di bagian dalamnya. “Itu buat menghormati yang ada di dalam rumah. Selain itu, apabila yang bertamu itu memiliki ilmu akan kalah dengan pemilik rumah. Karena dia datang sudah menghormat,” katanya.  

Pada bagian luarnya, terdapat pahatan-pahatan. Motifnya antara lain berbentuk cicak, singa, dan juga payudara. “Cicak itu pesan agar orang Batak mudah beradaptasi, sedangkan singa itu untuk melawan unsure mistis dari luar. Payudara sendiri lebih melambangkan kesuburan.” 

Dari sana perjalanan dilanjutkan menuju ke Tomok, Kecamatan Simanindo. Ternyata berdasarkan silsilah, raja di Tomok masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Raja Siallagan. Di lokasi ini kita bisa meyaksikan objek wisata Patung Sigale-Gale dan juga Makam Sidabutar. Kali ini yang menjadi pemandu wisata adalah Parlindungan Situmorang. 

Cerita soal patung itu, katanya dimulai berabad-abad lalu ketika Raja Rahat yang memerintah di Uluan memiliki putra, Raja Manggale namanya. Putra semata wayangnya itu sangat disayangi oleh seluruh kampung, terlebih oleh ayahnya karena dia pintar menari. 

Ketika putra jatuh sakit dan tidak tertolong, Raja Rahat selalu merasa sedih dan berduka. Sampai akhirnya ada tiga orang yang menyanggupi untuk membuat patung yang mirip dengan Raja Manggale. Patung itu mereka buat terpisah, kepala, bagian leher hingga pinggang, dan kakinya. Berbekal kesaktian tiga orang tersebut, roh Raja Manggale dipanggil dan masuk ke dalam patung tersebut.  

Semenjak itu patung tersebut bisa menari dan menghibur sang raja. “Patung itu bisa menari sampai jongkok. Tapi sekarang patung itu digerakkan dengan tali dan ini adalah patung duplikatnya,” terang Parlindungan.  

Agar bisa menyaksikan patung itu menari, pengunjung diharuskan membayar Rp 60 ribu. Ada empat tarian dalam sekali pertunjukkan, dimulai dengan Gondang Mula-Mula, Gondang Somba, Gondang Mangaliat, dan diakhiri dengan Gondang Sitiotio. “Tiap tarian punya arti tentang hubungan kita dengan Sang Pencipta,” ujarnya. 

Usai menari, kami diajak berkunjung ke Makam Sidabutar yang dimakamkan semenjak 460 tahun lalu. Sebelum memasuki kawasan makam, setiap pengunjung diharuskan mengenakan ulos, kain khas Batak.  

Ulos itu sendiri merupakan kepanjangan dari unang lupa oloi sipasingot yang artinya turuti nasihat. Makanya dalam acara pernikahan, biasanya undangan memberikan kain tersebut kepada pasangan yang menikah sembari memberi nasihat-nasihat.  

Dalam kawasan makam itu ternyata ada sedikitnya delapan kuburan, empat diantaranya sudah menggunakan salib sebagai simbol kepercayaan yang dianutnya. Kuburan raja pertama di sana, kata Parlindungan, adalah tempat peristirahatan terakhir dari Raja Op. Soribuntu Sidabutar. Setiap raja yang dimakamkan di sana sebelumnya sudah dibalut terlebih dahulu dengan ulos dan juga dibalsem. “Waktu tahun 1973 batunya dibuka lewat upacara adat, tulang-tulang di dalamnya masih utuh.” 

Secara sekilas, kita bisa melihat seperti apa raut wajah raja-raja yang pernah berkuasa di sana dari ukiran yang ada di makam batu itu. Salah satu kuburan yang cukup besar dan pahatannya masih jelas adalah milik Op. Ujungbarita Sidabutar, raja kedua di sana. Konon, warna merah pada bagian ujung makam yang berukir wajah itu adalah darah manusia.  

Pada bagian depan, ada ukiran berbentuk orang yang dipercaya sebagai tangan kanan sang raja. Sedangkan di bagian belakang kuburan terdapat pahatan berbentuk perempuan yang dipercaya adalah Anting Malela boru Sinaga.  

“Mereka sempat bertunangan selama 10 tahun, namun saat hendak berlangsung pernikahan yang perempuan kena sihir sehingga malu dan lari ke hutan. Dari sana raja selalu menantinya, makanya dibuat patungnya,” tambah dia.  

Selain bisa melihat dan menikmati kisah-kisah dari masa lalu, kita juga bisa membeli berbagai oleh-oleh dari toko-toko cendera mata di sana. Para pedagang memajang dan menjual berbagai barang kerajinan seperti ulos, ukiran kayu khas tanah Batak seperti sistem penanggalan Batak, tempat obat yang terbuat dari bambu, serta gitar batak.  

Perjalanan wisata di Danau Toba dan Pulau Samosir memang tidak bisa dinikmati dalam waktu sekejab. Sayang rasanya meninggalkan kawasan yang begitu kaya akan hal-hal menarik. Tapi, waktu kunjungan yang hanya beberapa jam di sana, setidaknya memberikan pemahaman dan kesenangan tersendiri bagi saya. 

Makanya tidak salah kalau Maringan Simbolon, Kepala Dinas Pariwisata, Seni Budaya, dan Perhubungan mencoba meningkatkan kualitas masyarakat di sana, terutama para pedagang. Pasalnya, ketika wisatawan hendak pulang dengan segala kenangan yang sudah didapatnya, tiba-tiba ada saja pedagang yang memaksa mereka untuk membeli barang dagangannya.  

“Kita membentuk kelompok sadar wisata untuk mengelola objek wisata. Karena kita tidak ingin wisatawan hanya datang sekali dan tidak datang kembali,” tuturnya. 

Oleh karena itu, katanya, pelatihan sadar wisata bagi pelaku bisnis pariwisata dan masyarakat sekitar kawasan wisata, menjadi program penting pemerintah daerah untuk membangun industri pariwisata yang menjadi andalan sumber pendapatan daerah. 

Tampaknya usaha membuat kelompok sadar wisata itu harus menjadi perhatian bagi pemerintah setempat. Karena bukan tidak mungkin, wisatawan seperti saya, yang baru datang sekali dan memiliki kenangan indah justru memilih tidak kembali ke sana. Penyebabnya, kebiasaan masyarakat yang memaksa pengunjung membeli barang-barang mereka. [SP/Adi Marsiela]

 

 

Senin, 17 Desember 2007

Kebebasan Menalar Cinta

Tema cinta ternyata memiliki ruang tersendiri di kalangan pemerhati dan pembuat film indie. Setidaknya, enam dari delapan film karya finalis yang ditampilkan dalam gelaran LA Lights Indie Movie 2007 menjadikan cinta sebagai benang merah (yang tidak disengaja), ketika film-film itu diputar dalam kegiatan roadshow-nya di Bandung, baru-baru ini.

Dengan menggunakan moto Film Gue, Cara Gue, para sineas muda dari empat kota yang tersaring dalam ajang itu berusaha menafsirkan cinta dengan gaya dan caranya masing-masing. Lihat saja film Naughty Matahari, yang mengisahkan penggalan hidup Azumi, seorang remaja yang baru saja masuk ke SMA. Sehari-hari, Azumi yang merupakan keturunan Indonesia-Jepang ini diasuh oleh ibunya. Namun, sekali dalam sebulan, sang ibu yang mengaku bekerja sebagai penari itu harus meninggalkan anak semata wayangnya untuk pergi mencari uang di luar negeri.

"Saya ingin seperti ibu," demikian yang tertanam di benak Azumi. Pasalnya, hasil jerih payah sang ibu, membuat Azumi hidup berkecukupan. Malah berlebihan. Azumi terlibat pergaulan bebas tanpa ada kontrol dari orang tua.

Namun itu semua, berbalik 180 derajat ketika Azumi melihat penampilan ibunya dalam sebuah film dewasa yang sengaja diputar pacarnya, sesaat sebelum keduanya melakukan hubungan seks di luar nikah. Ternyata, profesi yang dijalani ibu Azumi di luar negeri adalah pemain film dewasa.

Sutradara sekaligus penggagas film tersebut, Yuliasri Perdani tampaknya ingin menyindir rasa cinta para orang tua yang sering meninggalkan anaknya dengan harta tanpa kasih sayang.

"Ibu saya sering ke luar negeri, tapi nggak seperti itu. Ibu saya ikut konferensi. Suka terpikir juga, ngapain ya ibu saya kalau di luar negeri. Dari situ muncul ide liar saya yang jadi ide cerita film ini," kata mahasiswi dari Bandung ini menjelaskan asal muasal ide cerita tersebut.

Cinta dengan rasa yang lain coba diungkapkan secara visual oleh sutradara Willina Widiyarini lewat karyanya Jalan Kan Kuseberangi. Ide cerita yang dibangunnya cukup sederhana namun sangat mengena.

Tono, sebagai tokoh utama dalam film ini memiliki trauma yang mendalam ketika harus menyeberangi jalan. Pasalnya, dia ditinggalkan ibunya meninggal dunia ketika tengah menggandeng dirinya menyeberang jalan.

Masalah muncul ketika Tono jatuh cinta terhadap seorang gadis yang ada di seberang jalan, tempatnya sehari-hari berjalan. Lewat gaya bertutur komedi, Willina mencoba menggambarkan bagaimana cara Tono menghadapi ketakutannya. Setiap malam, Tono berlatih menyeberang jalan dengan bantuan seorang tukang ojek. Alhasil, dia mampu berjalan sendirian tanpa ada yang menemani.

Film Pendek

Gaya komedi yang tidak berlebihan ditambah akting pemerannya, menjadikan film ini sebagai salah satu karya dari Yogyakarta yang cukup diminati oleh sebagian besar penonton. Gelak tawa dan tepuk tangan kerap menyelingi adegan di film ini.

Tidak hanya yang sederhana, cinta yang dibumbui tingkah laku ekstrim mengarah ke psikopat juga terwakilkan lewat film Dami bukan Dummy.

Cerita ini dimulai dengan sebuah rumah yang cukup mewah namun hanya dihuni oleh seorang remaja pria. Namun, rasa cinta yang berlebihan terhadap mantan kekasihnya, membuat pria ini cenderung memiliki kelainan jiwa. Dia sering membiarkan rumahnya dimasuki maling. Bukan tanpa maksud. Setiap maling yang masuk akan dibekuk olehnya dan kemudian dipaksa mengenakan pakaian seksi milik mantan kekasihnya.

Akting natural Sapta Pasta sebagai pemeran utama membawa penonton ke dunia yang lain. Dingin dan tidak berperasaan. Terlebih ketika, dia memaksa korbannya berpose tidak senonoh.

Cukup menarik menyaksikan film-film pendek ini. Terlebih jika kita mengetahui delapan film yang diputar itu sudah ada dalam bentuk ide mulai bulan Juli 2007. Kala itu panitia menggelar acara di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta.

Di setiap kota, sekitar 200 pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum mendaftar menjadi peserta dengan modal ide cerita. Mereka mengikuti workshop yang meliputi penyutradaraan film pendek, penulisan naskah populer untuk film pendek, aspek manajemen film beranggaran kecil dan tips teknis untuk membuat film murah.

Film indie dapat berupa film pendek dan film panjang. Namun, PT Karya SET Film (SET Film), rumah produksi penggagas dan pelaksana kegiatan tersebut memilih ranah film pendek.Dari setiap kota, para peserta diseleksi menjadi 50 orang. Untuk penyaringan itu masing-masing harus membuat sinopsis pendek ide cerita dan mempresentasikannya kepada tim produser film yang menilainya dalam tahap Meet the Producers.

Lima puluh peserta terpilih kemudian diseleksi lagi menjadi tinggal 10 orang. Sepuluh peserta tersebut dipecah menjadi dua kelompok, sementara dari 10 ide cerita mereka dipilih dua cerita terbaik. Dua kelompok tersebutlah yang berhak memfilmkan dua ide cerita terbaik itu dengan dana Rp 15 juta per kelompok dari panitia.

Delapan kelompok dengan delapan film pendek akan masuk ke tahap akhir untuk menjadi Best Movie (satu film), Favorite Movie (satu film pilihan penonton lewat SMS), dan Best Jury Prize (satu film terbaik versi dewan juri). Januari 2008 para pemenang lomba itu akan diumumkan.

Delapan film pendek itu adalah Mata Sinar dan Sumbo (Jakarta); Dami Bukan Dummy dan Naughty Matahari (Bandung); 1000 Shura dan Anak-anak itu Terlahir dari Doa (Surabaya), serta Cinta dalam Sepotong Es Krim dan Jalan Kan Kuseberangi (Yogyakarta). [SP/Adi Marsiela]

Published: 13/12/07

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...