Rabu, 26 September 2007

Aktor yang Puas di Kala Mati

“Bagaimana kabarnya kang,” tanya saya kepada Mohamad Sunjaya beberapa hari lalu.

 

“Baik-baik saja,” jawabnya ketika bertemu dalam sebuah pembukaan pameran seni serat di kawasan Bandung utara.

 

Jawaban itu sekaligus menghilangkan kekhawatiran saya akan kondisi kesehatan Kang Yoyon-demikian dia akrab dipanggil. Pasalnya, di awal bulan September lalu, dia sempat menginap di rumah sakit akibat penyakit jantung yang dideritanya. Maklum saja usia Kang Yoyon sudah 70 tahun.

 

Namun penyakit dan usia itu justru bukanlah halangan baginya untuk tetap tampil memerankan Bob, seorang aktor pensiunan dalam “Kehidupan di Teater”. Lakon ini sengaja dipersembahkan sebagai syukuran 8 Tahun Actor Unlimited dan ulang tahun Kang Yoyon.

 

Dalam pementasan yang digelar di auditorium Pusat Kebudayaan Francis (CCF) Bandung, Jumat (7/9) lalu, tokoh Bob ini, bagi saya lebih merupakan representasi kehidupan Kang Yoyon. Hal yang sama diungkapkan oleh sutradara “Kehidupan di Teater”, Wawan Sofwan.

 

“Pas sekali, harus Kang Yoyon yang main,” ujar Wawan yang membeli naskah itu satu tahun lalu. Gubahannya atas naskah itu lebih pada penamaan karakter saja, dari yang semula Robert menjadi Bob. Dialog di atas panggung, meski tidak sepenuhnya, menjadi tempat bagi kedua orang aktor untuk mengekspresikan diri.

 

Pertunjukkan teater yang berlangsung selama dua hari ini sendiri diawali oleh perbincangan Bob dan John (Wrachma Rachladi Adji) di ruang kostum. Iringan piano berirama klasik menjadi suara latar saat Bob mengomentari pementasan tersebut dengan sangat serius. John, yang lebih muda dan tengah naik namanya, hanya mengiyakan omongan seniornya.

 

“Bagaimana pertunjukkan saya tadi,” tanya Bob.

 

“Bagus, sudah bagus. Hanya ada yang kurang, seperti penghayatan,” jawab John.

 

Kedua tokoh ini terus berdiskusi tentang pertunjukkan yang baru saja dilaluinya. Hal-hal semacam ini memang sangat jarang kita temui dalam dunia teater. Naskah-naskah teater yang membahas kehidupan di belakang panggung memang tidak banyak. Sebut saja, naskah “Nyanyian Angsa” karya Anton Chekov.

 

Kembali ke panggung. Komentar saling kritik dan puji ternyata menjadi bagian dalam kehidupan keduanya, setelah memainkan perannya masing-masing di panggung.

 

Kesendirian dan kesepian tampaknya menjadi beban bagi Bob, yang memang hanya mendedikasikan hidupnya untuk berkesenian di atas panggung. Hal ini terlihat dari tidak adanya lagi kegiatan dia di luar panggung selain ‘menemani’ dan memberi bimbingan kepada sang aktor muda dalam latihannya. Selebihnya mereka berdua memainkan peranannya masing-masing dalam pertunjukkan.

 

Bob, tampak sebagai aktor yang sudah berhasil mencapai ketenarannya sendiri. Dia malah tampak takut tersaingi oleh John. Terlebih saat Bob memilih untuk mengikuti dan mengamati latihan John di sebuah gedung pertunjukkan tua.

 

“Kau ada di sana Bob?” tanya John yang tengah melakukan pemanasan.

 

Tidak ada jawaban sampai akhirnya ada tepukan tangan ketika John menyelesaikan sebuah dialog sembari membawa pedang. Bob pun menunjukkan dirinya kepada John.

 

Senang mendapatkan pujian dari aktor yang lebih senior, John juga merasa dirinya tidak bebas. Gestur tubuhnya menyiratkan kalau dia tidaklah nyaman berlatih dengan adanya kehadiran Bob di sisinya. Tidak sulit untuk melihat kekesalan John, terlebih Wrachma Rachladi Adji memang memiliki kelebihan dalam olah tubuhnya.

 

Merasakan ketidaknyamanan dalam diri John, Bob pun memilih untuk menyingkir. Namun kepergiannya itu dibarengi dengan pemikiran kalau eksistensi dan popularitas dirinya mulai terpinggirkan dengan kehadiran aktor muda seperti John. Adegan ini, seakan-akan sulit dipisahkan dari keseharian yang dijalani oleh Kang Yoyon.

 

Dia memang sering hadir, kalau tidak berhalangan, ke berbagai acara teater. Selain itu, Kang Yoyo selalu memberikan kritik dan masukan apabila para pemain teater selesai manggung. Sulit membedakan apakah Kang Yoyon hanya berakting sebagai Bob atau Kang Yoyon tengah mengeksperikan dirinya sendiri, hanya nama saja yang berbeda.

 

Memang tidak seluruh naskah itu diadaptasi dalam lakon ini. Wawan sengaja memilih yang dialog yang memiliki nilai kesamaan dengan kultur di Indonesia. Kang Yoyon yang mendapati naskah itu pun melengkapinya dengan improvisasi sendiri. Misalnya saat Bob dan John menikmati hidangan mie.

 

“Mie ini enak, dari mana?” tanya John.

 

“Ini dari restoran Mister Sung dekat hospital,” jawab Bob.

 

Dialog ini tidak mungkin ada dalam naskah aslinya. Restoran yang dimaksud memang milik Sonny Soeng, seorang sahabat Kang Yoyon yang turut mendirikan kelompok teater Actors Unlimited pada 28 Agustus 1999.

 

Bagi Sutardjo A. Wiramihardja, Ketua Umum Studiklub Teater Bandung, pementasan “Kehidupan di Teater” memiliki keunikan. Cara David Mamet bercerita itu membuat penonton membutuhkan waktu lebih lama agar bisa mencerna apa yang sedang terjadi di panggung.

Selepas itu barulah penonton bisa bersikap kritis terhadap bagaimana kejadian itu ditampilkan dalam bentuk pemeranan dengan segala aspeknya, termasuk kostum dan tata cahaya.

 

Yang menarik diperhatikan dalam pementasan ini adalah setting panggung yang cukup unik. Satu panggung dibuat lebih rendah dibandingkan yang lain. Setting ini juga yang menjadi pemisah saat kedua aktor memerankan tokoh lain ketika manggung dan satu lagi menjadi tempat kedua bercengkarama serta berlatih di luar pentas.

 

“Itu memang untuk memecahkan ruang termasuk penonton,” kata Wawan yang juga menyutradarai “Nyai Ontosoroh” di Jakarta beberapa waktu lalu.

 

* * *

 

 

 

Kang Yoyon sendiri memang berbeda dengan kedua saudara kandungnya, Yogi S Memet (alm), yang mantan Gubernur Jawa Barat dan mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) serta Tutty Anwar, yang sampai saat ini masih menjabat sebagai Bupati Majalengka.

 

Dia memilih untuk mengabdikan dirinya dalam kehidupan teater. Badannya kurus dan tidak tinggi. Namun di balik tubuh itu, dia dengan suaranya yang berat mampu menyihir para penonton teater, sampai usianya yang ke-70 tahun.

 

Penggemar musik klasik ini mengungkapkan kalau dirinya sangat bersyukur masih diberikan kesempatan oleh Sang Pencipta untuk bermain teater. “Saya berhenti minum (bir) tahun 2003. Masuk rumah sakit lagi tahun 2007, sekarang saya sudah tidak merokok, disuruh berhenti,” paparnya sesaat setelah selesai manggung.

 

Baginya pementasan “Kehidupan di Teater” merupakan sebuah gambaran bagi seorang aktor dalam menjalani kehidupan di dunia teater. Baik itu di dalam atau di luar panggung. “Makanya saya suka sinis kalau ada aktor muda yang cepat puas,” tegas Kang Yoyon yang sempat menghirup oksigen di sela-sela latihannya.

 

Menurut dia, seorang aktor itu memang tidak boleh puas dengan penampilannya. Harus selalu mau menggali dan menggali lagi soal permainan peran. “Kalau sudah main itu yang ada hanya kenikmatan.”

 

Saya sempat bertanya, apakah setelah pementasan ini, Kang Yoyon masih bermain teater? “Kalau masih diberi kesempatan (oleh Tuhan), kenapa tidak?” katanya balik bertanya.

 

Memang sulit memisahkan kehidupan dengan dunia teater dari diri Mohammad Sunjaya yang pertama kali berakting di atas panggung sejak masih SMA pada tahun 1955. Saat itu dia tampil dalam lakon “Di Langit Ada Bintang” karya Utuy Tatang Sontani yang disutradarai Noor Asmara.

 

Kang Yoyon juga merupakan aktor angkatan pertama di Studiklub Teater Bandung (STB) yang berdiri tahun 1958, dan sempat menjabat sekretaris di STB. Dia juga yang kemudian mendirikan Actors Unlimited, sebuah organisasi nirlaba yang bergerak dalam bidang teater. Lembaga ini dia bentuk bersamaan dengan usianya yang ke 62 tahun pada 28 Agustus 1999 bersama Wawan Sofwan, IGN Arya Sanjaya, Diana G. Leksanawati, Fathul A. Husein, dan Sonny Soeng.

 

“Saya bukan penguasa, atau pengusaha, dan bukan orang partai politik yang punya target dan program-program. Hidup saya mengalir saja,” katanya ketika ditanya targetnya untuk kembali ke atas panggung.

 

 

 

 

Selain bermain teater, lelaki yang masih membujang ini juga sempat menceburkan diri sebagai penyiar Radio Mara di Bandung. Kesenangannya akan dunia siaran ini juga yang membuatnya diberhentikan dari jabatannya sebagai Pemimpin Redaksi Pusat Pemberitaan Radio pada Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia. Kala itu dia menugaskan reporternya meliput demonstrasi mahasiswa.

 

Perjuangannya terhadap kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi dia salurkan bersama Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Aritides Katoppo, dan rekan-rekan yang lain dengan mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi). Pembentukan ISAI ini sendiri dilatarbelakangi pembredelan majalah berita Tempo dan Editor serta tabloid DeTIK pada 21 Juni 1994.

 

“Saya juga sempat merekam berbagai berita dari sejumlah radio asing seperti BBC, Radio Netherland, Radio Australia, Voice of America, dan Deutshe Welle. Rekamannya sampai lebih dari 35 kaset yang durasinya 90 menit, itu semua diterbitkan jadi buku Breidel di Udara,” ujar Kang Yoyon yang sempat menjadi penyiar radio dengan program  musik klasik ini.

 

Semua itu memang sudah dilaluinya. Namun dia masih belum terpuaskan. “Puas ada di waktu kita mati,” ujarnya singkat meninggalkan saya dan beberapa kawan yang masih berbincang-bincang soal aktingnya dalam lakon “Kehidupan di Teater”. [SP/Adi Marsiela] 

 

Jumat, 21 September 2007

Diners offered new way of looking at food

Students of the Wyata Guna Social Center for the Development of Blind People perform on Sept. 7 at the Blind Resto in Pasir Kaliki Square, Bandung. (JP/Arya Dipa)

Diners offered new way of looking at food

Arya Dipa, The Jakarta Post, Bandung

Students of the Wyata Guna Social Center for the Development of Blind People performed in early September at the Blind Resto in Pasir Kaliki Square, Bandung, to celebrate the cafe's inclusion in the Indonesian Museum of Records (MURI).

The young actors call themselves Palagan, a name taken from a battlefield in a shadow puppet story.

"There is still a yawning gap between our dreams and our reality. Every day is a struggle, which is why we have assumed the name of a battlefield," said Suhendar, 30, a graduate of the center.

The visually impaired performers in Palagan are aged between seven and 15. At the Blind Resto, they acted out the story of a Peeping Tom who was caught in the act but never brought to justice.

They also sang songs from a range of genres including pop, dangdut, jazz and traditional Sundanese music.

The talents of the students from Wyata Guna came to light thanks to the simple idea of Ari Kurniawan, the owner of the Blind Resto, which opened six months ago. At the restaurant, guests dine in total darkness and are served by blind waiters.

"I got to thinking one day about how unaccustomed most people are to being in the dark. The blind are extraordinary as they can do everything, including waiting tables in a restaurant."

Ari's idea got a warm response from MURI, which has recognized it as the first restaurant in the country to have blind waiters. "We are appreciative both of its marketing potential and its contribution to society," said MURI's founder Jaya Suprana.

Suhendar, who has been visually impaired from birth, said it was hard for people like him to find work despite the existence of an equal opportunity law that stipulates 1 percent of jobs in the private sector must go to people with disabilities.

Firli Abdullah, 22, who works at the Blind Resto, said he had previously played guitar in a band. "I happily took up the offer. It is good to see blind people being given a fair go," Firli said.

Arie said the staff he employed were able to navigate the pitch-black restaurant without any difficulty.

The only think Firly cannot do is to tell whether diners have finished their meals and it is appropriate to clear the table. In this situation, he usually gets help from his fellow waiters, who wear infrared glasses and therefore can see in the dark.

"Guests are usually surprised to find out I am blind," Firli said.

'Tantangan' dari Sang Proklamator

"Siapa yang bisa lebih besar dari mereka di Indonesia?” tanya perupa Sunaryo Sutono kepada SP soal Soekarno-Hatta di kediamannya yang asri, beberapa waktu lalu.  

Bagi perupa berusia 64 tahun, sosok kedua proklamator Indonesia itu memang tidak dapat dilepaskan dari sejarah negara ini. Khusus untuk presiden pertama Indonesia yang dilahirkan dengan nama kecil Kusno Sosrodihardjo, Sunaryo memiliki kesan tersendiri. “Itu idola saya,” ujarnya. 

Aura kekaguman terhadap Soekarno itu sudah ditunjukkannya semenjak dia masih duduk di kelas dua sekolah dasar. Selain membuat gambar - yang kemudian dibubuhi kumis oleh teman-temannya - Sunaryo juga sempat ngotot meminta agar dibuatkan setelan jas dengan empat kantong di bagian depan dan berwarna putih sebagai hadiah Lebaran.  

“Ternyata baju itu memang dirancang sendiri olehnya. Soekarno ingin agar bangsanya yang sudah mengalami penjajahan, rakyatnya tidak minder. Makanya mengenakan baju yang gagah seperti itu.”  

Kenangan masa lalu Sunaryo tentang kekagumannya pada Soekarno dan Hatta ternyata menjadi tantangan tersendiri baginya di masa kini. Dia diberi tanggungjawab untuk 'menuangkan' kekagumannya dalam bentuk patung. 

Sekitar dua tahun lalu, rombongan Direktur Angkasa Pura datang ke kediamannya. Mereka memaparkan ide tentang pembuatan patung proklamator di wilayah Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Meski demikian, Sunaryo harus mengikutsertakan idenya dalam beauty contest terkait rancangan patung tersebut.  

“Saya tidak menganggap ini sebagai proyek, tapi tantangan. Ada dua yang lain dalam beauty contest itu,” tegas dia sembari membenarkan posisi kacamatanya.  

Saat masih duduk di bangku akhir perkuliahannya di Seni Rupa Institut Teknologi Bandung, Sunaryo melibatkan diri dalam pembuatan ornamen makam Soekarno di Blitar. Baru pada tahun 1978, makam itu dipugar dan dibangun, selesai pada tahun 1979. Tepat pada haul Bung Karno, 21 Juni 1979, Soeharto meresmikan bangunan makam. Konon, itu adalah kedatangan pertama Soeharto ke makam Soekarno semenjak tahun 1970. 

Beberapa tahun ke belakang, Sunaryo diminta untuk membuat desain relief perjalanan Soekarno semenjak dilahirkan sampai akhir hayatnya. Relief berukuran panjang sekitar 40 meter dan tinggi 2,5 meter itu dipasang pada dinding di wilayah makam tersebut.  

“Saya tadinya tidak mau, karena malas urusan administrasi birokrasi dalam proyek. Kalau yang sekarang (patung Soekarno-Hatta), tantangan buat saya,” ujarnya sembari menceritakan kalau akhirnya relief perjalanan itu dia buat dan diresmikan oleh presiden kala itu, Megawati. 

Untuk membuat model yang diminta oleh PT Angkasa Pura II, perupa kelahiran Banyumas, 15 Mei 1949 itu menghabiskan waktu sekitar satu bulan untuk memancing idenya. 

Menurut dia, Soekarno-Hatta itu adalah dua jiwa dalam satu tubuh Indonesia. Pembuatannya tidak boleh hanya sekedar penanda, melainkan sebagai sebuah perwakilan dari gagasan atau cita-cita yang ingin disampaikan oleh keduanya ketika masih hidup.  

“Seperti ideologi. Kalau hanya sebagai greeter (penyambut) di Indonesia, sangat mengecilkan artinya. Makanya harus menghadap ke Jakarta, untuk membekali mereka yang akan pergi ke luar negeri dengan semangat nasionalisme,” terang ayah dari tiga orang anak ini.  

Setelah ditunjuk sebagai pembuatnya, dia pun memanggil dua orang yang dianggapnya mirip dengan Soekarno-Hatta. Mereka berdua disuruh mengenakan pakaian seperti jas dan disuruh berdiri dengan berbagai posisi. Intinya, Sunaryo menginginkan agar kesan Bung Karno yang dinamik dan Bung Hatta yang selalu 'hati-hati' dalam melangkah bisa tergambarkan dengan baik.  

Kedua model itu dia suruh bergaya. Yang Soekarno diminta agar menunjuk dan melihat jauh ke depan sembari tetap memegang tongkat komando. Sedangkan Hatta, melangkah dengan kehati-hatian sembari membawa buku. Berbagai gaya itu diabadikan oleh seorang fotografer yang memotret dari berbagai arah. “Saya hanya mengamati dari jauh,” imbuhnya. 

Bagi Sunaryo yang pernah menyaksikan pidato Bung Karno secara langsung pada masa kecilnya, patung itu harus dapat menggambarkan Soekarno sebagai seseorang yang bergelora dan memiliki cita-cita tinggi. Di sampingnya Hatta, ia gambarkan sebagai pemikir yang penuh perhitungan, realistis, dan memiliki kehidupan sederhana.  

Akhirnya, dia memutuskan penggambaran Soekarno yang tepat adalah saat berdiri tongkat komando di kanannya sembari tangan yang satunya menunjuk jauh ke depan. Ide dasar berubah ketika ditawarkan ke PT Angkasa Pura II. Tongkat komando diapit di kiri sembari tangah kanannya menunjuk ke depan.  

“Patung ini seakan bicara, di sana! Sebagai arahan masa depan dan cita-cita bangsa. Tongkat komando itu dalam militer di tangan kiri bukan kanan, sebagai gambaran kepemimpinan yang terus memberi semangat dan inspirasi tentang masa depan kemerdekaan dan demokrasi.” 

Sedangkan Hatta, berjalan mendampinginya dengan kaki kanan tertekuk sedikit sebagai gambaran kehatian-hatiannya sembari mengamit buku. Sebagai cendekiawan, tubuh Bung Hatta adalah pemikiran dan pandangan-pandangan kritis rasional serta penuh perhitungan. Tubuh yang tenang, sederhana, dan menunjukkan kerendahan hati terlihat dari busananya yang bersahaja. 

Akhirnya setelah bergulat dengan ide dan kreasinya selama 1,5 tahun, perupa yang membuat Monumen Sudirman (Jakarta), Monumen Jogja Kembali (Yogyakarta), Monumen Bandung Lautan Api, Monumen Dasasila Bandung, serta Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat (Bandung) ini mampu menyelesaikan tantangannya yang diberikan kepadanya dengan harga senilai Rp 4 miliar. “Saya tidak lihat biaya.” 

Dalam berkarya, dia dibantu oleh beberapa orang stafnya. Untuk pengecoran, dia melibatkan 20 orang pekerja. Masing-masing terbagi tugas dalam menggotong dan membakar. Sebelum ke bentuk asli, dibentuk terlebih dulu model skala 1:5.

Tinggi patung Bung Karno 7.8 meter, sedangkan Bung Hatta sedikit lebih pendek. Sementara landasannya sendiri setinggi 4.8 meter sehingga total tinggi monumen sekitar 12.6 meter. Landasan patung yang terbuat dari batu granit, sedang patungnya terbuat dari perunggu.  

Untuk memfungsikan monumen ini sebagai landmark, di sekelilingnya dibuat kolam air mancur. “Sebagai petunjuk, selain air mancur ada juga patung. Selain itu untuk simbol gerak-gelora kehidupan dua simbol tersebut,” katanya. 

Petunjuk ini penting karena patung tersebut berada di jalur cepat. Idealnya patung itu dilihat dari jarak 40 meter. Sunaryo menuturkan ukuran patung itu disesuaikan dengan master plan dari Angkasa Pura yang bakal menata kawasan tersebut.  

Buat Sunaryo, yang pernah menyalami Soekarno usai berpidato di Purwokerto saat usianya masih sangat muda, dia juga mengalami kesulitan dalam menggarap patung yang sudah diresmikan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 29 Agustus 2007 lalu.  

“Bagian hidung Soekarno itu paling sulit menggarapnya, namun ada berbagai dokumentasi yang dapat membantu. Saya harap monument ini dapat mengabadikan sesuatu. Karena buat saya auranya (Soekarno-Hatta) itu nge-fans,” ungkap dia sembari tertawa. [SP/Adi Marsiela]

Kamis, 20 September 2007

Makin Tua Makin Berarti

Paduan suara warga lanjut usia GKI Taman Cibunut menyumbangkan suaranya dalam ibadah bersama pada pembukaan Pertemuan Raya Warga Lanjut Usia yang diselenggarakan di Resort Shalom, Cisarua, mulai Selasa (11/9) hingga Kamis (13/9). Berpartisipasi di paduan suara merupakan salah satu cara membuat hidup semakin berarti di usia lanjut pada kehidupan jemaat gerejawi.

Tua-tua keladi, makin tua makin jadi. Pastilah sebagian dari kita sudah mengenal istilah tersebut. Namun, bagi para lanjut usia yang tergabung dalam jemaat GKI Sinode Wilayah Jawa Tengah istilah tersebut tampaknya kurang pas. Menurut mereka yang turut dalam Pertemuan Raya Warga Usia Lanjut (wulan) di Pine Resort Shalom, Cisarua, 11-13 September 2007, usia semakin tua haruslah semakin berarti.

Pendeta Emeritus GKI Budhiadi Henoch yang membuka acara itu dalam ibadah bersama di GKI Taman Cibunut, Bandung, mengatakan memang sudah seharusnya seseorang yang usianya terbilang lanjut haruslah dapat memberikan arti kepada lingkungan sekitarnya.

"Tua-tua keladi, makin tua makin jadi. Kadang orang tidak tahu usianya sudah tua tapi perilakunya seperti yang tidak tahu usia. Genit untuk laki-laki, merindukan daun muda. Seharusnya semakin tua itu makin berarti," tutur dia di hadapan 150 peserta pertemuan raya dari berbagai GKI di Sinode Wilayah Jawa Tengah dan Klasis Jakarta II.

Ibadah tersebut mendasarkan pada kitab Mazmur 71: 17-18. "Ya Allah, Engkau telah mengajar aku sejak kecilku, dan sampai sekarang aku memberitakan perbuatanMu yang ajaib; juga sampai masa tuaku dan putih rambutku, ya Allah, janganlah meninggalkan aku, supaya aku memberitakan kuasaMu kepada angkatan ini, keperkasaanMu kepada semua orang yang akan datang."

Menurut Budhiadi, 'berarti' dalam usia sudah lanjut itu pertama kali harus diterapkan kepada diri sendiri. Pasalnya, masih banyak orang yang sudah tua namun tidak dapat menerima kenyataan tersebut. "Hidup itu biarkanlah mengalir bagai air," paparnya.

Setiap mereka yang mengikuti pertemuan raya ini, sambung dia, bakal memiliki makna keajaiban yang berbeda-beda untuk masing-masing orang. "Adalah keperkasaan Tuhan yang menjiwai sehingga kita masih bisa melakukan kegiatan gerejawi. Usia bukanlah sebuah halangan untuk bersuka cita dan berkarya. Seperti yang diberitakan dalam Mazmur 71."

Setelah bisa menerima kenyataan dalam diri bahwa usia sudah lanjut, maka sebaiknya kita juga mampu memberikan arti pada keluarga. Menurut Budhiadi, dalam usia yang sudah lanjut memang sering orang tua itu diibaratkan kera. Hidup menclak-menclok dari satu pohon ke pohon yang lain. "Pindah-pindah rumah."

Hal itu, kata dia, merupakan sebuah kewajaran. Para orang tua janganlah menganggapnya sebagai hal yang negatif. "Minimal bisa dijadikan sebagai pusat untuk mengumpulkan keluarga, misalnya kalau Natal. Memperkenalkan sanak famili satu dengan yang lainnya," terang pendeta yang sudah menginjak usia 66 tahun ini.

Usia lanjut juga bukan suatu halangan untuk berkarya di jemaat gerejawi. Memang usia terkadang merepotkan saat harus mengikuti berbagai rapat yang diadakan oleh komisi-komisi atau penatua di gereja. Makanya, kata Budhiahi, yang sudah lanjut usia bisa menjadi pendoa bagi kegiatan gereja. "Berdoa supaya setiap rapat tidak berlama-lama," candanya seraya tersenyum.

Selain itu, warga jemaat yang sudah memasuki usia lanjut bisa memberikan kebahagiaan kepada jemaat lainnya. Misalnya dengan menjadi usher atau penyambut tamu dalam kebaktian. "Itu bisa membuat suasana menjadi hangat antarjemaat."

Masuk ke dalam lingkup yang lebih luas, warga usia lanjut juga dapat berarti bagi masyarakat. "Tidak perlu ingin menjabat sebagai ketua RT atau RW. Kita cukup menjadi juru damai karena itu akan sangat berarti bagi orang lain," tegas Budhiadi.

Menjadi seseorang yang sudah sepuh juga tidak harus seperti sepah yang rasanya sepet. Tidak perlu merasa kesepian dalam menjalani sisa-sisa waktu hidup.

"Manusia memang tidak dapat melawan kodrat. Hidup ini sangat singkat, yang terpenting adalah mutu hidup kita. Daripada umur panjang namun malah buat orang lain susah karena tidak mati-mati."

Mutu Hidup

Refleksi untuk mutu hidup itu dia dasarkan pada pemberitaan Mazmur 92: 13-16. "orang benar akan bertunas seperti pohon korma, akan tumbuh subur seperti pohon Aras di Libanon; mereka yang ditanam di bait Tuhan akan bertunas di pelataran Allah kita. Pada masa tuapun mereka masih berbuah, menjadi gemuk dan segar, untuk memberitakan, bahwa Tuhan itu benar, bahwa Ia gunung batuku dan tidak ada kecurangan padaNya."

Pohon Korma, jelas Budhiadi, memiliki sifat yang tahan di segala musim dan rasa yang manis. Pohon Aras, paparnya, digunakan untuk berbagai macam keperluan di Lebanon. "Begitu kuat dan indah. Kuat tidak harus diartikan fisik tapi rohani. Saya harapkan Anda sekalian tidak absen ke gereja, karena itu adalah cara untuk bertunas dan bertumbuh di pelataran Bait Allah," urai dia seraya berharap pertemuan raya itu tidak hanya berlangsung sekali saja dan tidak menyisakan apa-apa.

Pertemuan raya yang diisi berbagai acara seperti sharing kegiatan antarjemaat, latihan penyusunan program, berbagai ceramah mengenai hidup dan kesehatan ini ternyata mendapatkan respon yang sangat positif.

Dalam kesempatan tersebut, Pendeta Emeritus Stefanus mengatakan orang lanjut usia itu memiliki kebutuhannya sendiri. Mereka berbeda secara kebutuhan psikis dan juga lingkup pergaulan. "Agar tidak loyo, makanya warga usia lanjut butuh teman dalam melakukan kegiatan-kegiatan teknis di lingkungan gereja," paparnya.

Kebutuhan tersebut diakui oleh Lapian (72), salah seorang peserta dari GKI Pamulang. "Saya berharap dengan pertemuan raya ini dapat mengajak mereka yang sudah memasuki usia lanjut untuk tidak malu-malu atau segan bergabung dalam komisi wulan. Makanya perlu yang namanya sharing antara sesama jemaat," terang kakek dari 12 cucu yang menjabat sebagai Ketua Komisi Wulan di GKI Pamulang itu.

Senada dengannya, Happy Hapsari (44) yang menjadi perwakilan dari GKI Nusukan, Solo mengungkapkan para warga usia lanjut memang terkadang membutuhkan refreshing. Pertemuan raya ini, ujar dia, dapat menjadi penghiburan bagi mereka yang sudah mulai terlupakan dari keluarga. "Kebanyakan anak-anak mereka sibuk. Pertemuan ini dapat menjadikan warga usia lanjut bisa lebih berkembang dan lebih mandiri," tuturnya. [SP/Adi Marsiela]

Sabtu, 15 September 2007

metissages

Start:     Sep 21, '07
End:     Oct 21, '07
Location:     Selasar Sunaryo
A crossbreeding of contemporary art and textiles. Curated by Yves Sabourin (Delegasi Seni Rupa, Departemen Kebudayaan dan Komunikasi) bakal mampir ke Indonesia. Pameran ini berisi 52 karya koleksi French National Fund of Contemporary Art dan koleksi pribadi. Tenun, sulaman, tatahan, aplikasi, dan lilitan. 7 karya yang mewakili tekstil Indonesia juga turut dipamerkan.
Selasar Sunaryo Sunaryo Art Space-21 September sampai 21 Oktober 2007
Museum Nasional, Jakarta-8-23 November 2007
Opening Friday, 21 September 2007 at 8 pm

Jumat, 14 September 2007

Mencari Asal-Muasal Manusia di Bandung

Pernahkah Anda bertanya-tanya di dalam hati, bagaimana sebenarnya asal-muasal kita ini? Pertanyaan sederhana ini ternyata masih belum dapat dipastikan jawabannya oleh para pakar dan peneliti secara ilmiah.

Temuan kerangka tengkorak Toumai di Danau Chad, Afrika sekitar 6,5 juta tahun lalu serta temuan tulang paha Orrorin tugenensis di Kenya sekitar 6 juta tahun masih belum mampu mengungkap tabir misteri tersebut.

Kedua penemuan itu menjadi benang merah dalam pameran dan warisan prasejarah dari kepulauan-kepulauan Asia Tenggara. bertema "First Islanders" di Campus Centre Institut Teknologi Bandung (ITB) yang berlangsung semenjak 5 September hingga 5 Oktober 2007 mendatang.

Kedua temuan penting dalam bidang paleontologi atau antropologi itu ditampilkan secara berjejer dalam ilustrasi foto. Keduanya berdasarkan hasil penelitian dipercaya merupakan nenek moyang manusia yang berdiri di atas dua kaki, seperti kita sekarang ini.

Indonesia sendiri memiliki peranan besar dalam pameran ini. Penyebabnya, tiada lain adalah temuan dari dokter sekaligus antropolog Belanda, Eugene Dubois di balik endapan Pleistocene di Jawa Timur dekat Kedung Broeboes dan Trinil. Rasa penasarannya akan kabar temuan tulang belulang di daerah itu membuat Dubois melakukan penggalian di sana.

Dia berhasil menggegerkan dunia lewat temuan berupa tengkorak dan paha Pithecantropus erectus yang dipresentasikan pertama kali di Prancis pada tahun 1900. Temuan itu merupakan salah satu specimen Homo erectus, satu diantara garis dan cabang keturunan nenek moyang manusia modern yang pertama kali meninggalkan benua Afrika.

Kerangka tengkorak lain yang cukup menarik untuk diperhatikan adalah tengkorak kepala bayi yang diperkirakan sudah berusia 1,5 juta tahun lalu. Tengkorak Homo erectus dari seorang bayi yang diambil dari Mojokerto, Jawa Timur ini diperkirakan berusia 1,5 juta tahun lalu dan merupakan yang termuda dari yang pernah ditemukan di dunia.

Para peneliti yang tergabung dalam jejaring Human Origins Patrimony in Southeast Asia (HOPsea) ini membagi pameran ke dalam empat segmen besar, Evolusi, Migrasi, Adaptasi, dan Sapiens. Beberapa tengkorak dan kerangka yang disebut di atas dapat kita 'nikmati' dalam segmen Evolusi.

Kawasan Asia Tenggara, jelas Andri Purnomo, peneliti muda Indonesia pada Museum National D'histoire Naturelle (Prancis) merupakan laboratorium yang fantastik untuk mempelajari paleobiodiversitas, termasuk keturunan genus Homo. "Sudah menjadi rahasia umum 40 persen temuan fosil ada di Sangiran," terang dia.

Sangiran yang disebut-sebut oleh Andri adalah nama sebuah daerah di Jawa Timur yang mendapatkan banyak kunjungan dari peneliti luar negeri karena 'kekayaan fosilnya'. Jejak itu bisa kita dapatkan dalam jajaran ilustasi dan replika fosil di ruang pameran.

Human Origins Patrimony in Southeast Asia (HOPsea) memang sengaja menggelar pameran fosil dan warisan prasejarah dari kepulauan-kepulauan Asia Tenggara ini. Pasalnya, temuan yang didapat dari Indonesia banyak yang 'dibawa' ke luar negeri untuk diteliti.

Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Amelia mengatakan apabila tidak ada pameran seperti ini maka kecil kemungkinannya bagi masyarakat Indonesia untuk melihat kekayaan cagar budaya.

"Karena untuk membawa artefak dari satu daerah ke satu daerah lain di Indonesia saja harus ada perijinan segala. Apalagi yang sekarang antar pemerintah," terangnya.

Membuka Wawasan

Pameran ini juga bakal membuka wawasan kita mengenai napak tilas perjalanan manusia hingga akhirnya dapat tiba dan berkembang di Asia Tenggara. Runtutan peristiwa ini bisa kita amati dalam segmen Migrasi, yang menggambarkan adanya perubahan besar pada aspek geografi dan iklim pada beberapa juta tahun terakhir di kawasan itu.

Pada masa lampau, Kepulauan Sunda ternyata sering terhubungkan dengan Asia daratan oleh jembatan darat akibat surutnya samudra. Banyak alur laut menyempit yang memungkinkan fauna darat menyeberang atau berpindah tempat.

Kondisi ini menjelaskan persebaran manusia di kepulauan dan membantu kita memahami hunian-hunian purba pada pulau-pulau terpencil. Homo erectus tertua mencapai pulau Jawa segera setelah kedatangan mamalia pertama di sekitar 1,5 juta tahun yang lalu.

Terkait dengan kondisi iklim saat itu, para peneliti mempelajarinya dari sebuah kulit kura-kura raksasa yang sudah menjadi fosil dan ditemukan di kubah Sangiran, Jawa Timur. Kedatangannya ke pulau Jawa-dari rekaman di batoknya-diperkirakan sekitar 2 juta tahun lalu.

Andri memberi contoh lain. Fosil kuda nil, Hexaprotodon sivalensis yang ditemukan di Bukuran, kubah Sangiran. Dengan mempelajari fosil berusia 1,2 juta tahun itu, para ahli bisa mengetahui bagaimana kondisi iklim saat itu.

"Kuda nil tidak mungkin hidup di suhu dingin. Diperkirakan juga suhu di Jawa saat itu lebih hangat daripada tempat asal mulanya. Sehingga mencari makan lebih mudah dengan bergerak ke arah selatan, seperti Jawa," ujar dia.

Mengenai makanan yang tersedia, para peneliti mempelajarinya dari temuan rahang atau gigi. Semakin tinggi sebuah mahkota gigi baik pada manusia atau hewan maka bisa disimpulkan makanan yang dikunyahnya sudah semakin lunak.

Selesai mengamati evolusi dan migrasi, kali ini asal muasal manusia bakal dibahas dari cara mereka menyesuaikan diri dengan lingkungan pada masanya dahulu. Ternyata pada saat beradapatasi, seringkali ada perubahan yang tidak dapat disangka-sangka. Misalnya, temuan Dwarf stegodon di Timor.

Gajah purba ini tingginya hanya seukuran manusia namun gadingnya cukup besar dan mampu menanduk hingga kita terpental jauh. Ternyata, proses kehidupan dalam lingkungan khusus berimplikasi pada tingkah laku yang adaptif.

Khusus untuk konteks kepulauan, setiap pulau memiliki karakter anatomi dan sejarah evolusinya sendiri. Misalnya, hewan yang mengalami pengkerdilan atau pembesaran secara spektakuler.

Contoh lain proses adaptasi yang mendapatkan perhatian dunia adalah temuan Homo floresiensis di Liang Bua, Flores. Pada pameran ini ditampilkan tengkorak kepala dari manusia Flores yang memang cukup mungil itu. Terlepas dari kontroversi yang masih diperdebatkan oleh para ahli soal temuan tersebut, pameran ini hanya memberikan gambaran awal proses pencarian jati diri manusia.

Pada bagian terakhir, pengunjung disuguhi dengan penelusuran jejak spesies Homo sapiens sebagai penjelajah di kepulauan Asia Tenggara. Dalam pameran ini diperlihatkan antara lain fosil yang ditemukan di Gua Tabon, Filipina, hampir 20 ribu tahun lalu, ataupun kuburan manusia di Gua Song Terus, Punung, Pacitan, Jawa Timur, sekitar 10 ribu tahun lalu.

Pameran First Islanders yang digarap selama tiga tahun dan melibatkan lima negara dalam jaringan kerjanya ini terbuka untuk umum. "Kami mengharapkan masyarakat di luar mahasiswa terdorong untuk mengetahui dan menumbuhkan kepedulian soal budayanya sendiri," papar Christine Hertler, ahli paleobiologi dari J W Goethe University, Jerman.

Antusiasme

Sayangnya, antusiasme masyarakat terhadap hal-hal seperti ini masih kurang. Banyak yang menganggap ilmu seperti arkeologi dan sejenisnya tidak mampu menghidupi. Yahdi Zaim, ahli geologi ITB menjelaskan secara keilmuan, paleontologi atau antropologi mungkin masih kurang populer di telinga masyarakat Indonesia. "Apalagi masih susah orang cari makan dari ilmu ini," katanya.

Karena itu, dengan pameran ini, kata dia, diharapkan masyarakat dapat mengerti betapa pentingnya sebuah temuan sejarah, meskipun kecil. "Dari situ, masyarakat bisa tertarik dan memiliki rasa memiliki serta tanggung jawab," katanya.

Hal senada disampaikan oleh Anne Marie Semah, peneliti dari Institut de recherche, Prancis. Keberhasilan pameran seperti ini, sambungnya, dilihat dari seberapa banyak anak-anak yang datang berkunjung.

"Kalau sampai anak-anak datang dan banyak bertanya, berarti pameran ini berhasil. Ajang ini sekaligus untuk menumbuhkan minat mereka mempelajari atau mengenal budayanya sendiri."

Apabila semua sudah mengenal dan mengetahui pentingnya temuan-temuan atau fosil maka kekhawatiran tentang pengambilan dan penjualan fosil secara tidak bertanggungjawab seperti di Sangiran dapat dikurangi atau ditinggalkan sama sekali.

Francois Semah, ahli palaeolitik, prasejarah Asia dan Eropa dari Museum National d'histoire Naturelle Prancis mengatakan pameran ini merupakan hasil kerja dari para peneliti, pengajar, serta mahasiswa Indonesia, Filipina, Prancis, Belanda, dan Jerman.

Anggota HOPsea yaitu Museum National d'histoire Naturelle, Institut Teknologi Bandung, Ikatan Ahli Arkeologi, National Museum of the Philippines, University of the Philippines Diliman, Johann Wolfgang Goethe Universitat, Senckenberg Forschungsinstitut und Naturmuseum Frankfurt, Naturalis Nationaal Natuurhistorich Museum, dan Centre for Prehistoric and Austronesian Studies Indonesia.

Setelah digelar di ITB, pameran akan dilanjutkan dengan keliling Prancis, Filipina, dan negara lainnya. Setelah itu, sebuah seminar internasional akan diadakan di Paris pada bulan Desember 2007 dengan tujuan untuk mengambil kesimpulan dari pameran tersebut serta dampaknya terhadap publik. [SP/Adi Marsiela]

Published: 14/9/07

Selasa, 04 September 2007

Memaknai "Kesalahan" sebagai Keindahan

Tentara di Indonesia ternyata bisa tampil bercahaya dan glamour juga. Tidak ada kesan menyeramkan atau galak sebagai barisan depan penjaga pertahanan negara. Kesan itu bukan hilang oleh senyuman, melainkan warna-warni yang ada padanya.

Mulai dari raut wajah sampai baju lorengnya berubah warna. Sebut saja warna putih, biru, merah, orange, dan lainnya yang membentuk garis karakter wajah, tubuh, seragam, dan senjatanya. Tentara seperti ini hanya ada dalam alam pikiran Beatrix Henriani Kaswara.

Beatrix merealisasikan imajinasinya lewat lukisan berjudul Indonesian Army #2. Tidak hanya satu, Beatrix yang akrab dipanggil Bex itu, memainkan "tentara" lewat tiga karyanya yang berjudul sama, hanya berbeda nomor urut. Bagian latar dan sebagian besar bidang lukisan berwarna gelap merata, tanpa kedalaman. Ini adalah upayanya untuk lebih menonjol warna-warni tadi.

"Satu sisi saya bangga dengan tentara, tapi ada di sisi lain kecewa," ujar Beatrix singkat mengomentari karya-karyanya yang dipajang bersama 19 lukisan karya Dadan Setiawan, Dikdik Sayahdikumullah, Harry Cahaya, Iman Sapari, J Ariadhitya Pramuhendra, dan Willy Himawan di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung dalam pameran bertajuk errata-optika. Pameran ini berlangsung sejak Jumat (24/8) hingga Jumat (14/8) nanti.

Bex mengaku tiga karya itu merupakan pencapaian tercepatnya dalam berkarya. Sebelum melukis, dia terlebih dahulu memilih foto tentara dan mengolahnya lewat peranti lunak di komputer.

"Pakai Adobe Photoshop, terus dengan (efek) Glowing Edge. Baru dilukis ulang," papar dia menerangkan caranya melukis tentara-tentara yang 'menyala' itu.

Gaya lukisan realisme seperti ini yang menjadi benang merah dalam pameran tersebut. Semua karya pameran berasal dari sebuah pencitraan lewat teknologi (optik) yang sudah diolah terlebih dahulu baru dilukis memakai acrylic, cat minyak, dan arang ke dalam berbagai ukuran kanvas.

Beberapa figur terkenal-sayangnya tidak menggunakan profil tokoh kekinian-juga tidak luput dari pencitraan ini. J Ariadhitya Pramuhendra alis Hendra memakai pemburaman dalam menggambarkan Paus Yohanes Paulus II, John Lennon-Yoko Ono, dan Marilyn Monroe. Tapi, biar diburamkan, orang pasti mengetahui siapa yang ada di lukisannya.

Agung Hutjanikajenong kurator pameran menyebutkan karya-karya Hendra mengangkat kenangan masa lalu yang pada saat bersamaan misterius. Meskipun demikian, karya Hendra sekaligus juga auratik.

Karya berjudul And Conclude this to Memorize Me yang menggambarkan prosesi sakramen komuni yang dipimpin oleh Paus Yohanes Paulus II dianggap mewakili semua hal yang diungkapkan Agung.

"Sekilas seperti gagal namun tetap impresif," ujar Agung.

Berbeda dengan Bex dan Hendra, Harry Cahaya lebih mengangkat tema alam dalam karyanya yang berjudul Seescope #4. Dia mengambil citraan air laut beserta riaknya. Warna air bagi Harry tidak menjadi masalah, mau hijau, kuning, biru, atau merah. "Jadi laut bukan sebagai objeknya, tapi nuansa yang ada di sana," paparnya.

Tenang dan Teduh

Memang ketika memandangi Seescope #4 yang dilukis dengan cat minyak dan berukuran 285 X 145 centimeter itu, ada rasa tenang dan teduh di mata. Apalagi lukisan itu dipajang sendirian di lorong perantara pada tempat pameran.

Sayangnya, dari tujuh pelukis yang menghadirkan karyanya dalam pameran ini, hanya Willy Himawan yang berani keluar dari area kenyamanannya. Dia mengambil objek dari televisi- Motion and Stillness-dan juga sebuah buku- On Page 9. Dikdik Sayahdikumullah, peserta pameran paling senior sekaligus dosen di kampus Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung tidak juga keluar dari zona itu.

Dikdik "terjebak" mempresentasikan Sweet Deception dan Red Ad Hoc, gambaran dari balik kaca mobil saat basah tersiram hujan. Yang berbeda hanyalah objek di depan kaca itu.

Meski demikian, Red Ad Hoc dengan lampu-lampu belakang mobil yang biasanya baru kita perhatikan saat berkendara. Efek air yang memendarkan lampu-lampu itu memberikan pengalaman baru bagi yang biasa melihat suatu objek dalam bentuk pastinya.

Kecermatan Dikdik memanfaatkan refraksi cahaya, warna, dan bayangan pemandangan disajikannya lewat Sweet Deception. Ketidakjelasan selain warna hijau yang mendominasi menjadikan gaya realisme itu menjadi sebuah cara baru menikmati lukisan. Tidak dosa juga rasanya memandang karya itu sebagai sebuah lukisan surealisme.

Pameran ini, kata Agung, ingin memperlihatkan orientasi baru yang ditunjukkan oleh sejumlah seniman Bandung-yang semuanya berasal dari kampus yang sama-dalam mengolah dan menampilkan rupa realistik.

"Gambarnya kurang hidup kalau hanya membesarkan hasil foto. Makanya dilukis lagi," ujar Bex mengomentari alasannya melukis.

Lukisan-lukisan yang digambar dengan mengkopi realitas itu menunjukkan usaha seniman untuk "merebut" kembali persepsi yang sebenarnya sudah bisa diwakilkan oleh mesin seperti kamera dan mesin fotokopi.

"Dengan adanya realitas artifisial (buatan) maka penginderaan manusia diperpanjang. Kalau hanya memotret atau fotokopi, kita menikmati dan menghayati cara mesin di jaman seperti ini," ungkap Guru Besar Filsafat Universitas Parahyangan Bambang Sugiharto saat membuka pameran tersebut.

Oleh karena itu, Bambang berpendapat harus ada langkah lebih lanjut dari kegiatan ini sampai ke teoritisasi. Pameran ini cukup menjanjikan. [SP/Adi Marsiela]

Published: 31/8/07

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...