Rabu, 31 Oktober 2007

Mengangkat Laut yang Tenggelam

Fenomena pemanasan global yang menjadi perhatian dunia belakangan ini seakan terpatahkan di Indonesia. Es yang mencair dan mengakibatkan tenggelamnya wilayah daratan, ternyata tidak terjadi di Kampung Laut, Laguna Sagara Anakan.

 

Wilayah yang terletak di antara Pulau Jawa dan Nusa Kambangan ini terus menerus mengalami pendangkalan dari tahun ke tahun. Hasilnya, banyak bermunculan daratan baru yang tidak berpenghuni dan bertuan. Apabila diukur, luas Sagara Anakan yang  mencapai 6.450 hektare pada tahun 1903, sekarang ini daerah yang tergenang tidak mencapai 10 persennya.

 

Perubahan benteng alam menimbulkan masalah baru pada masyarakat Kampung Laut. Misalnya, mereka yang sehari-hari berprofesi sebagai nelayan, mau tidak mau harus alih profesi menjadi petani di atas tanah yang dulunya adalah laut tempat mereka menyandarkan hidup.

 

Kepemilikan tanah timbul - yang semakin luas - tidak hentinya dipertanyakan. Lembaga Pemasyarakatan Nusa Kambangan, Departemen Kehutanan, dan Badan Konservasi Sagara Anakan hanyalah sebagian dari banyaknya kepentingan untuk ‘memanfaatkan’ pulau-pulau baru tersebut. Masyarakat berharap agar tanah itu bisa mereka miliki dan gunakan.

 

Sementara tanah itu diklaim dan diambil alih dengan mengembangkan hutan mangrove oleh lembaga negara. Warga menginginkan agar tanah itu bisa digunakan bercocok tanam. Semuanya itu terangkai dalam sebuah film dokumenter berjudul Laut yang Tenggelam (The Drowning Sea).

 

Film produksi Komunitas Perfilman Intertekstual (KoPI) Bandung yang bekerjasama dengan Kantor Bantuan Hukum Purwokerto dan Masyarakat Ujung Alang, Kampung Laut, Sagara Anakan ini berhasil meraih Awards of Excellence untuk kategori New Asian Currents pada Yamagata International Documentary Film Festival (YIDFF) 2007, 4-11 Oktober lalu.

 

Yuslam Fikri Ansari, sang sutradara mengaku lewat ini film ini ingin mengadvokasi masyarakat di sana terkait masalah yang beragam. “Tidak ada niat untuk kompetisi,” tutur Yufik, panggilan akrabnya, beberapa waktu lalu.

 

Awalnya, terang dia, kedatangannya ke sana untuk ‘memotret’ kegiatan perempuan di sana sehubungan dengan perubahan bentang alam. “Tadinya buat film pendidikan dan pengorganisasian. Ternyata di sana banyak fenomena menarik.”

 

Sebelum Yufik dan kawan-kawannya datang ke sana, ternyata sudah banyak pendatang. Bedanya, mereka datang untuk mempertaruhkan hidup. Menjual tanah di daerah asalnya, seperti Karawang dan Ciamis guna memulai hidup baru di atas tanah timbul.

 

“Kita ajak masyarakat merefleksikan diri atas masalah sehingga dapat memberdayakan diri untuk merubah kondisi penghidupan mereka. Aturan soal menempati tanah timbul itu belum ada, terlebih statusnya,” ungkap Yufik yang memang semenjak dahulu tertarik dengan advokasi bidang agraria.

 

Kampung Laut, yang menjadi tempat pengambilan gambar itu, dihuni sekitar 14 ribu penduduk, terdiri dari empat wilayah. Masing-masing, Ujung Alang, Ujung Gagak, Panikel, dan Klaces. Perkembangan penduduk semakin memperluas kawasan-kawasan ini dengan Klaces sebagai pusatnya. Namun sampai saat ini belum tersambung listrik.

 

“Kita bawa-bawa genset,” kenang Yufik yang memproduksi film itu selama 1,5 hingga 2 tahun, semenjak bulan Mei tahun 2005 silam.

 

Film ini tidak banyak menampilkan teks dan narasi. Jalan ceritanya menggunakan teknik lost documentary, di mana dialog dan ekspresi yang diambil lebih spontan dan natural. Setting sutradara tidak menjadi yang utama. Para narasumber dibebaskan bicara mengenai masalah, pandangan, dan harapannya.

 

Berkenaan dengan keikutsertaan film ini di ajang festival sendiri, Moh. Syafari Firdaus sang produser mengatakan, pengiriman film itu lebih untuk menyebarkan pesan yang ada di dalam film tersebut. “Tidak kepikiran buat menang,” papar pria gondrong yang biasa dipanggil Daus ini.

 

Seleksi awal dalam festival ini diikuti 664 film dari 44 negara Asia. Dari 664 film itu, disaring 20 film untuk mengikuti festival yang bersifat kompetisi ini. YIDFF sendiri merupakan festival film dokumenter yang cukup terkemuka. Festival ini digelar dua tahun sekali sejak tahun 1989.

 

Selain New Asian Currents, YIDFF 2007 juga menggelar kompetisi untuk kategori International Competition yang pada seleksi awal diikuti 969 film dari 100 negara.

 

Sebelum Laut yang Tenggelam, sineas Indonesia sudah lima kali berturut-turut mengikutsertakan film dokumenternya dalam festival serupa. Sebut saja, Riri Riza dengan filmnya Merry Go Round (1995) dan Nan T. Achnas dengan filmnya The Little Gayo Singer (1997).

 

Pada tahun 2007 ini, ada satu film Indonesia yang juga ikut serta, yakni Playing Between Elephants karya Aryo Danusiri. “Sepanjang keikutsertaan di YIDFF, Laut yang Tenggelam merupakan film pertama yang mendapat penghargaan,” tegas Daus yang tengah mengusahakan agar film ini bisa turut diputar di bioskop-bioskop Indonesia.

Festival yang bersifat kompetitif itu juga memberikan penghargaan utama (Ogawa Shinsuke Prize) untuk kategori New Asian Currents kepada film dari Cina, Bingai yang disutradarai Feng Yan. Selain mendapat penghargaan utama, Bingai pun meraih Community Cinema Award.

Awards of Excellence diberikan pula kepada film Back Drop Kurdistan yang disutradarai Nomoto Masaru. Film hasil produksi bersama Jepang, Turki, dan Selandia Baru ini pun sekaligus dinobatkan sebagai film pilihan penonton, dan berhak atas Citizens’ Prize. [SP/Adi Marsiela]

Gaya Berlibur ‘Baru’ di Bandung

Berlibur di Kota Bandung tidak melulu identik dengan belanja dan makan. Wisata belanja - bisa jadi menyenangkan bagi yang memiliki uang – memang masih menjadi primadona buat mereka yang berlibur ke Bandung. Jajaran toko busana disertai aneka ragam jajanan seakan tidak pernah lelah dikunjungi wisatawan.

 

Memang mengasyikan melakukan hal seperti itu. Namun, apa jadinya kalau semua orang memilih Bandung sebagai tujuan wisatanya? Yang ada pastilah kemacetan di mana-mana, mengingat ruas jalan yang pendek dan kecil-kecil di Bandung ini. Konon, Bandung memang dibuat sebagai kota peristirahatan, jadi wajar saja kalau tidak mampu menampung banyak kendaraan pribadi.

 

Baru-baru ini, atau tepatnya tanggal 9 September lalu, saya berkesempatan mengikuti sebuah kegiatan jalan-jalan menikmati sisi-sisi lain Kota Bandung. Selain sarat sejarah, kegiatan rutin yang sudah memasuki tahun ke-empat penyelenggaraannya ini juga dipastikan tidak membuat jalan raya di Bandung menjadi macet dan padat. Nama acaranya Bandung Historical Walk 2007.

 

Kegiatan yang digagas oleh komunitas Bandung Trails ini memang sengaja dibuka untuk mereka yang memiliki ketertarikan dengan sejarah, khususnya Kota Bandung. Tidak disangka-sangka ternyata pesertanya cukup beragam, mulai dari pelajar sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan atas, mahasiswa, karyawan, serta ibu rumah tangga.

 

Para peserta ini dibagi ke dalam delapan kelompok, yang masing-masing kelompoknya diberi nama sesuai bangunan-bangunan bersejarah yang masih berdiri di Bandung.  Saya sendiri masuk dalam kelompok de Vries – toko kelontong yang menjual berbagai kebutuhan di persimpangan Jalan Braga dengan Jalan Asia Afrika. Kelompok yang lain mendapatkan nama seperti Preanger, Homann, dan Jaarbeurs.

Pembagian kelompok itu dilakukan pertama kali saat para peserta mendaftar ulang dan berkumpul di Gedung Merdeka, pukul setengah tujuh pagi. Gedung yang awalnya bernama Societiet Concordia ini merupakan tempat berkumpulnya kaum elit Eropa dan penduduk non Asia sekitar tahun 1895. Pada masa itu, berbagai kegiatan seperti teater hingga pelayanan gereja sempat memakai gedung tersebut.

Memasuki tahun 1921, gedung itu direkontruksi oleh C.P Wolf Schoemaker, seorang arsitek Belanda yang konon dilahirkan di tanah Indonesia. Lewat pengetahuan dan daya kreatifitasnya, bangunan ini menjadi sebuah gedung yang eksklusif dan modern untuk di Kota Bandung.

Tubagus Adhi, yang menjadi pemandu kelompok de Vries, mengatakan saat itu hanyalah orang-orang Eropa dari golongan sosial elit yang boleh masuk ke dalam gedung tersebut. Malah di depannya sempat terpasang tulisan kalau Inlander dan anjing dilarang masuk. Sampai-sampai, Schoemaker sendiri yang lahir di Indonesia dilarang masuk ke dalam klub tersebut.

Di dalam sayap timur gedung yang sekarang fungsinya menjadi bagian dan Museum Konferensi Asia Afrika itu, kami menikmati sajian film tentang Bandung tempo dahulu yang dipadukan dengan kondisi saat ini. Film yang disutradarai Garin Nugroho ini juga sempat diputarkan pada saat peringatan 50 tahun Konferensi Asia Afrika, pada tahun 2005 lalu.

“Di bawah sini terdapat tempat penyimpanan sepeda dan pernah juga dijadikan tempat untuk menjagal (anggota Partai Komunis Indonesia) pada tahun 1966,” tutur Adhi menjelaskan kondisi di bawah lantai bagian utama Gedung Merdeka. Usai menonton dan berkeliling di museum, para peserta pun mendapatkan kesempatan mengabadikan kenangannya dengan berfoto bersama.

Selesai dari sana, kelompok de Vries pun melangkah menuju ke titik kilometer 0 (nol) di Jalan Asia Afrika. Titik ini merupakan penanda jarak ke Cileunyi di sebelah timur Bandung dan Padalarang di sebelah baratnya. Di bawah tulisan Padalarang tertera angka 18 dan di bawah tulisan Cileunyi tertera angka 20 yang artinya baru ada istal pada jarak tersebut. Jarak itu pula - yang dipergunakan sampai sekarang – untuk menandai jarak dari dan menuju ke Bandung.

 

Konon di titik yang sama inilah, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Daendels yang terkenal kejam menancapkan tongkat kayu di dekat kakinya seraya berkata “Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd” yang diartikan “Pastikan, ketika aku kembali, aku sudah melihat sebuah kota baru dibangun di sini.”

Berbagai sumber tertulis menyebutkan, Daendels melakukan itu dalam kaitan pembangunan "Jalan Raya Pos" atau Grote Postweg pada tahun 1810-1825. Raja Belanda saat itu, Louis Napoleon memerintahkannya untuk memperkuat pertahanan Belanda di Pulau Jawa untuk mengantisipasi serangan Inggris. Jalan Raya Pos dibangun membentang dari Anyer (Serang, Banten) hingga Panarukan di Jawa Timur.

Peristiwa penancapan tongkat yang dilakukan Daendels, bukanlah tanda dimulainya pembangunan jalan di Bandung ketika itu. Dia menancapkannya setelah mengontrol pembangunan jalan dan menyeberangi jembatan Sungai Cikapundung sebelah barat Gedung Merdeka sekarang.

Daendels adalah orang pertama yang berjalan di atas jembatan yang baru selesai itu. Kemudian dengan ditemani Bupati Bandung, Wiranatakusumah II, Sang Gubernur Jenderal berjalan kaki hingga ke sebuah tempat yang berjarak beberapa meter saja ke sebelah timur dari seberang hotel Savoy Homann sekarang. Di situ dia berhenti, menancapkan tongkat kayunya sambil mengucapkan kalimat pengharapan tentang pembangunan sebuah kota. Tugu itu kini berada tepat di depan kantor PU Bina Marga Jawa Barat.

Di belakang tugu itu berdiri monumen mesin giling jalan atau disebut stoomwalls, yang kemudian disebut setum, Konon, alat bertenaga uap buatan Jerman yang menggunakan bahan bakar kayu ini adalah yang dipakai untuk meratakan dan mengeraskan jalanan tersebut.

Dari sana, de Vries meneruskan perjalanannya ke Grand Hotel Preanger. Bangunan yang dibuat pada tahun 1889 ini awalnya adalah sebuah guest house. Namun pada tahun 1928 dilakukan renovasi oleh C.P Wolf Schoemaker sehingga menjadi bangunan yang lebih besar dengan gaya arsitektur geometric art deco dengan adopsi ornamen suku indian maya.

“Waktu itu Sukarno juga pernah sempat ikut praktek kuliah lapangan bersama Schoemaker,” terang Adhi seraya menambahkan bangunan ini merupakan bahan referensi bagi para arsitek yang ingin mempelajari gaya arsitektur art deco di Indonesia.

Kami juga sempat menikmati keindahan arsitektur hotel tertua di Bandung, Savoy Homann. Tempat yang dahulu dimiliki oleh keluarga Homann dari Jerman sejak tahun 1880 baru mendapatkan renovasi pada tahun 1939 oleh A.F. Aalbers dengan gaya Art Deco seperti yang terlihat sekarang.

Selain sempat menjadi tempat menginap para pemimpin dunia dan delegasi Konferensi Asia Afrika tahun 1955, hotel ini juga menjadi tempat mampir Charlie Chaplin dan Marlyn Monroe ketika berkunjung ke Bandung.

Menyusuri trotoar di depan hotel itu ke arah barat, para peserta bisa menemukan gedung tua yang disebut de Vries. Bangunan gedung bergaya romantik ini adalah bekas toko kelontong pertama di Bandung. Penanda bangunan ini adalah sebuah menara di sebelah sisinya yang dibangun pada awal 1900-an.

Saat ini bangunan tersebut tidak lagi terlihat indah dengan kaca patrinya, karena sudah pecah oleh lemparan batu saat bobotoh Persib mengamuk beberapa tahun silam ke belakang. Kaca-kaca itu sekarang digantikan oleh tembok putih yang bisu dan kusam.

Selain bisa lebih mengenal berbagai gaya arsitektur, jalan-jalan ini juga membuat pesertanya menjadi lebih tahu tentang sejarah kotanya sendiri. Misalnya lewat kunjungan ke makam pendiri Kota Bandung, Raden Wiranatakusumah II (1794-1829) yang letaknya tepat di belakang Masjid Raya Jawa Barat.

 

Sayangnya, kondisi makam ini tidak diketahui oleh sebagian besar peserta. Wajar saja, lokasi makam itu tertutup oleh maraknya pertokoan di sana. Di tempat itu sendiri terdapat 138 makam dari keluarga dan kerabat Wiranatakusumah II. Selain di sini, lokasi makam para bupati Bandung lainnya berjarak sekitar 700 meter ke arah barat di Jalan Karang Anyar.

 

Menurut Cindy Permatasari, Koordinator Acara Bandung Historical Walk 2007, acara ini memang diselenggarakan untuk memperkenalkan sejarah Kota Bandung dan perkembangannya sekarang.

 

Seusai mengunjungi makam Bupati Bandung, para peserta bisa menikmati suasana Bandung dari menara masjid raya di Alun-Alun Bandung. Perjalanan dilanjutkan ke Penjara Banceuy, Sumur Bandung di Gedung PLN, Restoran Braga Permai, Gereja Katedral, Gedung SMP 5 dan 2, Gedung Jaarbeurs, dan berakhir di Gedung Sate.

 

Dalam jalan-jalan ini, peranan seorang pemandu menjadi sangat penting. Informasi yang didapat dari leaflet hanyalah menjadi pegangan yang bisa dibaca kapan saja oleh peserta. Sedangkan informasi tambahan di luar perancang gedung, gaya arsitektur, dan lainnya hanya bisa didapatkan dari pemandu.

 

Misalnya saja, informasi tentang Pendopo Kota Bandung yang sekarang menjadi rumah dinas Walikota Bandung. Adhi yang menjadi pemandu kelompok de Vries mampu mengemas informasi mengenai penataan komplek Alun-alun secara keseluruhan dan peranan pendopo pada masa lalu.

 

Keberadaan lonceng di pendopo juga menjadi menarik, karena ternyata itu adalah alat pemanggil untuk rakyat ketika akan diadakan eksekusi hukuman gantung di depan pendopo atau kantor pemerintahan pertama di Bandung setelah dipindahkan dari Karapyak.

 

“Sebaiknya informasi memang jangan hanya terkait arsitektur bangunan saja, perlu informasi tambahan dari pemandungnya,” terang Ade Mardiah (36), General Manager Hotel Sawung Galing yang menjadi peserta bersama empat orang rekan kerjanya.

 

Menurut Ade, dia sengaja mengikuti kegiatan ini bersama rekan-rekan kerjanya agar mengetahui seluk beluk tentang sejarah Bandung dan juga kekayaan bangunan tuanya. Strategi wisata seperti ini, tambahnya, bisa menjadi daya tarik Kota Bandung yang lain. “Bisa menjadi barang jualan yang menarik,” tambahnya.

 

Penempatan beberapa pos di tengah perjalanan untuk diadakan kuis menjadi kombinasi yang menarik dalam acara ini. Panitia cukup jeli memanfaatkan waktu ini untuk beristirahat bagi peserta yang sudah berjalan kaki sekaligus menyegarkan ingatan setiap peserta mengenai situs-situs atau bangunan sejarah serta jalanan yang sudah dilaluinya.

 

Nuki (43), salah seorang peserta yang merupakan warga Bandung menuturkan wisata atau kegiatan jalan-jalan seperti ini cukup penting. Pasalnya, tidak seluruh orang Bandung sudah mengetahui sejarah kotanya sendiri. “Banyak potensinya,” kata dia yang datang bersama dengan isterinya Vivi (38).

 

Mereka berdua mengaku cukup puas dengan jalan-jalan yang dipungut biaya Rp 50 ribu per orangnya ini. “Tidak mahal, sudah cukup memuaskan. Bisa dapat makan juga, games-games dari panitia juga asik,” terang Nuki yang mengharapkan agar pemerintah memperhatikan kebedaraan dan kelestarian situs-situs yang sudah dikunjunginya.

 

Pengalaman ini senada dengan pengakuan Rina Rahmawati yang baru satu tahun ini tinggal di Bandung. Dia merasa kecewa ketika melihat monumen penjara Banceuy, yang dahulu pernah dipakai untuk menahan Soekarno, Presiden pertama Indonesia. “Tempat bersejarah di tengah-tengah kota, tapi kumuh, banyak tunawisma. Sayang,” ujarnya seraya menikmati makan siang yang diberikan panitia bersama dengan sajian musik dari Klinik Keroncong di komplek Gedung Sate.

 

 

Banyaknya gedung dan jalanan di Bandung yang sarat dengan sejarah ini bisa menjadi salah satu alternatif bagi anda-anda yang merasa bosan dengan wisata belanja di Bandung. Pilihan itu ada di tangan anda, apakah ingin berjalan-jalan dengan menguras keringat tapi mendapatkan banyak wawasan tambahan atau tetap memilih berkendaraan dan menimbulkan polusi? [SP/Adi Marsiela]

 

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...