Jumat, 14 September 2007

Mencari Asal-Muasal Manusia di Bandung

Pernahkah Anda bertanya-tanya di dalam hati, bagaimana sebenarnya asal-muasal kita ini? Pertanyaan sederhana ini ternyata masih belum dapat dipastikan jawabannya oleh para pakar dan peneliti secara ilmiah.

Temuan kerangka tengkorak Toumai di Danau Chad, Afrika sekitar 6,5 juta tahun lalu serta temuan tulang paha Orrorin tugenensis di Kenya sekitar 6 juta tahun masih belum mampu mengungkap tabir misteri tersebut.

Kedua penemuan itu menjadi benang merah dalam pameran dan warisan prasejarah dari kepulauan-kepulauan Asia Tenggara. bertema "First Islanders" di Campus Centre Institut Teknologi Bandung (ITB) yang berlangsung semenjak 5 September hingga 5 Oktober 2007 mendatang.

Kedua temuan penting dalam bidang paleontologi atau antropologi itu ditampilkan secara berjejer dalam ilustrasi foto. Keduanya berdasarkan hasil penelitian dipercaya merupakan nenek moyang manusia yang berdiri di atas dua kaki, seperti kita sekarang ini.

Indonesia sendiri memiliki peranan besar dalam pameran ini. Penyebabnya, tiada lain adalah temuan dari dokter sekaligus antropolog Belanda, Eugene Dubois di balik endapan Pleistocene di Jawa Timur dekat Kedung Broeboes dan Trinil. Rasa penasarannya akan kabar temuan tulang belulang di daerah itu membuat Dubois melakukan penggalian di sana.

Dia berhasil menggegerkan dunia lewat temuan berupa tengkorak dan paha Pithecantropus erectus yang dipresentasikan pertama kali di Prancis pada tahun 1900. Temuan itu merupakan salah satu specimen Homo erectus, satu diantara garis dan cabang keturunan nenek moyang manusia modern yang pertama kali meninggalkan benua Afrika.

Kerangka tengkorak lain yang cukup menarik untuk diperhatikan adalah tengkorak kepala bayi yang diperkirakan sudah berusia 1,5 juta tahun lalu. Tengkorak Homo erectus dari seorang bayi yang diambil dari Mojokerto, Jawa Timur ini diperkirakan berusia 1,5 juta tahun lalu dan merupakan yang termuda dari yang pernah ditemukan di dunia.

Para peneliti yang tergabung dalam jejaring Human Origins Patrimony in Southeast Asia (HOPsea) ini membagi pameran ke dalam empat segmen besar, Evolusi, Migrasi, Adaptasi, dan Sapiens. Beberapa tengkorak dan kerangka yang disebut di atas dapat kita 'nikmati' dalam segmen Evolusi.

Kawasan Asia Tenggara, jelas Andri Purnomo, peneliti muda Indonesia pada Museum National D'histoire Naturelle (Prancis) merupakan laboratorium yang fantastik untuk mempelajari paleobiodiversitas, termasuk keturunan genus Homo. "Sudah menjadi rahasia umum 40 persen temuan fosil ada di Sangiran," terang dia.

Sangiran yang disebut-sebut oleh Andri adalah nama sebuah daerah di Jawa Timur yang mendapatkan banyak kunjungan dari peneliti luar negeri karena 'kekayaan fosilnya'. Jejak itu bisa kita dapatkan dalam jajaran ilustasi dan replika fosil di ruang pameran.

Human Origins Patrimony in Southeast Asia (HOPsea) memang sengaja menggelar pameran fosil dan warisan prasejarah dari kepulauan-kepulauan Asia Tenggara ini. Pasalnya, temuan yang didapat dari Indonesia banyak yang 'dibawa' ke luar negeri untuk diteliti.

Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Amelia mengatakan apabila tidak ada pameran seperti ini maka kecil kemungkinannya bagi masyarakat Indonesia untuk melihat kekayaan cagar budaya.

"Karena untuk membawa artefak dari satu daerah ke satu daerah lain di Indonesia saja harus ada perijinan segala. Apalagi yang sekarang antar pemerintah," terangnya.

Membuka Wawasan

Pameran ini juga bakal membuka wawasan kita mengenai napak tilas perjalanan manusia hingga akhirnya dapat tiba dan berkembang di Asia Tenggara. Runtutan peristiwa ini bisa kita amati dalam segmen Migrasi, yang menggambarkan adanya perubahan besar pada aspek geografi dan iklim pada beberapa juta tahun terakhir di kawasan itu.

Pada masa lampau, Kepulauan Sunda ternyata sering terhubungkan dengan Asia daratan oleh jembatan darat akibat surutnya samudra. Banyak alur laut menyempit yang memungkinkan fauna darat menyeberang atau berpindah tempat.

Kondisi ini menjelaskan persebaran manusia di kepulauan dan membantu kita memahami hunian-hunian purba pada pulau-pulau terpencil. Homo erectus tertua mencapai pulau Jawa segera setelah kedatangan mamalia pertama di sekitar 1,5 juta tahun yang lalu.

Terkait dengan kondisi iklim saat itu, para peneliti mempelajarinya dari sebuah kulit kura-kura raksasa yang sudah menjadi fosil dan ditemukan di kubah Sangiran, Jawa Timur. Kedatangannya ke pulau Jawa-dari rekaman di batoknya-diperkirakan sekitar 2 juta tahun lalu.

Andri memberi contoh lain. Fosil kuda nil, Hexaprotodon sivalensis yang ditemukan di Bukuran, kubah Sangiran. Dengan mempelajari fosil berusia 1,2 juta tahun itu, para ahli bisa mengetahui bagaimana kondisi iklim saat itu.

"Kuda nil tidak mungkin hidup di suhu dingin. Diperkirakan juga suhu di Jawa saat itu lebih hangat daripada tempat asal mulanya. Sehingga mencari makan lebih mudah dengan bergerak ke arah selatan, seperti Jawa," ujar dia.

Mengenai makanan yang tersedia, para peneliti mempelajarinya dari temuan rahang atau gigi. Semakin tinggi sebuah mahkota gigi baik pada manusia atau hewan maka bisa disimpulkan makanan yang dikunyahnya sudah semakin lunak.

Selesai mengamati evolusi dan migrasi, kali ini asal muasal manusia bakal dibahas dari cara mereka menyesuaikan diri dengan lingkungan pada masanya dahulu. Ternyata pada saat beradapatasi, seringkali ada perubahan yang tidak dapat disangka-sangka. Misalnya, temuan Dwarf stegodon di Timor.

Gajah purba ini tingginya hanya seukuran manusia namun gadingnya cukup besar dan mampu menanduk hingga kita terpental jauh. Ternyata, proses kehidupan dalam lingkungan khusus berimplikasi pada tingkah laku yang adaptif.

Khusus untuk konteks kepulauan, setiap pulau memiliki karakter anatomi dan sejarah evolusinya sendiri. Misalnya, hewan yang mengalami pengkerdilan atau pembesaran secara spektakuler.

Contoh lain proses adaptasi yang mendapatkan perhatian dunia adalah temuan Homo floresiensis di Liang Bua, Flores. Pada pameran ini ditampilkan tengkorak kepala dari manusia Flores yang memang cukup mungil itu. Terlepas dari kontroversi yang masih diperdebatkan oleh para ahli soal temuan tersebut, pameran ini hanya memberikan gambaran awal proses pencarian jati diri manusia.

Pada bagian terakhir, pengunjung disuguhi dengan penelusuran jejak spesies Homo sapiens sebagai penjelajah di kepulauan Asia Tenggara. Dalam pameran ini diperlihatkan antara lain fosil yang ditemukan di Gua Tabon, Filipina, hampir 20 ribu tahun lalu, ataupun kuburan manusia di Gua Song Terus, Punung, Pacitan, Jawa Timur, sekitar 10 ribu tahun lalu.

Pameran First Islanders yang digarap selama tiga tahun dan melibatkan lima negara dalam jaringan kerjanya ini terbuka untuk umum. "Kami mengharapkan masyarakat di luar mahasiswa terdorong untuk mengetahui dan menumbuhkan kepedulian soal budayanya sendiri," papar Christine Hertler, ahli paleobiologi dari J W Goethe University, Jerman.

Antusiasme

Sayangnya, antusiasme masyarakat terhadap hal-hal seperti ini masih kurang. Banyak yang menganggap ilmu seperti arkeologi dan sejenisnya tidak mampu menghidupi. Yahdi Zaim, ahli geologi ITB menjelaskan secara keilmuan, paleontologi atau antropologi mungkin masih kurang populer di telinga masyarakat Indonesia. "Apalagi masih susah orang cari makan dari ilmu ini," katanya.

Karena itu, dengan pameran ini, kata dia, diharapkan masyarakat dapat mengerti betapa pentingnya sebuah temuan sejarah, meskipun kecil. "Dari situ, masyarakat bisa tertarik dan memiliki rasa memiliki serta tanggung jawab," katanya.

Hal senada disampaikan oleh Anne Marie Semah, peneliti dari Institut de recherche, Prancis. Keberhasilan pameran seperti ini, sambungnya, dilihat dari seberapa banyak anak-anak yang datang berkunjung.

"Kalau sampai anak-anak datang dan banyak bertanya, berarti pameran ini berhasil. Ajang ini sekaligus untuk menumbuhkan minat mereka mempelajari atau mengenal budayanya sendiri."

Apabila semua sudah mengenal dan mengetahui pentingnya temuan-temuan atau fosil maka kekhawatiran tentang pengambilan dan penjualan fosil secara tidak bertanggungjawab seperti di Sangiran dapat dikurangi atau ditinggalkan sama sekali.

Francois Semah, ahli palaeolitik, prasejarah Asia dan Eropa dari Museum National d'histoire Naturelle Prancis mengatakan pameran ini merupakan hasil kerja dari para peneliti, pengajar, serta mahasiswa Indonesia, Filipina, Prancis, Belanda, dan Jerman.

Anggota HOPsea yaitu Museum National d'histoire Naturelle, Institut Teknologi Bandung, Ikatan Ahli Arkeologi, National Museum of the Philippines, University of the Philippines Diliman, Johann Wolfgang Goethe Universitat, Senckenberg Forschungsinstitut und Naturmuseum Frankfurt, Naturalis Nationaal Natuurhistorich Museum, dan Centre for Prehistoric and Austronesian Studies Indonesia.

Setelah digelar di ITB, pameran akan dilanjutkan dengan keliling Prancis, Filipina, dan negara lainnya. Setelah itu, sebuah seminar internasional akan diadakan di Paris pada bulan Desember 2007 dengan tujuan untuk mengambil kesimpulan dari pameran tersebut serta dampaknya terhadap publik. [SP/Adi Marsiela]

Published: 14/9/07

4 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...