Senin, 18 Juni 2012

Bukan Cuma Pinokio yang Hidup

-->
Tupu tampak asyik sendiri. Mengenakan kupluk berkuping dan bergigi dua, Tupu tidak menyadari kehadiran seekor anjing abu-abu di dekatnya. Dia kaget begitu tahu posisi anjing sudah begitu dekat dari suara gonggongannya. Tupu berupaya menghalau anjing itu dengan mainannya.

Karena tidak berhasil, Tupu meniup peluit merah yang sehari-hari dia kalungkan di lehernya. Prittt, priiitt, priitt !!!
 

Moyo, sang kakak, keluar dari rumah dan membawa Tupu mendekat ke rumah. Anjing itu dia lempar dengan mainan Tupu. Usahanya berhasil, tapi Tupu menangis karena mainannya rusak.

Melihat adiknya sedih, Moyo pun berusaha menghiburnya. Kedekatan antara keduanya terlihat jelas saat Moyo berusaha merangkul adiknya. Pelan-pelan, Tupu melupakan tangisnya. Kegembiraan Tupu semakin menjadi saat Baba, sang ayah pulang dan membawakan balon merah untuknya.



Dekat rumah mereka tinggal Haki, yang memiliki seorang anak perempuan, Lacuna, yang selalu duduk di kursi roda. Sesekali Haki menyapa Tupu saat lewat di depan rumahnya. Mereka hidup berdampingan dengan mesra.
 
Tapi semua itu berubah drastis dalam waktu singkat. Haki tidak mau berdekatan dengan lagi dengan Baba yang hanya memiliki satu tangan itu. Perubahan itu akibat sebuah tanda segitiga merah di jendela rumah Baba.

Sejak ada tanda itu, Baba dibawa pergi oleh orang berseragam dan bersenjata. Dia tidak kunjung kembali. Moyo yang berusaha mencari ayahnya malah ikut dibawa orang bersenjata. Suara peluit yang ditiup Tupu tidak bisa membawa Moyo dan Baba kembali.

Itulah sebagian adegan dari pertunjukan teater boneka bertajuk Mwathirika yang dibawakan oleh Papermoon Puppet Theatre di Institut Francais Indonesia, Bandung, Jumat (15/6) kemarin. 

Boneka-boneka itu tidak bersuara. Yang ada hanya panggilan nama, selebihnya berkomunikasi dengan bahasa tubuh. “Boneka itu memang tidak ada pita suaranya, jadi lebih pada pergerakan. Gerak itu bahasa pertama manusia juga,” kata Iwan Effendi, salah seorang konseptor Papermoon Puppet Theatre.

Bersama istrinya, Maria Tri Sulistyani atau Ria yang menjadi sutradara pertunjukan ini, Iwan berhasil menghadirkan sebuah drama kehidupan soal kehilangan yang dialami oleh banyak orang.

Di bagian awal, mereka menampilkan teks di layar hitam yang menyatakan pertunjukan Mwathirika didedikasikan kepada korban dan anggota keluarga yang hilang pada September 1965 dan tragedi lainnya di dunia yang diakibatkan oleh gejolak politik.

Mwathirika, kata Ria, merupakan bahasa Swahili yang berarti korban dalam bahasa Indonesia. Moyo sendiri berarti hati, Tupu berarti kosong, Baba berarti ayah, dan Haki berarti benar. Nama Lacuna sendiri diambil dari bahasa Inggris yang berarti celah.

“Ini adalah sebuah kisah tentang adanya sejarah kehilangan di dalam hidup kita. Bukankah kalau kita tahu tentang apa yang terjadi di masa  lalu, maka kita bisa memahami kenapa kita berdiri di sini sekarang dan mau pergi ke mana di masa mendatang?” sebut Ria dalam katalog pementasan.

Iwan mengungkapkan, kisah yang mereka tampilkan itu banyak yang terinspirasi dari cerita orang-orang yang benar merasakan kepahitan akibat tragedi tahun 1965 lalu. “Kakek saya seorang dalang yang kemudian harus menjalani masa penahanan pada masa itu,” kenang dia. 



Adegan yang mereka ambil dari pengalaman nyata pada masa itu tergambar saat Moyo menangkap katak untuk bahan makanan bersama adiknya. Secara umum kisah ini sangat menyedihkan karena penonton dibawa ke dalam suasana kehilangan orang terdekat, terkasih, dan tercinta.

Tengok saja Haki yang tidak mau menyapa atau sekedar melihat tetangganya yang sudah dicap dengan tanda segitiga merah. Lacuna yang sehari-hari bermain dengan Tupu disuruh pulang dan tidak bergaul. Haki baru tahu soal kehilangan yang dialami Tupu, saat dia menemukan kursi roda Lacuna terguling berantakan.

Untuk mengingatkan pahitnya kehilangan akibat tragedi tersebut, Ria dan Iwan sengaja memilih media boneka. “Dengan boneka itu sepertinya orang-orang lebih bisa menerimanya, mungkin dianggap lucu sehingga mau memperhatikan dan kemudian larut dalam ceritanya,” ungkap Ria.

Boneka-boneka yang dibuat dengan cara papiermache atau melapisi kertas demi kertas itu mereka tampilkan di panggung dengan teknik bunraku dan kuruma ningyo. Kedua teknik itu berasal dari seni tradisi Jepang.

Bunraku merupakan teknik memainkan satu boneka tradisional secara bersama-sama oleh beberapa orang. Gerakan boneka terlihat hidup dan terasa bernyawa, lengkap dengan emosi yang tersalurkan dari pemainnya. Teknik kuruma ningyo adalah memainkan boneka yang sama sembari duduk di atas kursi beroda. Cara ini lebih efektif dibandingkan bunraku yang pemainnya lebih banyak.

“Kami latihannya sembari menghadap kaca, jadi semua pergerakan harus diperhitungkan,” terang Iwan yang mengawali karirnya sebagai pelukis.

Meski demikian, para pemain boneka ini juga kadang tampil sebagai bagian dari cerita. Saat manggung, mereka memakai topeng. Kadang sebagai anggota organisasi yang dicap segitiga merah, pemain sirkus, dan paling sering berlalu lalang sebagai tentara yang membawa Baba dan Moyo pergi untuk selamanya. 



Soal tidak adanya sosok ibu dalam Mwathirika, Ria dan Iwan sepakat, rasa kasih sayang dan hubungan emosional tidak dimonopoli oleh kaum ibu saja. Hal itu bisa juga terjadi antara ayah dengan anaknya atau adik dengan kakaknya. “Kalau ada sosok perempuan, kami khawatir dia yang jadi lebih emosional. Padahal semuanya juga bisa merasakan itu,” kata Ria yang sempat menjadi guru taman kanak-kanak ini.

Pertunjukan Mwathirika memang sederhana ceritanya. Tidak ada dialog, hanya pergerakan tubuh, ilustrasi musik, tayangan video, serta tata lampu. Tapi itu semua bisa menyampaikan kalau rasa kehilangan akibat sebuah gejolak politik hanya menjadikan semua orang sebagai korban. Baik di negeri ini, atau di bagian lain belahan bumi.-Adi Marsiela

*tulisan ini dimuat di Suara Pembaruan, edisi Senin, 18 Juni 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...