Kamis, 12 Juni 2008

Basa-Basi Saudara Tua


“…Pada saat itu, aku agak merasa malu. Terus terang saja, aku tak pernah merasa ini. Aku malu dan dengan terus terang memandang Indonesia dengan enteng. Kumohon maaf…”

Demikianlah pengakuan Toyoshima Hideki, Direktur Graf Media GM dari Jepang yang melakukan survei buat pameran “KITA!!: Japanese Artist Meet Indonesia”. Ini merupakan kedatangan pertamanya ke Indonesia.

Sebelumnya, Hideki yang menerima tugas dari Japan Foundation untuk menjadi kurator di pameran tersebut menganggap di Indonesia tidaklah banyak ruang seni dan kebudayaan.

Kenyataannya, survei di Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta menunjukkan hal yang berbeda. Dalam kesempatan bincang-bincang di Bandung, beberapa waktu lalu, dia mengaku menemukan banyak ruang seni dan budaya dengan berbagai ukuran. Setiap tempatnya menunjukkan prinsip dan warna tersendiri dengan jelas. Hal ini jugalah yang membuatnya menuliskan permohonan maaf dalam pengantar kurasinya.



Singkat cerita, bersama Takahashi Mizuki yang sehari-hari menjadi kurator di Galeri Seni Menara Mito, mereka memilih seniman-seniman Jepang yang bakal berpameran di Indonesia.  “Kita coba menghubungkan Jakarta-Bandung-Yogya. Kita tidak ingin bawa tradisi Jepang, tapi apa yang terjadi di Jepang,” kata Hideki seraya menyatakan pameran ini sebagai bagian dari perayaan 50 tahun hubungan diplomatik Indonesia dan Jepang.

Seniman-seniman itu, sambung dia, harus datang dan tinggal dulu di Indonesia untuk membuat sesuatu atau berkarya. Hideki mengaku tidak ingin membuat kegiatan ini hanya sebagai sebuah peringatan, melainkan tonggak untuk memulai sebuah hubungan yang lebih baik.

Menurut dia, dengan tinggal, bertemu, dan makan bersama-sama orang Indonesia bakal muncul sesuatu yang dapat dijadikan karya untuk di tiga tempat terpisah, mulai 19 April 2008 hingga 18 Mei 2008 ini.

Salah satu yang karya di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, yang ‘mempertemukan’ seniman asal Jepang dan warga asli Indonesia adalah ‘Pika-Pika’. Karya yang digarap oleh pasangan suami istri, Nagata Takeshi dan Monno Kazue ini berkolaborasi dengan tukang becak, penjual nasi goreng, pengemudi angkutan kota, anak-anak dari Kota Bandung.

Dalam penggarapannya, kedua seniman ini mengajak anak-anak hingga orang tua untuk menggambar dengan menggunakan cahaya beraneka warna dari lampu senter. Kegiatan menggambar ini dilakukan dalam kondisi minim cahaya. Setiap gerakan yang dilakukan oleh sang penggambar direkam dalam kamera.

Setelah terkumpul, maka gambar-gambar itu akan disatukan dan diproses dengan dimasukkan suara. Hasil akhirnya yang berupa film animasi ini yang bisa dinikmati bersama dalam pameran.

Kegiatan yang diberi nama ‘Pika-Pika’ ini digarap di berbagai lokasi seperti kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, Common Room, Terminal Dago, stasiun kereta api, dan Jalan Layang Pasteur Surapati. Film ini diberi judul “Thunder”.

“Menarik saja melihat angkutan kota yang warnanya sama begitu banyak di Kota Bandung,” kata Kazue menceritakan latar belakang pelibatan supir angkutan kota dalam karyanya.

Berbeda dengan Kazue yang berbicara dengan cahaya, Hayashi Yasuhiko dan Nakano Yusuke bekerjasama dengan sedikitnya enam orang mahasiswa seni rupa dari ITB. Mereka berdua membawa plarail, mainan jalur kereta api dari plastik untuk membuat karya yang disebut paramodel.

Ruangan di Selasar Sunaryo mereka rubah menjadi instalasi menuju dunia lain dengan warna dominan biru dan putih, menjadi sebuah Taman Firdaus ala paramodel. “Kami sangat dipengaruhi oleh masa kecil yang akrab dengan mainan,” kata Hayashi.

Dalam pembuatannya, mereka berdua yang tidak bisa berbahasa Inggris ini dipaksa berkomunikasi dengan enam mahasiswa asal Indonesia yang tidak bisa berbahasa Jepang. Hayashi dan Yusuke hanya menunjukkan denah pemasangan plarail yang diinginkannya dan para mahasiswa memasangnya.

“Kita berkomunikasi dengan segala bahasa,” tutur Yusuke sembari tertawa menceritakan pengalamannya membuat karya pertama di luar Jepang.

Memperhatikan karya mereka, membuat kita berasa dalam sebuah dunia yang lain. Ruangan berwarna putih itu penuh dengan garis-garis berwarna biru. Perpaduannya menyerupai sebuah peta lapangan.

Buat mereka kondisi Taman Firdaus itu bukanlah sebuah utopia atau impian, melainkan sebuah ruang yang penuh dengan multi dimensi paradoks yang mengandung ironi. “Orang-orang kadang melupakan masa kecilnya,” ungkap Hayashi yang sudah berkarya dengan berbagai metode ekspresi seperti fotografi, video, dan juga menggambar.

Interaksi paling lama mungkin dialami oleh Matsumoto Chikara yang datang ke Indonesia semenjak 28 Maret 2008. Dia juga sempat menggelar pelatihan terkait dengan karyanya yang berupa gulungan gambar dengan kamera digital.

Setiap peserta pelatihan atau pengunjung yang datang dipersilahkan menggambar apa saja dalam kertas yang lebarnya sekitar lima sentimeter. Gambar antar peserta -baik yang berwarna atau hitam putih- itu tidak terputus satu dengan lainnya, mereka berada di satu kertas yang sama. “Drawing jadi dasar dari karya ini. Itu sekaligus bisa memberikan emosi,” kata Chikara. Gambar-gambar itu lantas disorot menggunakan kamera digital sembari ditarik dari ujung yang satu ke ujung lain, sehingga bisa tampak seperti animasi, layaknya sebuah film saja.

Interaksi yang dibangun oleh Chikara, paramodel, Pika-Pika, dan seniman Jepang lainnya di Bandung tidak ada satu pun yang menyentuh atau membahas pertemuan yang diawali oleh penjajahan.

Hal ini pula yang dipertanyakan oleh Aminuddin TH Siregar, kurator yang baru menyelesaikan program residensinya di Fukuoka Asian Art Museum, Jepang. Dalam diskusi “Seni Rupa Indonesia dan Jepang, Perspektif Sejarah dan Kekinian” yang mewarnai pameran ini, dia menyayangkan posisi Indonesia, baik seniman, mahasiwa, atau lainnya yang hanya menjadi penonton.

Mereka yang datang dan berkarya di Indonesia terlebih Kota Bandung, sama sekali tidak menyinggung fakta atau langkah maju apa yang sudah ada antara kedua negara ini di luar hubungan ekonomi.

Menurut Ucok, begitu dia biasa dipanggil, sama sekali tidak ada kegelisahan terkait romusha, jugun ianfu, dan sejenisnya yang diangkat dan menjadikan pameran ini lebih membawa arti dalam hubungan Indonesia dan Jepang. “Karena dalam dunia yang semakin global, kesempatan untuk membicarakan masalah ini semakin ada.”

Ketiadaan ini, paparnya, membuat karya-karya yang ada hanya ‘baik’ secara rupa saja. Secara konteks, yang bisa menjadi pegangan hubungan ke depan antara kedua negara ini sama sekali tidak ada. “Kalau seni bisa menjadi jembatan untuk ini, sesuatu yang lebih baik,” ungkap Ucok.

Terlepas dari fakta-fakta bahwa penjajahan itu membawa sengsara, segala aktivitas kesenian yang terjadi pada masa itu memberikan cara pandang baru. Jepang, lewat Keimin Bunka Shidosho berhasil menggelar banyak pameran semenjak tahun 1943.

Padahal, kata dia, lembaga ini sangat melecehkan posisi Indonesia. Secara harafiah, lembaga itu bisa diartikan sebagai pusat pencerahan budaya. Dalam konteks ini, Jepang memposisikan diri sebagai sebagai pengayom, pengarah, atau pencerah bagi Indonesia. “Mereka sangat terorganisir dibandingkan dengan Persagi (Persatoean Ahli-Ahli Gambar Indonesia).”

Organisasi yang disebut terakhir itu dibentuk pada 28 Oktober 1938, sebelum sebelum Jepang datang. Organisasi yang diketuai Agus Djaja dan S. Sudjojono sebagai sekretaris ini tidak terlepas dari keterlibatan mereka dalam pameran di Bataviasche Kunstkring, sebuah gedung pameran seni pemerintah Belanda yang letaknya di Jalan Teuku Umar, Jakarta sekarang ini.

“Keikutsertaan dalam pameran itu bertolak dari keyakinan serta keberanian untuk menonjolkan diri agar bisa menghapus hinaan-hinaan bahwa pelukis pribumi tidak memiliki potensi,” ujar Ucok.

Seiring masuknya Jepang ke Indonesia, pada tahun 1942, organisasi ini turut dibubarkan. Pada masanya, Persagi sendiri hanya berhasil menggelar kurang lebih tiga pameran.

Ucok mengungkapkan beberapa penulis dan kritikus Indonesia berselisih soal pengaruh dari pemerintahan Jepang, khususnya Keimin Bunka Shidosho, dalam perjalanan seni rupa Indonesia.

Sebagian menilai keberhasilan Jepang berdasar peningkatan jumlah seniman yang muncul pada masa itu. Selain itu, Jepang juga memberikan penghargaan dalam bentuk  uang melalui sayembara serta material, peralatan melukis.

Tapi, sambung Ucok, ada juga yang menganggap pada masa Jepang, seni di Indonesia tidak mempunyai pegangan, pijakan yang kokoh. “Sasarannya karena ada motif propaganda yang dilakukan oleh Jepang dalam pengerahan seniman-seniman Indonesia.”

Sudut pandang lain, dampak terbesarnya kepada seniman Indonesia adalah semakin tumbuhnya kesadaran berorganisasi yang terstruktur, kesadaran akan fungsi propaganda dalam seni, dan terakhir, kesadaran atas eksistensi seni dan seniman di tengah masyarakat.

Melihat sejarah panjang ini, seharusnya, pameran dari para seniman muda Jepang ini bisa memberikan sesuatu yang ‘baru’. Tidak sebatas kemampuan menyajikan kecanggihan teknologi semata. Demikian juga halnya dengan seniman Indonesia, agar dalam peringatan 50 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Jepang ini tidak hanya menjadi penonton.

3 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...