Selasa, 24 Mei 2011

Berjudi ala Gusjur


Sembilan pria yang tidak memakai baju itu berteriak-teriak. Mereka meminta agar pemerintah melegalkan perjudian. Sembari membawa spanduk bertuliskan ‘Legalkan Perjudian’, mereka terus merangsek maju ke depan istana presiden.

 “Kenapa rakyat kecil ditangkapi kalau berjudi? Apa bedanya sama milih wakil rakyat? Bukannya itu juga berjudi? Itu jadi legal karena disebut demokrasi,” ungkap seorang pengunjukrasa di dalam auditorium Pusat Kebudayaan Perancis, Bandung, Jumat (20/5) malam lalu.

Merasa tuntutannya tidak dipenuhi, para pengunjuk rasa mulai melemparkan batu ke arah petugas keamanan. Bentrokan pun tidak terhindarkan. Batu-batu beterbangan. Kekacauan terjadi di mana-mana, hanya karena para pengunjukrasa minta lapak judi mereka tidak ditutup aparat.

 Usaha mereka tidak sia-sia. Pemerintah dan wakil rakyat setuju untuk membuat undang-undang yang melegalisasi perjudian dari segala tingkatan.

 Begitulah sebagian adegan dari pertunjukan He-Don yang dibawakan oleh Teater Tarian Mahesa. Selama hampir dua jam, Agus Priyanto atau Gusjur yang menjadi sutradara, membawa penonton untuk masuk ke dalam ceritanya.

Sejak awal, sebelum masuk ke auditorium, penonton sudah diajak terlibat dalam pertunjukan lewat alam bawah sadarnya. Ada yang menjual kacang, menawarkan jasa semir sepatu, sampai yang berjualan nasi liwet.

 Uang yang mereka dapatkan itu akhirnya dijadikan modal buat berjudi di dalam auditorium. Penonton juga bisa ikut bertaruh dengan menaruh uangnya di atas petak bergambar angka satu sampai enam seperti pada kartu domino.

 Bandar akan mengocok dua buah dadu. Pemenangnya adalah yang berhasil menebak angka dadu yang keluar. Pertunjukan ini diawali dengan acara musik seperti yang lazim digelar setiap tahunnya pada saat peringatan hari kemerdekaan.

Untuk menambah kemeriahan, para pemain tidak ragu menarik penonton untuk jadi bagian dari jalan cerita. Sebut saja penyair Godi Suwarna yang didaulat menjadi pasangan pengantin di bagian tengah panggung.

Pemain musik dan penyanyi di panggung depan pun melantunkan lagu dangdut layaknya di sebuah acara pernikahan. Sementara perhatian penonton tersedot ke panggung, di sisi lain ruangan itu lapak perjudian dibuka. Penandanya sorot lampu.  

Perjudian memang menjadi benang merah cerita ini dari awal sampai pada akhirnya. Dalam arena judi, aroma pesta pora dan pencabulan kental terasa. Arena itu jadi sarana melepas penat atau sekedar berlari dari kenyataan hidup yang begitu keras dan penuh intrik.

Lewat arena judi itu pula, cerita mengalir. Setiap tokoh mulai dari tukang kacang, tukang bangunan, pegawai negeri sipil, sampai preman bekerja keras mencari uang. Namun, uangnya selalu habis di meja judi. Mereka berusaha mengadu nasib dengan cara singkat.

Cara itu tidak jauh berbeda dengan yang dipilih oleh para calon kepala daerah dan wakil rakyat. Mereka mengajak masyarakat untuk melakukan perjudian secara legal. “Itu semua adalah judi yang dilegalkan, jadi jangan munafik,” ujar Gusjur.

Memilih satu dari ratusan calon wakil rakyat atau satu dari beberapa calon presiden yang tidak kita ketahui latar belakang dan kinerjanya secara utuh, sama seperti memilih salah satu dari enam angka dadu.

Tidak ada yang bisa mengetahui siapa pemenangnya sampai bandar membuka pengaduk dadunya. Dalam pemilihan umum, presiden terpilih atau wakil rakyat yang terpilih baru diketahui setelah dihitung hasil pemungutan suaranya. Apa bedanya dengan judi di lapak-lapak pasar?

Pertunjukan ini sendiri tidak akan menjadi menarik tanpa peranan Arman Djamparing sebagai penata artistik. Seniman otodidak ini berhasil memanfaatkan seluruh sudut ruangan menjadi ruang pertunjukan.

Alhasil penonton harus berpindah-pindah untuk mendapatkan sudut pandang yang tepat. Benar-benar pertunjukan yang melelahkan sekaligus menyegarkan. [SP/Adi Marsiela]

 

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...