Jumat, 28 Desember 2007

Pesona di Atas Danau

 “Sometimes words are hard to find

i'm looking for that perfect line

to let you know you're always on my mind

yeah, this is love - and i've learned enough to know 
i'm never letting go 
no, no, no - won't let go,…”
 

Lantunan lagu berjudul 'The Best of Me' dari dalam pemutar kaset di KM Lake Toba Cruise 2 itu seakan-akan mengerti dengan apa yang tengah saya alami. Bryan Adams sendiri, menyanyikan lagu tersebut untuk menceritakan sesuatu yang indah dalam hidup tidaklah akan dilepaskan atau dilupakannya. 

Saat mendengar lagu itu, saya tengah berada di kapal motor meyeberang ke Pulau Samosir di kawasan Danau Toba dari Parapat (disebut pula Prapat). Menarik memang menikmati keindahan pemandangan alam, terlebih ini kunjungan pertama saya ke danau vulkanik terbesar di Asia Tenggara. Apalagi letaknya merupakan yang tertinggi di dunia.  

Pulau Samosir yang saya tuju memiliki panjangnya sekitar 130 kilometer. Apabila ada waktu lebih, kita dapat mengelilinginya lewat perjalanan darat. “Pulau di atas pulau dan danau di atas danau,” demikian slogan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk mempromosikan dunia pariwisatanya.  

Merunut pada tulisan seorang ahli geologi asal Jerman, Van Bemmelen, pulau itu terbentuk akibat letusan Gunung Toba ratusan abad silam. Secara teori, papar dia, letusan Tumor (gunung) Toba waktu itu merupakan letusan terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah manusia.  

Buktinya bisa ditemukan pada struktur kawasan yang berbatu-batu. Diyakini, dulunya sedimen pulau ini berada di bagian bawah gunung, yang karena pergeseran tektonik akhirnya bergerak ke permukaan saat letusan terjadi. Aktifitas gunung api sendiri bis ditemukan di bagian barat pulau ini yang ditandai dengan munculnya titik-titik air panas. 

Samosir sendiri adalah pulau yang berada di tengah Danau Toba. Dia berada pada ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Memasuki tahun 2004, Samosir menjadi sebuah kabupaten tersendiri dengan sembilan kecamatan. Sebelumnya, masih menjadi bagian Kabupaten Tapanuli Utara Kawasan ini pun terdiri atas 9 kecamatan, yakni;. 

Untuk menuju ke sana, saya memulainya dari Parapat, sebuah kota tujuan wisata di tepi Danau Toba. Kota ini berada di wilayah Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Jaraknya sekitar 48 kilometer dari Pematangsiantar. Parapat menjadi salah satu titik persinggahan penting dari Jalan Raya Lintas Sumatera bagian barat yang menghubungkan Kota Medan dengan Kota Padang.  

Menyeberang dengan perahu motor dari pelabuhan Tiga Raja, Parapat ke Samosir memakan waktu antara setengah hingga satu jam. Masyarakat sekitar yang menggunakan motor, bus, dan truk pengangkut barang, bisa menyeberang dengan kapal feri yang nantinya bersandar di dermaga Aji Bata tiap tiga jam sekali. 

“Tarif kendaraan roda empat untuk sekali menyeberang Rp 78 ribu, sedangkan penumpang biasa hanya dikenai Rp 1.500,” tutur M. Idris Nasution yang memandu perjalanan wisata saya dan rekan-rekan jurnalis dari Jakarta

Di sela-sela perjalanan menyeberang, Idris sempat menceritakan asal muasal terjadinya Danau Toba. Cerita ini berawal ketika seorang pemuda yatim piatu pergi memancing. Kegiatan ini merupakan salah satu mata pencahariannya selain bertani. Maklum dia pemuda yang miskin.  

Ketika memancing, dia mendapatkan ikan tangkapan yang aneh. Ikan itu besar dan sangat indah. Warnanya keemasan. Dibawanya ikan itu ke rumahnya. Ketika dia tinggalkan, ikan itu berubah menjadi seorang putri yang cantik. Singkat cerita, ikan itu mengaku dirinya telah dikutuk dewata dan bisa berubah menjadi manusia karena sudah disentuh oleh sang pemuda.  

Singkat cerita si pemuda melamar gadis untuk menjadi istrinya. Sesaat sebelum menerima lamaran, sang gadis meminta agar pemuda itu memenuhi syarat yang diajukannya. “Aku bersedia menjadi istri kakanda, asalkan kakanda mau menjaga rahasiaku bahwa aku berasal dari seekor ikan,” kata Idris meniru ucapan sang gadis. 

Karena menyanggupinya, jadilah mereka berdua menikah dan dikaruniai seorang putra. Beranjak dewasa, si anak selalu merasa lapar. “Walapun sudah banyak makan-makanan, ia tak pernah merasa kenyang.” 

Suatu hari, karena begitu laparnya, ia makan semua makanan yang ada di meja, termasuk jatah makan kedua orang tuanya. Sepulang dari ladang, bapaknya yang lapar mendapati meja yang kosong tak ada makanan, marahlah hatinya. Karena lapar dan tak bisa menguasai diri, ayahnya pun mengumpat kelakuan sang anak. “Dasar anak keturunan ikan!” 

Dari sana bencana berawal. Sang istri yang merasa dikhianati marah dan pergi ke bukit. Dengan emosi, dia meminta agar Yang Kuasa memberikan pelajaran kepada suaminya. Tidak lama kemudian, langit pun menjadi gelap dan turunlah hujan dalam waktu yang cukup lama. Lama-kelamaan, air hujan itu terkumpul semakin banyak dan besar genangannya hingga menjadi danau.

Tidak terasa, cerita itu menghantarkan kami ke Desa Siallagan, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir. Di sana kami disambut oleh pemandu wisata setempat, Guido Sitinjak.  

Perkampungan ini dikelilingi dengan batu-batu alam yang disusun dengan tinggi lebih dari satu meter. Guido kemudian mengajak kami menikmati peninggalan sejarah di sana, kursi dan meja yang usianya sudah lebih dari 200 tahun.  

Kursi-kursi itu ditempatkan mengelilingi sebuah meja dari batu alam. Di bagian tengahnya ada pohon Beringin, simbol adanya sebuah kampung pada masa lalu. Kursi dan meja itu digunakan untuk menggelar persidangan.  

“Saat sidang, terdakwa bisa mendengarkan sembari dipasung di bawah salah satu rumah. Yang paling sering disidang dan dihukum berat itu biasanya mata-mata musuh,” kata Guido. 

Sebelum sidang digelar, biasanya kepala suku meminta bantuan dari penasehat spiritualnya untuk menentukan hari baik. Guido sendiri menyebut penasehat spiritual raja itu sebagai dukun. Sebutan itu mungkin terkait dengan adanya tunggal panaluan (tongkat sihir) yang dimiliki oleh sang dukun.  

“Dengan tongkat itu, dia bisa menaklukan orang atau juga memanggil roh. Baik yang sudah tidak ada atau yang masih hidup.” 

Apabila dalam sidang diputuskan si terdakwa bersalah, maka dia akan dibawa ke tempat eksekusi. Letaknya terpisahkan oleh tembok batu. Di sana, si terdakwa akan mendapatkan makanan terakhirnya.  

Terdakwa akan ditutup matanya. Setelah itu badannya akan ditelentangkan di atas batu yang lebih panjang ukurannya. Agar kekuatan magis terdakwa terkuras habis dan eksekusi berjalan dengan lancar, biasanya sang dukun akan menyayat tubuh serta memberikan asam garam di atasnya. Selain itu jantung dan hatinya akan diambil. Sebelum kepalanya dipenggal, sang dukun juga bakal merapal mantera yang dibacanya dari kitab yang disimpan melintang di atas tubuh terdakwa.  

“Itu agar hukum pancung lancar. Eksekusi terakhir dilakukan tahun 1816. Setelah itu datang misionaris ke sini,” papar Guido. 

Menurut dia, perkampungan itu sendiri usianya sudah lebih dari 500 tahun berdasarkan silsilah keturunan Raja Siallagan ompu Batu Binjang. “Sekarang yang merawatnya keturunan ke-18.” 

Masih di tempat yang sama, dia mengajak kami melihat Rumah Bolon, rumah tradisional di sana. Dapur di rumah panggung itu terletak di bagian tengah. Peralatan dapur dan kayu bakar disimpan di para-para yang digantung tepat di atas posisi dapur. Seluruh anggota keluarga tinggal di dalam satu rumah.  

Tempat buang air sendiri berada di pojokan ruangan dengan lubang pembuangan yang langsung menuju ke bawah, tempat biasa binatang ternak disimpan. Atap rumah tradisional itu bagian depannya lebih tinggi dari yang belakang. Ini menjadi pesan agar sang anak nantinya lebih sukses daripada orang tuanya.  

Yang cukup unik adalah pintu masuknya. Selain kecil, setiap orang masuk harus menunduk kepala di bagian dalamnya. “Itu buat menghormati yang ada di dalam rumah. Selain itu, apabila yang bertamu itu memiliki ilmu akan kalah dengan pemilik rumah. Karena dia datang sudah menghormat,” katanya.  

Pada bagian luarnya, terdapat pahatan-pahatan. Motifnya antara lain berbentuk cicak, singa, dan juga payudara. “Cicak itu pesan agar orang Batak mudah beradaptasi, sedangkan singa itu untuk melawan unsure mistis dari luar. Payudara sendiri lebih melambangkan kesuburan.” 

Dari sana perjalanan dilanjutkan menuju ke Tomok, Kecamatan Simanindo. Ternyata berdasarkan silsilah, raja di Tomok masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Raja Siallagan. Di lokasi ini kita bisa meyaksikan objek wisata Patung Sigale-Gale dan juga Makam Sidabutar. Kali ini yang menjadi pemandu wisata adalah Parlindungan Situmorang. 

Cerita soal patung itu, katanya dimulai berabad-abad lalu ketika Raja Rahat yang memerintah di Uluan memiliki putra, Raja Manggale namanya. Putra semata wayangnya itu sangat disayangi oleh seluruh kampung, terlebih oleh ayahnya karena dia pintar menari. 

Ketika putra jatuh sakit dan tidak tertolong, Raja Rahat selalu merasa sedih dan berduka. Sampai akhirnya ada tiga orang yang menyanggupi untuk membuat patung yang mirip dengan Raja Manggale. Patung itu mereka buat terpisah, kepala, bagian leher hingga pinggang, dan kakinya. Berbekal kesaktian tiga orang tersebut, roh Raja Manggale dipanggil dan masuk ke dalam patung tersebut.  

Semenjak itu patung tersebut bisa menari dan menghibur sang raja. “Patung itu bisa menari sampai jongkok. Tapi sekarang patung itu digerakkan dengan tali dan ini adalah patung duplikatnya,” terang Parlindungan.  

Agar bisa menyaksikan patung itu menari, pengunjung diharuskan membayar Rp 60 ribu. Ada empat tarian dalam sekali pertunjukkan, dimulai dengan Gondang Mula-Mula, Gondang Somba, Gondang Mangaliat, dan diakhiri dengan Gondang Sitiotio. “Tiap tarian punya arti tentang hubungan kita dengan Sang Pencipta,” ujarnya. 

Usai menari, kami diajak berkunjung ke Makam Sidabutar yang dimakamkan semenjak 460 tahun lalu. Sebelum memasuki kawasan makam, setiap pengunjung diharuskan mengenakan ulos, kain khas Batak.  

Ulos itu sendiri merupakan kepanjangan dari unang lupa oloi sipasingot yang artinya turuti nasihat. Makanya dalam acara pernikahan, biasanya undangan memberikan kain tersebut kepada pasangan yang menikah sembari memberi nasihat-nasihat.  

Dalam kawasan makam itu ternyata ada sedikitnya delapan kuburan, empat diantaranya sudah menggunakan salib sebagai simbol kepercayaan yang dianutnya. Kuburan raja pertama di sana, kata Parlindungan, adalah tempat peristirahatan terakhir dari Raja Op. Soribuntu Sidabutar. Setiap raja yang dimakamkan di sana sebelumnya sudah dibalut terlebih dahulu dengan ulos dan juga dibalsem. “Waktu tahun 1973 batunya dibuka lewat upacara adat, tulang-tulang di dalamnya masih utuh.” 

Secara sekilas, kita bisa melihat seperti apa raut wajah raja-raja yang pernah berkuasa di sana dari ukiran yang ada di makam batu itu. Salah satu kuburan yang cukup besar dan pahatannya masih jelas adalah milik Op. Ujungbarita Sidabutar, raja kedua di sana. Konon, warna merah pada bagian ujung makam yang berukir wajah itu adalah darah manusia.  

Pada bagian depan, ada ukiran berbentuk orang yang dipercaya sebagai tangan kanan sang raja. Sedangkan di bagian belakang kuburan terdapat pahatan berbentuk perempuan yang dipercaya adalah Anting Malela boru Sinaga.  

“Mereka sempat bertunangan selama 10 tahun, namun saat hendak berlangsung pernikahan yang perempuan kena sihir sehingga malu dan lari ke hutan. Dari sana raja selalu menantinya, makanya dibuat patungnya,” tambah dia.  

Selain bisa melihat dan menikmati kisah-kisah dari masa lalu, kita juga bisa membeli berbagai oleh-oleh dari toko-toko cendera mata di sana. Para pedagang memajang dan menjual berbagai barang kerajinan seperti ulos, ukiran kayu khas tanah Batak seperti sistem penanggalan Batak, tempat obat yang terbuat dari bambu, serta gitar batak.  

Perjalanan wisata di Danau Toba dan Pulau Samosir memang tidak bisa dinikmati dalam waktu sekejab. Sayang rasanya meninggalkan kawasan yang begitu kaya akan hal-hal menarik. Tapi, waktu kunjungan yang hanya beberapa jam di sana, setidaknya memberikan pemahaman dan kesenangan tersendiri bagi saya. 

Makanya tidak salah kalau Maringan Simbolon, Kepala Dinas Pariwisata, Seni Budaya, dan Perhubungan mencoba meningkatkan kualitas masyarakat di sana, terutama para pedagang. Pasalnya, ketika wisatawan hendak pulang dengan segala kenangan yang sudah didapatnya, tiba-tiba ada saja pedagang yang memaksa mereka untuk membeli barang dagangannya.  

“Kita membentuk kelompok sadar wisata untuk mengelola objek wisata. Karena kita tidak ingin wisatawan hanya datang sekali dan tidak datang kembali,” tuturnya. 

Oleh karena itu, katanya, pelatihan sadar wisata bagi pelaku bisnis pariwisata dan masyarakat sekitar kawasan wisata, menjadi program penting pemerintah daerah untuk membangun industri pariwisata yang menjadi andalan sumber pendapatan daerah. 

Tampaknya usaha membuat kelompok sadar wisata itu harus menjadi perhatian bagi pemerintah setempat. Karena bukan tidak mungkin, wisatawan seperti saya, yang baru datang sekali dan memiliki kenangan indah justru memilih tidak kembali ke sana. Penyebabnya, kebiasaan masyarakat yang memaksa pengunjung membeli barang-barang mereka. [SP/Adi Marsiela]

 

 

Senin, 17 Desember 2007

Kebebasan Menalar Cinta

Tema cinta ternyata memiliki ruang tersendiri di kalangan pemerhati dan pembuat film indie. Setidaknya, enam dari delapan film karya finalis yang ditampilkan dalam gelaran LA Lights Indie Movie 2007 menjadikan cinta sebagai benang merah (yang tidak disengaja), ketika film-film itu diputar dalam kegiatan roadshow-nya di Bandung, baru-baru ini.

Dengan menggunakan moto Film Gue, Cara Gue, para sineas muda dari empat kota yang tersaring dalam ajang itu berusaha menafsirkan cinta dengan gaya dan caranya masing-masing. Lihat saja film Naughty Matahari, yang mengisahkan penggalan hidup Azumi, seorang remaja yang baru saja masuk ke SMA. Sehari-hari, Azumi yang merupakan keturunan Indonesia-Jepang ini diasuh oleh ibunya. Namun, sekali dalam sebulan, sang ibu yang mengaku bekerja sebagai penari itu harus meninggalkan anak semata wayangnya untuk pergi mencari uang di luar negeri.

"Saya ingin seperti ibu," demikian yang tertanam di benak Azumi. Pasalnya, hasil jerih payah sang ibu, membuat Azumi hidup berkecukupan. Malah berlebihan. Azumi terlibat pergaulan bebas tanpa ada kontrol dari orang tua.

Namun itu semua, berbalik 180 derajat ketika Azumi melihat penampilan ibunya dalam sebuah film dewasa yang sengaja diputar pacarnya, sesaat sebelum keduanya melakukan hubungan seks di luar nikah. Ternyata, profesi yang dijalani ibu Azumi di luar negeri adalah pemain film dewasa.

Sutradara sekaligus penggagas film tersebut, Yuliasri Perdani tampaknya ingin menyindir rasa cinta para orang tua yang sering meninggalkan anaknya dengan harta tanpa kasih sayang.

"Ibu saya sering ke luar negeri, tapi nggak seperti itu. Ibu saya ikut konferensi. Suka terpikir juga, ngapain ya ibu saya kalau di luar negeri. Dari situ muncul ide liar saya yang jadi ide cerita film ini," kata mahasiswi dari Bandung ini menjelaskan asal muasal ide cerita tersebut.

Cinta dengan rasa yang lain coba diungkapkan secara visual oleh sutradara Willina Widiyarini lewat karyanya Jalan Kan Kuseberangi. Ide cerita yang dibangunnya cukup sederhana namun sangat mengena.

Tono, sebagai tokoh utama dalam film ini memiliki trauma yang mendalam ketika harus menyeberangi jalan. Pasalnya, dia ditinggalkan ibunya meninggal dunia ketika tengah menggandeng dirinya menyeberang jalan.

Masalah muncul ketika Tono jatuh cinta terhadap seorang gadis yang ada di seberang jalan, tempatnya sehari-hari berjalan. Lewat gaya bertutur komedi, Willina mencoba menggambarkan bagaimana cara Tono menghadapi ketakutannya. Setiap malam, Tono berlatih menyeberang jalan dengan bantuan seorang tukang ojek. Alhasil, dia mampu berjalan sendirian tanpa ada yang menemani.

Film Pendek

Gaya komedi yang tidak berlebihan ditambah akting pemerannya, menjadikan film ini sebagai salah satu karya dari Yogyakarta yang cukup diminati oleh sebagian besar penonton. Gelak tawa dan tepuk tangan kerap menyelingi adegan di film ini.

Tidak hanya yang sederhana, cinta yang dibumbui tingkah laku ekstrim mengarah ke psikopat juga terwakilkan lewat film Dami bukan Dummy.

Cerita ini dimulai dengan sebuah rumah yang cukup mewah namun hanya dihuni oleh seorang remaja pria. Namun, rasa cinta yang berlebihan terhadap mantan kekasihnya, membuat pria ini cenderung memiliki kelainan jiwa. Dia sering membiarkan rumahnya dimasuki maling. Bukan tanpa maksud. Setiap maling yang masuk akan dibekuk olehnya dan kemudian dipaksa mengenakan pakaian seksi milik mantan kekasihnya.

Akting natural Sapta Pasta sebagai pemeran utama membawa penonton ke dunia yang lain. Dingin dan tidak berperasaan. Terlebih ketika, dia memaksa korbannya berpose tidak senonoh.

Cukup menarik menyaksikan film-film pendek ini. Terlebih jika kita mengetahui delapan film yang diputar itu sudah ada dalam bentuk ide mulai bulan Juli 2007. Kala itu panitia menggelar acara di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta.

Di setiap kota, sekitar 200 pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum mendaftar menjadi peserta dengan modal ide cerita. Mereka mengikuti workshop yang meliputi penyutradaraan film pendek, penulisan naskah populer untuk film pendek, aspek manajemen film beranggaran kecil dan tips teknis untuk membuat film murah.

Film indie dapat berupa film pendek dan film panjang. Namun, PT Karya SET Film (SET Film), rumah produksi penggagas dan pelaksana kegiatan tersebut memilih ranah film pendek.Dari setiap kota, para peserta diseleksi menjadi 50 orang. Untuk penyaringan itu masing-masing harus membuat sinopsis pendek ide cerita dan mempresentasikannya kepada tim produser film yang menilainya dalam tahap Meet the Producers.

Lima puluh peserta terpilih kemudian diseleksi lagi menjadi tinggal 10 orang. Sepuluh peserta tersebut dipecah menjadi dua kelompok, sementara dari 10 ide cerita mereka dipilih dua cerita terbaik. Dua kelompok tersebutlah yang berhak memfilmkan dua ide cerita terbaik itu dengan dana Rp 15 juta per kelompok dari panitia.

Delapan kelompok dengan delapan film pendek akan masuk ke tahap akhir untuk menjadi Best Movie (satu film), Favorite Movie (satu film pilihan penonton lewat SMS), dan Best Jury Prize (satu film terbaik versi dewan juri). Januari 2008 para pemenang lomba itu akan diumumkan.

Delapan film pendek itu adalah Mata Sinar dan Sumbo (Jakarta); Dami Bukan Dummy dan Naughty Matahari (Bandung); 1000 Shura dan Anak-anak itu Terlahir dari Doa (Surabaya), serta Cinta dalam Sepotong Es Krim dan Jalan Kan Kuseberangi (Yogyakarta). [SP/Adi Marsiela]

Published: 13/12/07

Rabu, 31 Oktober 2007

Mengangkat Laut yang Tenggelam

Fenomena pemanasan global yang menjadi perhatian dunia belakangan ini seakan terpatahkan di Indonesia. Es yang mencair dan mengakibatkan tenggelamnya wilayah daratan, ternyata tidak terjadi di Kampung Laut, Laguna Sagara Anakan.

 

Wilayah yang terletak di antara Pulau Jawa dan Nusa Kambangan ini terus menerus mengalami pendangkalan dari tahun ke tahun. Hasilnya, banyak bermunculan daratan baru yang tidak berpenghuni dan bertuan. Apabila diukur, luas Sagara Anakan yang  mencapai 6.450 hektare pada tahun 1903, sekarang ini daerah yang tergenang tidak mencapai 10 persennya.

 

Perubahan benteng alam menimbulkan masalah baru pada masyarakat Kampung Laut. Misalnya, mereka yang sehari-hari berprofesi sebagai nelayan, mau tidak mau harus alih profesi menjadi petani di atas tanah yang dulunya adalah laut tempat mereka menyandarkan hidup.

 

Kepemilikan tanah timbul - yang semakin luas - tidak hentinya dipertanyakan. Lembaga Pemasyarakatan Nusa Kambangan, Departemen Kehutanan, dan Badan Konservasi Sagara Anakan hanyalah sebagian dari banyaknya kepentingan untuk ‘memanfaatkan’ pulau-pulau baru tersebut. Masyarakat berharap agar tanah itu bisa mereka miliki dan gunakan.

 

Sementara tanah itu diklaim dan diambil alih dengan mengembangkan hutan mangrove oleh lembaga negara. Warga menginginkan agar tanah itu bisa digunakan bercocok tanam. Semuanya itu terangkai dalam sebuah film dokumenter berjudul Laut yang Tenggelam (The Drowning Sea).

 

Film produksi Komunitas Perfilman Intertekstual (KoPI) Bandung yang bekerjasama dengan Kantor Bantuan Hukum Purwokerto dan Masyarakat Ujung Alang, Kampung Laut, Sagara Anakan ini berhasil meraih Awards of Excellence untuk kategori New Asian Currents pada Yamagata International Documentary Film Festival (YIDFF) 2007, 4-11 Oktober lalu.

 

Yuslam Fikri Ansari, sang sutradara mengaku lewat ini film ini ingin mengadvokasi masyarakat di sana terkait masalah yang beragam. “Tidak ada niat untuk kompetisi,” tutur Yufik, panggilan akrabnya, beberapa waktu lalu.

 

Awalnya, terang dia, kedatangannya ke sana untuk ‘memotret’ kegiatan perempuan di sana sehubungan dengan perubahan bentang alam. “Tadinya buat film pendidikan dan pengorganisasian. Ternyata di sana banyak fenomena menarik.”

 

Sebelum Yufik dan kawan-kawannya datang ke sana, ternyata sudah banyak pendatang. Bedanya, mereka datang untuk mempertaruhkan hidup. Menjual tanah di daerah asalnya, seperti Karawang dan Ciamis guna memulai hidup baru di atas tanah timbul.

 

“Kita ajak masyarakat merefleksikan diri atas masalah sehingga dapat memberdayakan diri untuk merubah kondisi penghidupan mereka. Aturan soal menempati tanah timbul itu belum ada, terlebih statusnya,” ungkap Yufik yang memang semenjak dahulu tertarik dengan advokasi bidang agraria.

 

Kampung Laut, yang menjadi tempat pengambilan gambar itu, dihuni sekitar 14 ribu penduduk, terdiri dari empat wilayah. Masing-masing, Ujung Alang, Ujung Gagak, Panikel, dan Klaces. Perkembangan penduduk semakin memperluas kawasan-kawasan ini dengan Klaces sebagai pusatnya. Namun sampai saat ini belum tersambung listrik.

 

“Kita bawa-bawa genset,” kenang Yufik yang memproduksi film itu selama 1,5 hingga 2 tahun, semenjak bulan Mei tahun 2005 silam.

 

Film ini tidak banyak menampilkan teks dan narasi. Jalan ceritanya menggunakan teknik lost documentary, di mana dialog dan ekspresi yang diambil lebih spontan dan natural. Setting sutradara tidak menjadi yang utama. Para narasumber dibebaskan bicara mengenai masalah, pandangan, dan harapannya.

 

Berkenaan dengan keikutsertaan film ini di ajang festival sendiri, Moh. Syafari Firdaus sang produser mengatakan, pengiriman film itu lebih untuk menyebarkan pesan yang ada di dalam film tersebut. “Tidak kepikiran buat menang,” papar pria gondrong yang biasa dipanggil Daus ini.

 

Seleksi awal dalam festival ini diikuti 664 film dari 44 negara Asia. Dari 664 film itu, disaring 20 film untuk mengikuti festival yang bersifat kompetisi ini. YIDFF sendiri merupakan festival film dokumenter yang cukup terkemuka. Festival ini digelar dua tahun sekali sejak tahun 1989.

 

Selain New Asian Currents, YIDFF 2007 juga menggelar kompetisi untuk kategori International Competition yang pada seleksi awal diikuti 969 film dari 100 negara.

 

Sebelum Laut yang Tenggelam, sineas Indonesia sudah lima kali berturut-turut mengikutsertakan film dokumenternya dalam festival serupa. Sebut saja, Riri Riza dengan filmnya Merry Go Round (1995) dan Nan T. Achnas dengan filmnya The Little Gayo Singer (1997).

 

Pada tahun 2007 ini, ada satu film Indonesia yang juga ikut serta, yakni Playing Between Elephants karya Aryo Danusiri. “Sepanjang keikutsertaan di YIDFF, Laut yang Tenggelam merupakan film pertama yang mendapat penghargaan,” tegas Daus yang tengah mengusahakan agar film ini bisa turut diputar di bioskop-bioskop Indonesia.

Festival yang bersifat kompetitif itu juga memberikan penghargaan utama (Ogawa Shinsuke Prize) untuk kategori New Asian Currents kepada film dari Cina, Bingai yang disutradarai Feng Yan. Selain mendapat penghargaan utama, Bingai pun meraih Community Cinema Award.

Awards of Excellence diberikan pula kepada film Back Drop Kurdistan yang disutradarai Nomoto Masaru. Film hasil produksi bersama Jepang, Turki, dan Selandia Baru ini pun sekaligus dinobatkan sebagai film pilihan penonton, dan berhak atas Citizens’ Prize. [SP/Adi Marsiela]

Gaya Berlibur ‘Baru’ di Bandung

Berlibur di Kota Bandung tidak melulu identik dengan belanja dan makan. Wisata belanja - bisa jadi menyenangkan bagi yang memiliki uang – memang masih menjadi primadona buat mereka yang berlibur ke Bandung. Jajaran toko busana disertai aneka ragam jajanan seakan tidak pernah lelah dikunjungi wisatawan.

 

Memang mengasyikan melakukan hal seperti itu. Namun, apa jadinya kalau semua orang memilih Bandung sebagai tujuan wisatanya? Yang ada pastilah kemacetan di mana-mana, mengingat ruas jalan yang pendek dan kecil-kecil di Bandung ini. Konon, Bandung memang dibuat sebagai kota peristirahatan, jadi wajar saja kalau tidak mampu menampung banyak kendaraan pribadi.

 

Baru-baru ini, atau tepatnya tanggal 9 September lalu, saya berkesempatan mengikuti sebuah kegiatan jalan-jalan menikmati sisi-sisi lain Kota Bandung. Selain sarat sejarah, kegiatan rutin yang sudah memasuki tahun ke-empat penyelenggaraannya ini juga dipastikan tidak membuat jalan raya di Bandung menjadi macet dan padat. Nama acaranya Bandung Historical Walk 2007.

 

Kegiatan yang digagas oleh komunitas Bandung Trails ini memang sengaja dibuka untuk mereka yang memiliki ketertarikan dengan sejarah, khususnya Kota Bandung. Tidak disangka-sangka ternyata pesertanya cukup beragam, mulai dari pelajar sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan atas, mahasiswa, karyawan, serta ibu rumah tangga.

 

Para peserta ini dibagi ke dalam delapan kelompok, yang masing-masing kelompoknya diberi nama sesuai bangunan-bangunan bersejarah yang masih berdiri di Bandung.  Saya sendiri masuk dalam kelompok de Vries – toko kelontong yang menjual berbagai kebutuhan di persimpangan Jalan Braga dengan Jalan Asia Afrika. Kelompok yang lain mendapatkan nama seperti Preanger, Homann, dan Jaarbeurs.

Pembagian kelompok itu dilakukan pertama kali saat para peserta mendaftar ulang dan berkumpul di Gedung Merdeka, pukul setengah tujuh pagi. Gedung yang awalnya bernama Societiet Concordia ini merupakan tempat berkumpulnya kaum elit Eropa dan penduduk non Asia sekitar tahun 1895. Pada masa itu, berbagai kegiatan seperti teater hingga pelayanan gereja sempat memakai gedung tersebut.

Memasuki tahun 1921, gedung itu direkontruksi oleh C.P Wolf Schoemaker, seorang arsitek Belanda yang konon dilahirkan di tanah Indonesia. Lewat pengetahuan dan daya kreatifitasnya, bangunan ini menjadi sebuah gedung yang eksklusif dan modern untuk di Kota Bandung.

Tubagus Adhi, yang menjadi pemandu kelompok de Vries, mengatakan saat itu hanyalah orang-orang Eropa dari golongan sosial elit yang boleh masuk ke dalam gedung tersebut. Malah di depannya sempat terpasang tulisan kalau Inlander dan anjing dilarang masuk. Sampai-sampai, Schoemaker sendiri yang lahir di Indonesia dilarang masuk ke dalam klub tersebut.

Di dalam sayap timur gedung yang sekarang fungsinya menjadi bagian dan Museum Konferensi Asia Afrika itu, kami menikmati sajian film tentang Bandung tempo dahulu yang dipadukan dengan kondisi saat ini. Film yang disutradarai Garin Nugroho ini juga sempat diputarkan pada saat peringatan 50 tahun Konferensi Asia Afrika, pada tahun 2005 lalu.

“Di bawah sini terdapat tempat penyimpanan sepeda dan pernah juga dijadikan tempat untuk menjagal (anggota Partai Komunis Indonesia) pada tahun 1966,” tutur Adhi menjelaskan kondisi di bawah lantai bagian utama Gedung Merdeka. Usai menonton dan berkeliling di museum, para peserta pun mendapatkan kesempatan mengabadikan kenangannya dengan berfoto bersama.

Selesai dari sana, kelompok de Vries pun melangkah menuju ke titik kilometer 0 (nol) di Jalan Asia Afrika. Titik ini merupakan penanda jarak ke Cileunyi di sebelah timur Bandung dan Padalarang di sebelah baratnya. Di bawah tulisan Padalarang tertera angka 18 dan di bawah tulisan Cileunyi tertera angka 20 yang artinya baru ada istal pada jarak tersebut. Jarak itu pula - yang dipergunakan sampai sekarang – untuk menandai jarak dari dan menuju ke Bandung.

 

Konon di titik yang sama inilah, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Daendels yang terkenal kejam menancapkan tongkat kayu di dekat kakinya seraya berkata “Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd” yang diartikan “Pastikan, ketika aku kembali, aku sudah melihat sebuah kota baru dibangun di sini.”

Berbagai sumber tertulis menyebutkan, Daendels melakukan itu dalam kaitan pembangunan "Jalan Raya Pos" atau Grote Postweg pada tahun 1810-1825. Raja Belanda saat itu, Louis Napoleon memerintahkannya untuk memperkuat pertahanan Belanda di Pulau Jawa untuk mengantisipasi serangan Inggris. Jalan Raya Pos dibangun membentang dari Anyer (Serang, Banten) hingga Panarukan di Jawa Timur.

Peristiwa penancapan tongkat yang dilakukan Daendels, bukanlah tanda dimulainya pembangunan jalan di Bandung ketika itu. Dia menancapkannya setelah mengontrol pembangunan jalan dan menyeberangi jembatan Sungai Cikapundung sebelah barat Gedung Merdeka sekarang.

Daendels adalah orang pertama yang berjalan di atas jembatan yang baru selesai itu. Kemudian dengan ditemani Bupati Bandung, Wiranatakusumah II, Sang Gubernur Jenderal berjalan kaki hingga ke sebuah tempat yang berjarak beberapa meter saja ke sebelah timur dari seberang hotel Savoy Homann sekarang. Di situ dia berhenti, menancapkan tongkat kayunya sambil mengucapkan kalimat pengharapan tentang pembangunan sebuah kota. Tugu itu kini berada tepat di depan kantor PU Bina Marga Jawa Barat.

Di belakang tugu itu berdiri monumen mesin giling jalan atau disebut stoomwalls, yang kemudian disebut setum, Konon, alat bertenaga uap buatan Jerman yang menggunakan bahan bakar kayu ini adalah yang dipakai untuk meratakan dan mengeraskan jalanan tersebut.

Dari sana, de Vries meneruskan perjalanannya ke Grand Hotel Preanger. Bangunan yang dibuat pada tahun 1889 ini awalnya adalah sebuah guest house. Namun pada tahun 1928 dilakukan renovasi oleh C.P Wolf Schoemaker sehingga menjadi bangunan yang lebih besar dengan gaya arsitektur geometric art deco dengan adopsi ornamen suku indian maya.

“Waktu itu Sukarno juga pernah sempat ikut praktek kuliah lapangan bersama Schoemaker,” terang Adhi seraya menambahkan bangunan ini merupakan bahan referensi bagi para arsitek yang ingin mempelajari gaya arsitektur art deco di Indonesia.

Kami juga sempat menikmati keindahan arsitektur hotel tertua di Bandung, Savoy Homann. Tempat yang dahulu dimiliki oleh keluarga Homann dari Jerman sejak tahun 1880 baru mendapatkan renovasi pada tahun 1939 oleh A.F. Aalbers dengan gaya Art Deco seperti yang terlihat sekarang.

Selain sempat menjadi tempat menginap para pemimpin dunia dan delegasi Konferensi Asia Afrika tahun 1955, hotel ini juga menjadi tempat mampir Charlie Chaplin dan Marlyn Monroe ketika berkunjung ke Bandung.

Menyusuri trotoar di depan hotel itu ke arah barat, para peserta bisa menemukan gedung tua yang disebut de Vries. Bangunan gedung bergaya romantik ini adalah bekas toko kelontong pertama di Bandung. Penanda bangunan ini adalah sebuah menara di sebelah sisinya yang dibangun pada awal 1900-an.

Saat ini bangunan tersebut tidak lagi terlihat indah dengan kaca patrinya, karena sudah pecah oleh lemparan batu saat bobotoh Persib mengamuk beberapa tahun silam ke belakang. Kaca-kaca itu sekarang digantikan oleh tembok putih yang bisu dan kusam.

Selain bisa lebih mengenal berbagai gaya arsitektur, jalan-jalan ini juga membuat pesertanya menjadi lebih tahu tentang sejarah kotanya sendiri. Misalnya lewat kunjungan ke makam pendiri Kota Bandung, Raden Wiranatakusumah II (1794-1829) yang letaknya tepat di belakang Masjid Raya Jawa Barat.

 

Sayangnya, kondisi makam ini tidak diketahui oleh sebagian besar peserta. Wajar saja, lokasi makam itu tertutup oleh maraknya pertokoan di sana. Di tempat itu sendiri terdapat 138 makam dari keluarga dan kerabat Wiranatakusumah II. Selain di sini, lokasi makam para bupati Bandung lainnya berjarak sekitar 700 meter ke arah barat di Jalan Karang Anyar.

 

Menurut Cindy Permatasari, Koordinator Acara Bandung Historical Walk 2007, acara ini memang diselenggarakan untuk memperkenalkan sejarah Kota Bandung dan perkembangannya sekarang.

 

Seusai mengunjungi makam Bupati Bandung, para peserta bisa menikmati suasana Bandung dari menara masjid raya di Alun-Alun Bandung. Perjalanan dilanjutkan ke Penjara Banceuy, Sumur Bandung di Gedung PLN, Restoran Braga Permai, Gereja Katedral, Gedung SMP 5 dan 2, Gedung Jaarbeurs, dan berakhir di Gedung Sate.

 

Dalam jalan-jalan ini, peranan seorang pemandu menjadi sangat penting. Informasi yang didapat dari leaflet hanyalah menjadi pegangan yang bisa dibaca kapan saja oleh peserta. Sedangkan informasi tambahan di luar perancang gedung, gaya arsitektur, dan lainnya hanya bisa didapatkan dari pemandu.

 

Misalnya saja, informasi tentang Pendopo Kota Bandung yang sekarang menjadi rumah dinas Walikota Bandung. Adhi yang menjadi pemandu kelompok de Vries mampu mengemas informasi mengenai penataan komplek Alun-alun secara keseluruhan dan peranan pendopo pada masa lalu.

 

Keberadaan lonceng di pendopo juga menjadi menarik, karena ternyata itu adalah alat pemanggil untuk rakyat ketika akan diadakan eksekusi hukuman gantung di depan pendopo atau kantor pemerintahan pertama di Bandung setelah dipindahkan dari Karapyak.

 

“Sebaiknya informasi memang jangan hanya terkait arsitektur bangunan saja, perlu informasi tambahan dari pemandungnya,” terang Ade Mardiah (36), General Manager Hotel Sawung Galing yang menjadi peserta bersama empat orang rekan kerjanya.

 

Menurut Ade, dia sengaja mengikuti kegiatan ini bersama rekan-rekan kerjanya agar mengetahui seluk beluk tentang sejarah Bandung dan juga kekayaan bangunan tuanya. Strategi wisata seperti ini, tambahnya, bisa menjadi daya tarik Kota Bandung yang lain. “Bisa menjadi barang jualan yang menarik,” tambahnya.

 

Penempatan beberapa pos di tengah perjalanan untuk diadakan kuis menjadi kombinasi yang menarik dalam acara ini. Panitia cukup jeli memanfaatkan waktu ini untuk beristirahat bagi peserta yang sudah berjalan kaki sekaligus menyegarkan ingatan setiap peserta mengenai situs-situs atau bangunan sejarah serta jalanan yang sudah dilaluinya.

 

Nuki (43), salah seorang peserta yang merupakan warga Bandung menuturkan wisata atau kegiatan jalan-jalan seperti ini cukup penting. Pasalnya, tidak seluruh orang Bandung sudah mengetahui sejarah kotanya sendiri. “Banyak potensinya,” kata dia yang datang bersama dengan isterinya Vivi (38).

 

Mereka berdua mengaku cukup puas dengan jalan-jalan yang dipungut biaya Rp 50 ribu per orangnya ini. “Tidak mahal, sudah cukup memuaskan. Bisa dapat makan juga, games-games dari panitia juga asik,” terang Nuki yang mengharapkan agar pemerintah memperhatikan kebedaraan dan kelestarian situs-situs yang sudah dikunjunginya.

 

Pengalaman ini senada dengan pengakuan Rina Rahmawati yang baru satu tahun ini tinggal di Bandung. Dia merasa kecewa ketika melihat monumen penjara Banceuy, yang dahulu pernah dipakai untuk menahan Soekarno, Presiden pertama Indonesia. “Tempat bersejarah di tengah-tengah kota, tapi kumuh, banyak tunawisma. Sayang,” ujarnya seraya menikmati makan siang yang diberikan panitia bersama dengan sajian musik dari Klinik Keroncong di komplek Gedung Sate.

 

 

Banyaknya gedung dan jalanan di Bandung yang sarat dengan sejarah ini bisa menjadi salah satu alternatif bagi anda-anda yang merasa bosan dengan wisata belanja di Bandung. Pilihan itu ada di tangan anda, apakah ingin berjalan-jalan dengan menguras keringat tapi mendapatkan banyak wawasan tambahan atau tetap memilih berkendaraan dan menimbulkan polusi? [SP/Adi Marsiela]

 

Rabu, 26 September 2007

Aktor yang Puas di Kala Mati

“Bagaimana kabarnya kang,” tanya saya kepada Mohamad Sunjaya beberapa hari lalu.

 

“Baik-baik saja,” jawabnya ketika bertemu dalam sebuah pembukaan pameran seni serat di kawasan Bandung utara.

 

Jawaban itu sekaligus menghilangkan kekhawatiran saya akan kondisi kesehatan Kang Yoyon-demikian dia akrab dipanggil. Pasalnya, di awal bulan September lalu, dia sempat menginap di rumah sakit akibat penyakit jantung yang dideritanya. Maklum saja usia Kang Yoyon sudah 70 tahun.

 

Namun penyakit dan usia itu justru bukanlah halangan baginya untuk tetap tampil memerankan Bob, seorang aktor pensiunan dalam “Kehidupan di Teater”. Lakon ini sengaja dipersembahkan sebagai syukuran 8 Tahun Actor Unlimited dan ulang tahun Kang Yoyon.

 

Dalam pementasan yang digelar di auditorium Pusat Kebudayaan Francis (CCF) Bandung, Jumat (7/9) lalu, tokoh Bob ini, bagi saya lebih merupakan representasi kehidupan Kang Yoyon. Hal yang sama diungkapkan oleh sutradara “Kehidupan di Teater”, Wawan Sofwan.

 

“Pas sekali, harus Kang Yoyon yang main,” ujar Wawan yang membeli naskah itu satu tahun lalu. Gubahannya atas naskah itu lebih pada penamaan karakter saja, dari yang semula Robert menjadi Bob. Dialog di atas panggung, meski tidak sepenuhnya, menjadi tempat bagi kedua orang aktor untuk mengekspresikan diri.

 

Pertunjukkan teater yang berlangsung selama dua hari ini sendiri diawali oleh perbincangan Bob dan John (Wrachma Rachladi Adji) di ruang kostum. Iringan piano berirama klasik menjadi suara latar saat Bob mengomentari pementasan tersebut dengan sangat serius. John, yang lebih muda dan tengah naik namanya, hanya mengiyakan omongan seniornya.

 

“Bagaimana pertunjukkan saya tadi,” tanya Bob.

 

“Bagus, sudah bagus. Hanya ada yang kurang, seperti penghayatan,” jawab John.

 

Kedua tokoh ini terus berdiskusi tentang pertunjukkan yang baru saja dilaluinya. Hal-hal semacam ini memang sangat jarang kita temui dalam dunia teater. Naskah-naskah teater yang membahas kehidupan di belakang panggung memang tidak banyak. Sebut saja, naskah “Nyanyian Angsa” karya Anton Chekov.

 

Kembali ke panggung. Komentar saling kritik dan puji ternyata menjadi bagian dalam kehidupan keduanya, setelah memainkan perannya masing-masing di panggung.

 

Kesendirian dan kesepian tampaknya menjadi beban bagi Bob, yang memang hanya mendedikasikan hidupnya untuk berkesenian di atas panggung. Hal ini terlihat dari tidak adanya lagi kegiatan dia di luar panggung selain ‘menemani’ dan memberi bimbingan kepada sang aktor muda dalam latihannya. Selebihnya mereka berdua memainkan peranannya masing-masing dalam pertunjukkan.

 

Bob, tampak sebagai aktor yang sudah berhasil mencapai ketenarannya sendiri. Dia malah tampak takut tersaingi oleh John. Terlebih saat Bob memilih untuk mengikuti dan mengamati latihan John di sebuah gedung pertunjukkan tua.

 

“Kau ada di sana Bob?” tanya John yang tengah melakukan pemanasan.

 

Tidak ada jawaban sampai akhirnya ada tepukan tangan ketika John menyelesaikan sebuah dialog sembari membawa pedang. Bob pun menunjukkan dirinya kepada John.

 

Senang mendapatkan pujian dari aktor yang lebih senior, John juga merasa dirinya tidak bebas. Gestur tubuhnya menyiratkan kalau dia tidaklah nyaman berlatih dengan adanya kehadiran Bob di sisinya. Tidak sulit untuk melihat kekesalan John, terlebih Wrachma Rachladi Adji memang memiliki kelebihan dalam olah tubuhnya.

 

Merasakan ketidaknyamanan dalam diri John, Bob pun memilih untuk menyingkir. Namun kepergiannya itu dibarengi dengan pemikiran kalau eksistensi dan popularitas dirinya mulai terpinggirkan dengan kehadiran aktor muda seperti John. Adegan ini, seakan-akan sulit dipisahkan dari keseharian yang dijalani oleh Kang Yoyon.

 

Dia memang sering hadir, kalau tidak berhalangan, ke berbagai acara teater. Selain itu, Kang Yoyo selalu memberikan kritik dan masukan apabila para pemain teater selesai manggung. Sulit membedakan apakah Kang Yoyon hanya berakting sebagai Bob atau Kang Yoyon tengah mengeksperikan dirinya sendiri, hanya nama saja yang berbeda.

 

Memang tidak seluruh naskah itu diadaptasi dalam lakon ini. Wawan sengaja memilih yang dialog yang memiliki nilai kesamaan dengan kultur di Indonesia. Kang Yoyon yang mendapati naskah itu pun melengkapinya dengan improvisasi sendiri. Misalnya saat Bob dan John menikmati hidangan mie.

 

“Mie ini enak, dari mana?” tanya John.

 

“Ini dari restoran Mister Sung dekat hospital,” jawab Bob.

 

Dialog ini tidak mungkin ada dalam naskah aslinya. Restoran yang dimaksud memang milik Sonny Soeng, seorang sahabat Kang Yoyon yang turut mendirikan kelompok teater Actors Unlimited pada 28 Agustus 1999.

 

Bagi Sutardjo A. Wiramihardja, Ketua Umum Studiklub Teater Bandung, pementasan “Kehidupan di Teater” memiliki keunikan. Cara David Mamet bercerita itu membuat penonton membutuhkan waktu lebih lama agar bisa mencerna apa yang sedang terjadi di panggung.

Selepas itu barulah penonton bisa bersikap kritis terhadap bagaimana kejadian itu ditampilkan dalam bentuk pemeranan dengan segala aspeknya, termasuk kostum dan tata cahaya.

 

Yang menarik diperhatikan dalam pementasan ini adalah setting panggung yang cukup unik. Satu panggung dibuat lebih rendah dibandingkan yang lain. Setting ini juga yang menjadi pemisah saat kedua aktor memerankan tokoh lain ketika manggung dan satu lagi menjadi tempat kedua bercengkarama serta berlatih di luar pentas.

 

“Itu memang untuk memecahkan ruang termasuk penonton,” kata Wawan yang juga menyutradarai “Nyai Ontosoroh” di Jakarta beberapa waktu lalu.

 

* * *

 

 

 

Kang Yoyon sendiri memang berbeda dengan kedua saudara kandungnya, Yogi S Memet (alm), yang mantan Gubernur Jawa Barat dan mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) serta Tutty Anwar, yang sampai saat ini masih menjabat sebagai Bupati Majalengka.

 

Dia memilih untuk mengabdikan dirinya dalam kehidupan teater. Badannya kurus dan tidak tinggi. Namun di balik tubuh itu, dia dengan suaranya yang berat mampu menyihir para penonton teater, sampai usianya yang ke-70 tahun.

 

Penggemar musik klasik ini mengungkapkan kalau dirinya sangat bersyukur masih diberikan kesempatan oleh Sang Pencipta untuk bermain teater. “Saya berhenti minum (bir) tahun 2003. Masuk rumah sakit lagi tahun 2007, sekarang saya sudah tidak merokok, disuruh berhenti,” paparnya sesaat setelah selesai manggung.

 

Baginya pementasan “Kehidupan di Teater” merupakan sebuah gambaran bagi seorang aktor dalam menjalani kehidupan di dunia teater. Baik itu di dalam atau di luar panggung. “Makanya saya suka sinis kalau ada aktor muda yang cepat puas,” tegas Kang Yoyon yang sempat menghirup oksigen di sela-sela latihannya.

 

Menurut dia, seorang aktor itu memang tidak boleh puas dengan penampilannya. Harus selalu mau menggali dan menggali lagi soal permainan peran. “Kalau sudah main itu yang ada hanya kenikmatan.”

 

Saya sempat bertanya, apakah setelah pementasan ini, Kang Yoyon masih bermain teater? “Kalau masih diberi kesempatan (oleh Tuhan), kenapa tidak?” katanya balik bertanya.

 

Memang sulit memisahkan kehidupan dengan dunia teater dari diri Mohammad Sunjaya yang pertama kali berakting di atas panggung sejak masih SMA pada tahun 1955. Saat itu dia tampil dalam lakon “Di Langit Ada Bintang” karya Utuy Tatang Sontani yang disutradarai Noor Asmara.

 

Kang Yoyon juga merupakan aktor angkatan pertama di Studiklub Teater Bandung (STB) yang berdiri tahun 1958, dan sempat menjabat sekretaris di STB. Dia juga yang kemudian mendirikan Actors Unlimited, sebuah organisasi nirlaba yang bergerak dalam bidang teater. Lembaga ini dia bentuk bersamaan dengan usianya yang ke 62 tahun pada 28 Agustus 1999 bersama Wawan Sofwan, IGN Arya Sanjaya, Diana G. Leksanawati, Fathul A. Husein, dan Sonny Soeng.

 

“Saya bukan penguasa, atau pengusaha, dan bukan orang partai politik yang punya target dan program-program. Hidup saya mengalir saja,” katanya ketika ditanya targetnya untuk kembali ke atas panggung.

 

 

 

 

Selain bermain teater, lelaki yang masih membujang ini juga sempat menceburkan diri sebagai penyiar Radio Mara di Bandung. Kesenangannya akan dunia siaran ini juga yang membuatnya diberhentikan dari jabatannya sebagai Pemimpin Redaksi Pusat Pemberitaan Radio pada Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia. Kala itu dia menugaskan reporternya meliput demonstrasi mahasiswa.

 

Perjuangannya terhadap kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi dia salurkan bersama Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Aritides Katoppo, dan rekan-rekan yang lain dengan mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi). Pembentukan ISAI ini sendiri dilatarbelakangi pembredelan majalah berita Tempo dan Editor serta tabloid DeTIK pada 21 Juni 1994.

 

“Saya juga sempat merekam berbagai berita dari sejumlah radio asing seperti BBC, Radio Netherland, Radio Australia, Voice of America, dan Deutshe Welle. Rekamannya sampai lebih dari 35 kaset yang durasinya 90 menit, itu semua diterbitkan jadi buku Breidel di Udara,” ujar Kang Yoyon yang sempat menjadi penyiar radio dengan program  musik klasik ini.

 

Semua itu memang sudah dilaluinya. Namun dia masih belum terpuaskan. “Puas ada di waktu kita mati,” ujarnya singkat meninggalkan saya dan beberapa kawan yang masih berbincang-bincang soal aktingnya dalam lakon “Kehidupan di Teater”. [SP/Adi Marsiela] 

 

Jumat, 21 September 2007

Diners offered new way of looking at food

Students of the Wyata Guna Social Center for the Development of Blind People perform on Sept. 7 at the Blind Resto in Pasir Kaliki Square, Bandung. (JP/Arya Dipa)

Diners offered new way of looking at food

Arya Dipa, The Jakarta Post, Bandung

Students of the Wyata Guna Social Center for the Development of Blind People performed in early September at the Blind Resto in Pasir Kaliki Square, Bandung, to celebrate the cafe's inclusion in the Indonesian Museum of Records (MURI).

The young actors call themselves Palagan, a name taken from a battlefield in a shadow puppet story.

"There is still a yawning gap between our dreams and our reality. Every day is a struggle, which is why we have assumed the name of a battlefield," said Suhendar, 30, a graduate of the center.

The visually impaired performers in Palagan are aged between seven and 15. At the Blind Resto, they acted out the story of a Peeping Tom who was caught in the act but never brought to justice.

They also sang songs from a range of genres including pop, dangdut, jazz and traditional Sundanese music.

The talents of the students from Wyata Guna came to light thanks to the simple idea of Ari Kurniawan, the owner of the Blind Resto, which opened six months ago. At the restaurant, guests dine in total darkness and are served by blind waiters.

"I got to thinking one day about how unaccustomed most people are to being in the dark. The blind are extraordinary as they can do everything, including waiting tables in a restaurant."

Ari's idea got a warm response from MURI, which has recognized it as the first restaurant in the country to have blind waiters. "We are appreciative both of its marketing potential and its contribution to society," said MURI's founder Jaya Suprana.

Suhendar, who has been visually impaired from birth, said it was hard for people like him to find work despite the existence of an equal opportunity law that stipulates 1 percent of jobs in the private sector must go to people with disabilities.

Firli Abdullah, 22, who works at the Blind Resto, said he had previously played guitar in a band. "I happily took up the offer. It is good to see blind people being given a fair go," Firli said.

Arie said the staff he employed were able to navigate the pitch-black restaurant without any difficulty.

The only think Firly cannot do is to tell whether diners have finished their meals and it is appropriate to clear the table. In this situation, he usually gets help from his fellow waiters, who wear infrared glasses and therefore can see in the dark.

"Guests are usually surprised to find out I am blind," Firli said.

'Tantangan' dari Sang Proklamator

"Siapa yang bisa lebih besar dari mereka di Indonesia?” tanya perupa Sunaryo Sutono kepada SP soal Soekarno-Hatta di kediamannya yang asri, beberapa waktu lalu.  

Bagi perupa berusia 64 tahun, sosok kedua proklamator Indonesia itu memang tidak dapat dilepaskan dari sejarah negara ini. Khusus untuk presiden pertama Indonesia yang dilahirkan dengan nama kecil Kusno Sosrodihardjo, Sunaryo memiliki kesan tersendiri. “Itu idola saya,” ujarnya. 

Aura kekaguman terhadap Soekarno itu sudah ditunjukkannya semenjak dia masih duduk di kelas dua sekolah dasar. Selain membuat gambar - yang kemudian dibubuhi kumis oleh teman-temannya - Sunaryo juga sempat ngotot meminta agar dibuatkan setelan jas dengan empat kantong di bagian depan dan berwarna putih sebagai hadiah Lebaran.  

“Ternyata baju itu memang dirancang sendiri olehnya. Soekarno ingin agar bangsanya yang sudah mengalami penjajahan, rakyatnya tidak minder. Makanya mengenakan baju yang gagah seperti itu.”  

Kenangan masa lalu Sunaryo tentang kekagumannya pada Soekarno dan Hatta ternyata menjadi tantangan tersendiri baginya di masa kini. Dia diberi tanggungjawab untuk 'menuangkan' kekagumannya dalam bentuk patung. 

Sekitar dua tahun lalu, rombongan Direktur Angkasa Pura datang ke kediamannya. Mereka memaparkan ide tentang pembuatan patung proklamator di wilayah Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Meski demikian, Sunaryo harus mengikutsertakan idenya dalam beauty contest terkait rancangan patung tersebut.  

“Saya tidak menganggap ini sebagai proyek, tapi tantangan. Ada dua yang lain dalam beauty contest itu,” tegas dia sembari membenarkan posisi kacamatanya.  

Saat masih duduk di bangku akhir perkuliahannya di Seni Rupa Institut Teknologi Bandung, Sunaryo melibatkan diri dalam pembuatan ornamen makam Soekarno di Blitar. Baru pada tahun 1978, makam itu dipugar dan dibangun, selesai pada tahun 1979. Tepat pada haul Bung Karno, 21 Juni 1979, Soeharto meresmikan bangunan makam. Konon, itu adalah kedatangan pertama Soeharto ke makam Soekarno semenjak tahun 1970. 

Beberapa tahun ke belakang, Sunaryo diminta untuk membuat desain relief perjalanan Soekarno semenjak dilahirkan sampai akhir hayatnya. Relief berukuran panjang sekitar 40 meter dan tinggi 2,5 meter itu dipasang pada dinding di wilayah makam tersebut.  

“Saya tadinya tidak mau, karena malas urusan administrasi birokrasi dalam proyek. Kalau yang sekarang (patung Soekarno-Hatta), tantangan buat saya,” ujarnya sembari menceritakan kalau akhirnya relief perjalanan itu dia buat dan diresmikan oleh presiden kala itu, Megawati. 

Untuk membuat model yang diminta oleh PT Angkasa Pura II, perupa kelahiran Banyumas, 15 Mei 1949 itu menghabiskan waktu sekitar satu bulan untuk memancing idenya. 

Menurut dia, Soekarno-Hatta itu adalah dua jiwa dalam satu tubuh Indonesia. Pembuatannya tidak boleh hanya sekedar penanda, melainkan sebagai sebuah perwakilan dari gagasan atau cita-cita yang ingin disampaikan oleh keduanya ketika masih hidup.  

“Seperti ideologi. Kalau hanya sebagai greeter (penyambut) di Indonesia, sangat mengecilkan artinya. Makanya harus menghadap ke Jakarta, untuk membekali mereka yang akan pergi ke luar negeri dengan semangat nasionalisme,” terang ayah dari tiga orang anak ini.  

Setelah ditunjuk sebagai pembuatnya, dia pun memanggil dua orang yang dianggapnya mirip dengan Soekarno-Hatta. Mereka berdua disuruh mengenakan pakaian seperti jas dan disuruh berdiri dengan berbagai posisi. Intinya, Sunaryo menginginkan agar kesan Bung Karno yang dinamik dan Bung Hatta yang selalu 'hati-hati' dalam melangkah bisa tergambarkan dengan baik.  

Kedua model itu dia suruh bergaya. Yang Soekarno diminta agar menunjuk dan melihat jauh ke depan sembari tetap memegang tongkat komando. Sedangkan Hatta, melangkah dengan kehati-hatian sembari membawa buku. Berbagai gaya itu diabadikan oleh seorang fotografer yang memotret dari berbagai arah. “Saya hanya mengamati dari jauh,” imbuhnya. 

Bagi Sunaryo yang pernah menyaksikan pidato Bung Karno secara langsung pada masa kecilnya, patung itu harus dapat menggambarkan Soekarno sebagai seseorang yang bergelora dan memiliki cita-cita tinggi. Di sampingnya Hatta, ia gambarkan sebagai pemikir yang penuh perhitungan, realistis, dan memiliki kehidupan sederhana.  

Akhirnya, dia memutuskan penggambaran Soekarno yang tepat adalah saat berdiri tongkat komando di kanannya sembari tangan yang satunya menunjuk jauh ke depan. Ide dasar berubah ketika ditawarkan ke PT Angkasa Pura II. Tongkat komando diapit di kiri sembari tangah kanannya menunjuk ke depan.  

“Patung ini seakan bicara, di sana! Sebagai arahan masa depan dan cita-cita bangsa. Tongkat komando itu dalam militer di tangan kiri bukan kanan, sebagai gambaran kepemimpinan yang terus memberi semangat dan inspirasi tentang masa depan kemerdekaan dan demokrasi.” 

Sedangkan Hatta, berjalan mendampinginya dengan kaki kanan tertekuk sedikit sebagai gambaran kehatian-hatiannya sembari mengamit buku. Sebagai cendekiawan, tubuh Bung Hatta adalah pemikiran dan pandangan-pandangan kritis rasional serta penuh perhitungan. Tubuh yang tenang, sederhana, dan menunjukkan kerendahan hati terlihat dari busananya yang bersahaja. 

Akhirnya setelah bergulat dengan ide dan kreasinya selama 1,5 tahun, perupa yang membuat Monumen Sudirman (Jakarta), Monumen Jogja Kembali (Yogyakarta), Monumen Bandung Lautan Api, Monumen Dasasila Bandung, serta Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat (Bandung) ini mampu menyelesaikan tantangannya yang diberikan kepadanya dengan harga senilai Rp 4 miliar. “Saya tidak lihat biaya.” 

Dalam berkarya, dia dibantu oleh beberapa orang stafnya. Untuk pengecoran, dia melibatkan 20 orang pekerja. Masing-masing terbagi tugas dalam menggotong dan membakar. Sebelum ke bentuk asli, dibentuk terlebih dulu model skala 1:5.

Tinggi patung Bung Karno 7.8 meter, sedangkan Bung Hatta sedikit lebih pendek. Sementara landasannya sendiri setinggi 4.8 meter sehingga total tinggi monumen sekitar 12.6 meter. Landasan patung yang terbuat dari batu granit, sedang patungnya terbuat dari perunggu.  

Untuk memfungsikan monumen ini sebagai landmark, di sekelilingnya dibuat kolam air mancur. “Sebagai petunjuk, selain air mancur ada juga patung. Selain itu untuk simbol gerak-gelora kehidupan dua simbol tersebut,” katanya. 

Petunjuk ini penting karena patung tersebut berada di jalur cepat. Idealnya patung itu dilihat dari jarak 40 meter. Sunaryo menuturkan ukuran patung itu disesuaikan dengan master plan dari Angkasa Pura yang bakal menata kawasan tersebut.  

Buat Sunaryo, yang pernah menyalami Soekarno usai berpidato di Purwokerto saat usianya masih sangat muda, dia juga mengalami kesulitan dalam menggarap patung yang sudah diresmikan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 29 Agustus 2007 lalu.  

“Bagian hidung Soekarno itu paling sulit menggarapnya, namun ada berbagai dokumentasi yang dapat membantu. Saya harap monument ini dapat mengabadikan sesuatu. Karena buat saya auranya (Soekarno-Hatta) itu nge-fans,” ungkap dia sembari tertawa. [SP/Adi Marsiela]

Kamis, 20 September 2007

Makin Tua Makin Berarti

Paduan suara warga lanjut usia GKI Taman Cibunut menyumbangkan suaranya dalam ibadah bersama pada pembukaan Pertemuan Raya Warga Lanjut Usia yang diselenggarakan di Resort Shalom, Cisarua, mulai Selasa (11/9) hingga Kamis (13/9). Berpartisipasi di paduan suara merupakan salah satu cara membuat hidup semakin berarti di usia lanjut pada kehidupan jemaat gerejawi.

Tua-tua keladi, makin tua makin jadi. Pastilah sebagian dari kita sudah mengenal istilah tersebut. Namun, bagi para lanjut usia yang tergabung dalam jemaat GKI Sinode Wilayah Jawa Tengah istilah tersebut tampaknya kurang pas. Menurut mereka yang turut dalam Pertemuan Raya Warga Usia Lanjut (wulan) di Pine Resort Shalom, Cisarua, 11-13 September 2007, usia semakin tua haruslah semakin berarti.

Pendeta Emeritus GKI Budhiadi Henoch yang membuka acara itu dalam ibadah bersama di GKI Taman Cibunut, Bandung, mengatakan memang sudah seharusnya seseorang yang usianya terbilang lanjut haruslah dapat memberikan arti kepada lingkungan sekitarnya.

"Tua-tua keladi, makin tua makin jadi. Kadang orang tidak tahu usianya sudah tua tapi perilakunya seperti yang tidak tahu usia. Genit untuk laki-laki, merindukan daun muda. Seharusnya semakin tua itu makin berarti," tutur dia di hadapan 150 peserta pertemuan raya dari berbagai GKI di Sinode Wilayah Jawa Tengah dan Klasis Jakarta II.

Ibadah tersebut mendasarkan pada kitab Mazmur 71: 17-18. "Ya Allah, Engkau telah mengajar aku sejak kecilku, dan sampai sekarang aku memberitakan perbuatanMu yang ajaib; juga sampai masa tuaku dan putih rambutku, ya Allah, janganlah meninggalkan aku, supaya aku memberitakan kuasaMu kepada angkatan ini, keperkasaanMu kepada semua orang yang akan datang."

Menurut Budhiadi, 'berarti' dalam usia sudah lanjut itu pertama kali harus diterapkan kepada diri sendiri. Pasalnya, masih banyak orang yang sudah tua namun tidak dapat menerima kenyataan tersebut. "Hidup itu biarkanlah mengalir bagai air," paparnya.

Setiap mereka yang mengikuti pertemuan raya ini, sambung dia, bakal memiliki makna keajaiban yang berbeda-beda untuk masing-masing orang. "Adalah keperkasaan Tuhan yang menjiwai sehingga kita masih bisa melakukan kegiatan gerejawi. Usia bukanlah sebuah halangan untuk bersuka cita dan berkarya. Seperti yang diberitakan dalam Mazmur 71."

Setelah bisa menerima kenyataan dalam diri bahwa usia sudah lanjut, maka sebaiknya kita juga mampu memberikan arti pada keluarga. Menurut Budhiadi, dalam usia yang sudah lanjut memang sering orang tua itu diibaratkan kera. Hidup menclak-menclok dari satu pohon ke pohon yang lain. "Pindah-pindah rumah."

Hal itu, kata dia, merupakan sebuah kewajaran. Para orang tua janganlah menganggapnya sebagai hal yang negatif. "Minimal bisa dijadikan sebagai pusat untuk mengumpulkan keluarga, misalnya kalau Natal. Memperkenalkan sanak famili satu dengan yang lainnya," terang pendeta yang sudah menginjak usia 66 tahun ini.

Usia lanjut juga bukan suatu halangan untuk berkarya di jemaat gerejawi. Memang usia terkadang merepotkan saat harus mengikuti berbagai rapat yang diadakan oleh komisi-komisi atau penatua di gereja. Makanya, kata Budhiahi, yang sudah lanjut usia bisa menjadi pendoa bagi kegiatan gereja. "Berdoa supaya setiap rapat tidak berlama-lama," candanya seraya tersenyum.

Selain itu, warga jemaat yang sudah memasuki usia lanjut bisa memberikan kebahagiaan kepada jemaat lainnya. Misalnya dengan menjadi usher atau penyambut tamu dalam kebaktian. "Itu bisa membuat suasana menjadi hangat antarjemaat."

Masuk ke dalam lingkup yang lebih luas, warga usia lanjut juga dapat berarti bagi masyarakat. "Tidak perlu ingin menjabat sebagai ketua RT atau RW. Kita cukup menjadi juru damai karena itu akan sangat berarti bagi orang lain," tegas Budhiadi.

Menjadi seseorang yang sudah sepuh juga tidak harus seperti sepah yang rasanya sepet. Tidak perlu merasa kesepian dalam menjalani sisa-sisa waktu hidup.

"Manusia memang tidak dapat melawan kodrat. Hidup ini sangat singkat, yang terpenting adalah mutu hidup kita. Daripada umur panjang namun malah buat orang lain susah karena tidak mati-mati."

Mutu Hidup

Refleksi untuk mutu hidup itu dia dasarkan pada pemberitaan Mazmur 92: 13-16. "orang benar akan bertunas seperti pohon korma, akan tumbuh subur seperti pohon Aras di Libanon; mereka yang ditanam di bait Tuhan akan bertunas di pelataran Allah kita. Pada masa tuapun mereka masih berbuah, menjadi gemuk dan segar, untuk memberitakan, bahwa Tuhan itu benar, bahwa Ia gunung batuku dan tidak ada kecurangan padaNya."

Pohon Korma, jelas Budhiadi, memiliki sifat yang tahan di segala musim dan rasa yang manis. Pohon Aras, paparnya, digunakan untuk berbagai macam keperluan di Lebanon. "Begitu kuat dan indah. Kuat tidak harus diartikan fisik tapi rohani. Saya harapkan Anda sekalian tidak absen ke gereja, karena itu adalah cara untuk bertunas dan bertumbuh di pelataran Bait Allah," urai dia seraya berharap pertemuan raya itu tidak hanya berlangsung sekali saja dan tidak menyisakan apa-apa.

Pertemuan raya yang diisi berbagai acara seperti sharing kegiatan antarjemaat, latihan penyusunan program, berbagai ceramah mengenai hidup dan kesehatan ini ternyata mendapatkan respon yang sangat positif.

Dalam kesempatan tersebut, Pendeta Emeritus Stefanus mengatakan orang lanjut usia itu memiliki kebutuhannya sendiri. Mereka berbeda secara kebutuhan psikis dan juga lingkup pergaulan. "Agar tidak loyo, makanya warga usia lanjut butuh teman dalam melakukan kegiatan-kegiatan teknis di lingkungan gereja," paparnya.

Kebutuhan tersebut diakui oleh Lapian (72), salah seorang peserta dari GKI Pamulang. "Saya berharap dengan pertemuan raya ini dapat mengajak mereka yang sudah memasuki usia lanjut untuk tidak malu-malu atau segan bergabung dalam komisi wulan. Makanya perlu yang namanya sharing antara sesama jemaat," terang kakek dari 12 cucu yang menjabat sebagai Ketua Komisi Wulan di GKI Pamulang itu.

Senada dengannya, Happy Hapsari (44) yang menjadi perwakilan dari GKI Nusukan, Solo mengungkapkan para warga usia lanjut memang terkadang membutuhkan refreshing. Pertemuan raya ini, ujar dia, dapat menjadi penghiburan bagi mereka yang sudah mulai terlupakan dari keluarga. "Kebanyakan anak-anak mereka sibuk. Pertemuan ini dapat menjadikan warga usia lanjut bisa lebih berkembang dan lebih mandiri," tuturnya. [SP/Adi Marsiela]

Sabtu, 15 September 2007

metissages

Start:     Sep 21, '07
End:     Oct 21, '07
Location:     Selasar Sunaryo
A crossbreeding of contemporary art and textiles. Curated by Yves Sabourin (Delegasi Seni Rupa, Departemen Kebudayaan dan Komunikasi) bakal mampir ke Indonesia. Pameran ini berisi 52 karya koleksi French National Fund of Contemporary Art dan koleksi pribadi. Tenun, sulaman, tatahan, aplikasi, dan lilitan. 7 karya yang mewakili tekstil Indonesia juga turut dipamerkan.
Selasar Sunaryo Sunaryo Art Space-21 September sampai 21 Oktober 2007
Museum Nasional, Jakarta-8-23 November 2007
Opening Friday, 21 September 2007 at 8 pm

Jumat, 14 September 2007

Mencari Asal-Muasal Manusia di Bandung

Pernahkah Anda bertanya-tanya di dalam hati, bagaimana sebenarnya asal-muasal kita ini? Pertanyaan sederhana ini ternyata masih belum dapat dipastikan jawabannya oleh para pakar dan peneliti secara ilmiah.

Temuan kerangka tengkorak Toumai di Danau Chad, Afrika sekitar 6,5 juta tahun lalu serta temuan tulang paha Orrorin tugenensis di Kenya sekitar 6 juta tahun masih belum mampu mengungkap tabir misteri tersebut.

Kedua penemuan itu menjadi benang merah dalam pameran dan warisan prasejarah dari kepulauan-kepulauan Asia Tenggara. bertema "First Islanders" di Campus Centre Institut Teknologi Bandung (ITB) yang berlangsung semenjak 5 September hingga 5 Oktober 2007 mendatang.

Kedua temuan penting dalam bidang paleontologi atau antropologi itu ditampilkan secara berjejer dalam ilustrasi foto. Keduanya berdasarkan hasil penelitian dipercaya merupakan nenek moyang manusia yang berdiri di atas dua kaki, seperti kita sekarang ini.

Indonesia sendiri memiliki peranan besar dalam pameran ini. Penyebabnya, tiada lain adalah temuan dari dokter sekaligus antropolog Belanda, Eugene Dubois di balik endapan Pleistocene di Jawa Timur dekat Kedung Broeboes dan Trinil. Rasa penasarannya akan kabar temuan tulang belulang di daerah itu membuat Dubois melakukan penggalian di sana.

Dia berhasil menggegerkan dunia lewat temuan berupa tengkorak dan paha Pithecantropus erectus yang dipresentasikan pertama kali di Prancis pada tahun 1900. Temuan itu merupakan salah satu specimen Homo erectus, satu diantara garis dan cabang keturunan nenek moyang manusia modern yang pertama kali meninggalkan benua Afrika.

Kerangka tengkorak lain yang cukup menarik untuk diperhatikan adalah tengkorak kepala bayi yang diperkirakan sudah berusia 1,5 juta tahun lalu. Tengkorak Homo erectus dari seorang bayi yang diambil dari Mojokerto, Jawa Timur ini diperkirakan berusia 1,5 juta tahun lalu dan merupakan yang termuda dari yang pernah ditemukan di dunia.

Para peneliti yang tergabung dalam jejaring Human Origins Patrimony in Southeast Asia (HOPsea) ini membagi pameran ke dalam empat segmen besar, Evolusi, Migrasi, Adaptasi, dan Sapiens. Beberapa tengkorak dan kerangka yang disebut di atas dapat kita 'nikmati' dalam segmen Evolusi.

Kawasan Asia Tenggara, jelas Andri Purnomo, peneliti muda Indonesia pada Museum National D'histoire Naturelle (Prancis) merupakan laboratorium yang fantastik untuk mempelajari paleobiodiversitas, termasuk keturunan genus Homo. "Sudah menjadi rahasia umum 40 persen temuan fosil ada di Sangiran," terang dia.

Sangiran yang disebut-sebut oleh Andri adalah nama sebuah daerah di Jawa Timur yang mendapatkan banyak kunjungan dari peneliti luar negeri karena 'kekayaan fosilnya'. Jejak itu bisa kita dapatkan dalam jajaran ilustasi dan replika fosil di ruang pameran.

Human Origins Patrimony in Southeast Asia (HOPsea) memang sengaja menggelar pameran fosil dan warisan prasejarah dari kepulauan-kepulauan Asia Tenggara ini. Pasalnya, temuan yang didapat dari Indonesia banyak yang 'dibawa' ke luar negeri untuk diteliti.

Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Amelia mengatakan apabila tidak ada pameran seperti ini maka kecil kemungkinannya bagi masyarakat Indonesia untuk melihat kekayaan cagar budaya.

"Karena untuk membawa artefak dari satu daerah ke satu daerah lain di Indonesia saja harus ada perijinan segala. Apalagi yang sekarang antar pemerintah," terangnya.

Membuka Wawasan

Pameran ini juga bakal membuka wawasan kita mengenai napak tilas perjalanan manusia hingga akhirnya dapat tiba dan berkembang di Asia Tenggara. Runtutan peristiwa ini bisa kita amati dalam segmen Migrasi, yang menggambarkan adanya perubahan besar pada aspek geografi dan iklim pada beberapa juta tahun terakhir di kawasan itu.

Pada masa lampau, Kepulauan Sunda ternyata sering terhubungkan dengan Asia daratan oleh jembatan darat akibat surutnya samudra. Banyak alur laut menyempit yang memungkinkan fauna darat menyeberang atau berpindah tempat.

Kondisi ini menjelaskan persebaran manusia di kepulauan dan membantu kita memahami hunian-hunian purba pada pulau-pulau terpencil. Homo erectus tertua mencapai pulau Jawa segera setelah kedatangan mamalia pertama di sekitar 1,5 juta tahun yang lalu.

Terkait dengan kondisi iklim saat itu, para peneliti mempelajarinya dari sebuah kulit kura-kura raksasa yang sudah menjadi fosil dan ditemukan di kubah Sangiran, Jawa Timur. Kedatangannya ke pulau Jawa-dari rekaman di batoknya-diperkirakan sekitar 2 juta tahun lalu.

Andri memberi contoh lain. Fosil kuda nil, Hexaprotodon sivalensis yang ditemukan di Bukuran, kubah Sangiran. Dengan mempelajari fosil berusia 1,2 juta tahun itu, para ahli bisa mengetahui bagaimana kondisi iklim saat itu.

"Kuda nil tidak mungkin hidup di suhu dingin. Diperkirakan juga suhu di Jawa saat itu lebih hangat daripada tempat asal mulanya. Sehingga mencari makan lebih mudah dengan bergerak ke arah selatan, seperti Jawa," ujar dia.

Mengenai makanan yang tersedia, para peneliti mempelajarinya dari temuan rahang atau gigi. Semakin tinggi sebuah mahkota gigi baik pada manusia atau hewan maka bisa disimpulkan makanan yang dikunyahnya sudah semakin lunak.

Selesai mengamati evolusi dan migrasi, kali ini asal muasal manusia bakal dibahas dari cara mereka menyesuaikan diri dengan lingkungan pada masanya dahulu. Ternyata pada saat beradapatasi, seringkali ada perubahan yang tidak dapat disangka-sangka. Misalnya, temuan Dwarf stegodon di Timor.

Gajah purba ini tingginya hanya seukuran manusia namun gadingnya cukup besar dan mampu menanduk hingga kita terpental jauh. Ternyata, proses kehidupan dalam lingkungan khusus berimplikasi pada tingkah laku yang adaptif.

Khusus untuk konteks kepulauan, setiap pulau memiliki karakter anatomi dan sejarah evolusinya sendiri. Misalnya, hewan yang mengalami pengkerdilan atau pembesaran secara spektakuler.

Contoh lain proses adaptasi yang mendapatkan perhatian dunia adalah temuan Homo floresiensis di Liang Bua, Flores. Pada pameran ini ditampilkan tengkorak kepala dari manusia Flores yang memang cukup mungil itu. Terlepas dari kontroversi yang masih diperdebatkan oleh para ahli soal temuan tersebut, pameran ini hanya memberikan gambaran awal proses pencarian jati diri manusia.

Pada bagian terakhir, pengunjung disuguhi dengan penelusuran jejak spesies Homo sapiens sebagai penjelajah di kepulauan Asia Tenggara. Dalam pameran ini diperlihatkan antara lain fosil yang ditemukan di Gua Tabon, Filipina, hampir 20 ribu tahun lalu, ataupun kuburan manusia di Gua Song Terus, Punung, Pacitan, Jawa Timur, sekitar 10 ribu tahun lalu.

Pameran First Islanders yang digarap selama tiga tahun dan melibatkan lima negara dalam jaringan kerjanya ini terbuka untuk umum. "Kami mengharapkan masyarakat di luar mahasiswa terdorong untuk mengetahui dan menumbuhkan kepedulian soal budayanya sendiri," papar Christine Hertler, ahli paleobiologi dari J W Goethe University, Jerman.

Antusiasme

Sayangnya, antusiasme masyarakat terhadap hal-hal seperti ini masih kurang. Banyak yang menganggap ilmu seperti arkeologi dan sejenisnya tidak mampu menghidupi. Yahdi Zaim, ahli geologi ITB menjelaskan secara keilmuan, paleontologi atau antropologi mungkin masih kurang populer di telinga masyarakat Indonesia. "Apalagi masih susah orang cari makan dari ilmu ini," katanya.

Karena itu, dengan pameran ini, kata dia, diharapkan masyarakat dapat mengerti betapa pentingnya sebuah temuan sejarah, meskipun kecil. "Dari situ, masyarakat bisa tertarik dan memiliki rasa memiliki serta tanggung jawab," katanya.

Hal senada disampaikan oleh Anne Marie Semah, peneliti dari Institut de recherche, Prancis. Keberhasilan pameran seperti ini, sambungnya, dilihat dari seberapa banyak anak-anak yang datang berkunjung.

"Kalau sampai anak-anak datang dan banyak bertanya, berarti pameran ini berhasil. Ajang ini sekaligus untuk menumbuhkan minat mereka mempelajari atau mengenal budayanya sendiri."

Apabila semua sudah mengenal dan mengetahui pentingnya temuan-temuan atau fosil maka kekhawatiran tentang pengambilan dan penjualan fosil secara tidak bertanggungjawab seperti di Sangiran dapat dikurangi atau ditinggalkan sama sekali.

Francois Semah, ahli palaeolitik, prasejarah Asia dan Eropa dari Museum National d'histoire Naturelle Prancis mengatakan pameran ini merupakan hasil kerja dari para peneliti, pengajar, serta mahasiswa Indonesia, Filipina, Prancis, Belanda, dan Jerman.

Anggota HOPsea yaitu Museum National d'histoire Naturelle, Institut Teknologi Bandung, Ikatan Ahli Arkeologi, National Museum of the Philippines, University of the Philippines Diliman, Johann Wolfgang Goethe Universitat, Senckenberg Forschungsinstitut und Naturmuseum Frankfurt, Naturalis Nationaal Natuurhistorich Museum, dan Centre for Prehistoric and Austronesian Studies Indonesia.

Setelah digelar di ITB, pameran akan dilanjutkan dengan keliling Prancis, Filipina, dan negara lainnya. Setelah itu, sebuah seminar internasional akan diadakan di Paris pada bulan Desember 2007 dengan tujuan untuk mengambil kesimpulan dari pameran tersebut serta dampaknya terhadap publik. [SP/Adi Marsiela]

Published: 14/9/07

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...