Rabu, 26 September 2007

Aktor yang Puas di Kala Mati

“Bagaimana kabarnya kang,” tanya saya kepada Mohamad Sunjaya beberapa hari lalu.

 

“Baik-baik saja,” jawabnya ketika bertemu dalam sebuah pembukaan pameran seni serat di kawasan Bandung utara.

 

Jawaban itu sekaligus menghilangkan kekhawatiran saya akan kondisi kesehatan Kang Yoyon-demikian dia akrab dipanggil. Pasalnya, di awal bulan September lalu, dia sempat menginap di rumah sakit akibat penyakit jantung yang dideritanya. Maklum saja usia Kang Yoyon sudah 70 tahun.

 

Namun penyakit dan usia itu justru bukanlah halangan baginya untuk tetap tampil memerankan Bob, seorang aktor pensiunan dalam “Kehidupan di Teater”. Lakon ini sengaja dipersembahkan sebagai syukuran 8 Tahun Actor Unlimited dan ulang tahun Kang Yoyon.

 

Dalam pementasan yang digelar di auditorium Pusat Kebudayaan Francis (CCF) Bandung, Jumat (7/9) lalu, tokoh Bob ini, bagi saya lebih merupakan representasi kehidupan Kang Yoyon. Hal yang sama diungkapkan oleh sutradara “Kehidupan di Teater”, Wawan Sofwan.

 

“Pas sekali, harus Kang Yoyon yang main,” ujar Wawan yang membeli naskah itu satu tahun lalu. Gubahannya atas naskah itu lebih pada penamaan karakter saja, dari yang semula Robert menjadi Bob. Dialog di atas panggung, meski tidak sepenuhnya, menjadi tempat bagi kedua orang aktor untuk mengekspresikan diri.

 

Pertunjukkan teater yang berlangsung selama dua hari ini sendiri diawali oleh perbincangan Bob dan John (Wrachma Rachladi Adji) di ruang kostum. Iringan piano berirama klasik menjadi suara latar saat Bob mengomentari pementasan tersebut dengan sangat serius. John, yang lebih muda dan tengah naik namanya, hanya mengiyakan omongan seniornya.

 

“Bagaimana pertunjukkan saya tadi,” tanya Bob.

 

“Bagus, sudah bagus. Hanya ada yang kurang, seperti penghayatan,” jawab John.

 

Kedua tokoh ini terus berdiskusi tentang pertunjukkan yang baru saja dilaluinya. Hal-hal semacam ini memang sangat jarang kita temui dalam dunia teater. Naskah-naskah teater yang membahas kehidupan di belakang panggung memang tidak banyak. Sebut saja, naskah “Nyanyian Angsa” karya Anton Chekov.

 

Kembali ke panggung. Komentar saling kritik dan puji ternyata menjadi bagian dalam kehidupan keduanya, setelah memainkan perannya masing-masing di panggung.

 

Kesendirian dan kesepian tampaknya menjadi beban bagi Bob, yang memang hanya mendedikasikan hidupnya untuk berkesenian di atas panggung. Hal ini terlihat dari tidak adanya lagi kegiatan dia di luar panggung selain ‘menemani’ dan memberi bimbingan kepada sang aktor muda dalam latihannya. Selebihnya mereka berdua memainkan peranannya masing-masing dalam pertunjukkan.

 

Bob, tampak sebagai aktor yang sudah berhasil mencapai ketenarannya sendiri. Dia malah tampak takut tersaingi oleh John. Terlebih saat Bob memilih untuk mengikuti dan mengamati latihan John di sebuah gedung pertunjukkan tua.

 

“Kau ada di sana Bob?” tanya John yang tengah melakukan pemanasan.

 

Tidak ada jawaban sampai akhirnya ada tepukan tangan ketika John menyelesaikan sebuah dialog sembari membawa pedang. Bob pun menunjukkan dirinya kepada John.

 

Senang mendapatkan pujian dari aktor yang lebih senior, John juga merasa dirinya tidak bebas. Gestur tubuhnya menyiratkan kalau dia tidaklah nyaman berlatih dengan adanya kehadiran Bob di sisinya. Tidak sulit untuk melihat kekesalan John, terlebih Wrachma Rachladi Adji memang memiliki kelebihan dalam olah tubuhnya.

 

Merasakan ketidaknyamanan dalam diri John, Bob pun memilih untuk menyingkir. Namun kepergiannya itu dibarengi dengan pemikiran kalau eksistensi dan popularitas dirinya mulai terpinggirkan dengan kehadiran aktor muda seperti John. Adegan ini, seakan-akan sulit dipisahkan dari keseharian yang dijalani oleh Kang Yoyon.

 

Dia memang sering hadir, kalau tidak berhalangan, ke berbagai acara teater. Selain itu, Kang Yoyo selalu memberikan kritik dan masukan apabila para pemain teater selesai manggung. Sulit membedakan apakah Kang Yoyon hanya berakting sebagai Bob atau Kang Yoyon tengah mengeksperikan dirinya sendiri, hanya nama saja yang berbeda.

 

Memang tidak seluruh naskah itu diadaptasi dalam lakon ini. Wawan sengaja memilih yang dialog yang memiliki nilai kesamaan dengan kultur di Indonesia. Kang Yoyon yang mendapati naskah itu pun melengkapinya dengan improvisasi sendiri. Misalnya saat Bob dan John menikmati hidangan mie.

 

“Mie ini enak, dari mana?” tanya John.

 

“Ini dari restoran Mister Sung dekat hospital,” jawab Bob.

 

Dialog ini tidak mungkin ada dalam naskah aslinya. Restoran yang dimaksud memang milik Sonny Soeng, seorang sahabat Kang Yoyon yang turut mendirikan kelompok teater Actors Unlimited pada 28 Agustus 1999.

 

Bagi Sutardjo A. Wiramihardja, Ketua Umum Studiklub Teater Bandung, pementasan “Kehidupan di Teater” memiliki keunikan. Cara David Mamet bercerita itu membuat penonton membutuhkan waktu lebih lama agar bisa mencerna apa yang sedang terjadi di panggung.

Selepas itu barulah penonton bisa bersikap kritis terhadap bagaimana kejadian itu ditampilkan dalam bentuk pemeranan dengan segala aspeknya, termasuk kostum dan tata cahaya.

 

Yang menarik diperhatikan dalam pementasan ini adalah setting panggung yang cukup unik. Satu panggung dibuat lebih rendah dibandingkan yang lain. Setting ini juga yang menjadi pemisah saat kedua aktor memerankan tokoh lain ketika manggung dan satu lagi menjadi tempat kedua bercengkarama serta berlatih di luar pentas.

 

“Itu memang untuk memecahkan ruang termasuk penonton,” kata Wawan yang juga menyutradarai “Nyai Ontosoroh” di Jakarta beberapa waktu lalu.

 

* * *

 

 

 

Kang Yoyon sendiri memang berbeda dengan kedua saudara kandungnya, Yogi S Memet (alm), yang mantan Gubernur Jawa Barat dan mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) serta Tutty Anwar, yang sampai saat ini masih menjabat sebagai Bupati Majalengka.

 

Dia memilih untuk mengabdikan dirinya dalam kehidupan teater. Badannya kurus dan tidak tinggi. Namun di balik tubuh itu, dia dengan suaranya yang berat mampu menyihir para penonton teater, sampai usianya yang ke-70 tahun.

 

Penggemar musik klasik ini mengungkapkan kalau dirinya sangat bersyukur masih diberikan kesempatan oleh Sang Pencipta untuk bermain teater. “Saya berhenti minum (bir) tahun 2003. Masuk rumah sakit lagi tahun 2007, sekarang saya sudah tidak merokok, disuruh berhenti,” paparnya sesaat setelah selesai manggung.

 

Baginya pementasan “Kehidupan di Teater” merupakan sebuah gambaran bagi seorang aktor dalam menjalani kehidupan di dunia teater. Baik itu di dalam atau di luar panggung. “Makanya saya suka sinis kalau ada aktor muda yang cepat puas,” tegas Kang Yoyon yang sempat menghirup oksigen di sela-sela latihannya.

 

Menurut dia, seorang aktor itu memang tidak boleh puas dengan penampilannya. Harus selalu mau menggali dan menggali lagi soal permainan peran. “Kalau sudah main itu yang ada hanya kenikmatan.”

 

Saya sempat bertanya, apakah setelah pementasan ini, Kang Yoyon masih bermain teater? “Kalau masih diberi kesempatan (oleh Tuhan), kenapa tidak?” katanya balik bertanya.

 

Memang sulit memisahkan kehidupan dengan dunia teater dari diri Mohammad Sunjaya yang pertama kali berakting di atas panggung sejak masih SMA pada tahun 1955. Saat itu dia tampil dalam lakon “Di Langit Ada Bintang” karya Utuy Tatang Sontani yang disutradarai Noor Asmara.

 

Kang Yoyon juga merupakan aktor angkatan pertama di Studiklub Teater Bandung (STB) yang berdiri tahun 1958, dan sempat menjabat sekretaris di STB. Dia juga yang kemudian mendirikan Actors Unlimited, sebuah organisasi nirlaba yang bergerak dalam bidang teater. Lembaga ini dia bentuk bersamaan dengan usianya yang ke 62 tahun pada 28 Agustus 1999 bersama Wawan Sofwan, IGN Arya Sanjaya, Diana G. Leksanawati, Fathul A. Husein, dan Sonny Soeng.

 

“Saya bukan penguasa, atau pengusaha, dan bukan orang partai politik yang punya target dan program-program. Hidup saya mengalir saja,” katanya ketika ditanya targetnya untuk kembali ke atas panggung.

 

 

 

 

Selain bermain teater, lelaki yang masih membujang ini juga sempat menceburkan diri sebagai penyiar Radio Mara di Bandung. Kesenangannya akan dunia siaran ini juga yang membuatnya diberhentikan dari jabatannya sebagai Pemimpin Redaksi Pusat Pemberitaan Radio pada Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia. Kala itu dia menugaskan reporternya meliput demonstrasi mahasiswa.

 

Perjuangannya terhadap kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi dia salurkan bersama Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Aritides Katoppo, dan rekan-rekan yang lain dengan mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi). Pembentukan ISAI ini sendiri dilatarbelakangi pembredelan majalah berita Tempo dan Editor serta tabloid DeTIK pada 21 Juni 1994.

 

“Saya juga sempat merekam berbagai berita dari sejumlah radio asing seperti BBC, Radio Netherland, Radio Australia, Voice of America, dan Deutshe Welle. Rekamannya sampai lebih dari 35 kaset yang durasinya 90 menit, itu semua diterbitkan jadi buku Breidel di Udara,” ujar Kang Yoyon yang sempat menjadi penyiar radio dengan program  musik klasik ini.

 

Semua itu memang sudah dilaluinya. Namun dia masih belum terpuaskan. “Puas ada di waktu kita mati,” ujarnya singkat meninggalkan saya dan beberapa kawan yang masih berbincang-bincang soal aktingnya dalam lakon “Kehidupan di Teater”. [SP/Adi Marsiela] 

 

4 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...