Senin, 27 Agustus 2007

Menertawakan Bujang


 "Bujang...Bujang, sudah kubilang jangan bertempur, tapi kau tetap bertempur. Sekarang... matilah kau!"

Nama yang disebut-sebut itu belakangan sempat populer kembali di kalangan penggemar film nasional. Penyebabnya tiada lain, pemutaran film Nagabonar (Jadi) 2 yang membangkitkan ingatan soal Bujang, sahabat karib sang jenderal Nagabonar.

Dalam film Nagabonar karya Asrul Sani yang diproduksi pada 1987, Bujang tidak puas atas hasil pangkat yang dicapainya. Dia merasakan ketidakadilan tatkala diberi pangkat kopral oleh Nagabonar yang merupakan rekannya ketika masih mencopet.

Ia kemudian berangkat sendiri ke medan perang untuk membuktikan kalau dirinya mampu mendapatkan pangkat yang lebih tinggi. Namun, keputusannya menuju ke medan perang itu harus dibayar dengan nyawanya.

Tapi tahukah Anda, kalau sebelumnya, Bujang sebenarnya sudah pernah diutus oleh Nagabonar untuk bertemu dengan Jenderal Soedirman dan Letnan Jenderal Soeharto di Yogyakarta?

Bujang (Ricky Arnold Yuniarto) datang dengan mengenakan seragam pejuang zaman revolusi lengkap dengan topi koboinya. Dia sesumbar kalau dia memang datang untuk membuat suatu perundingan dengan pimpinan tertinggi perang Indonesia agar bisa menaruh beberapa kompi pasukan tambahan di garis pertahanan yang dikomandoi oleh Naga Bonar.

Selama perundingan berlangsung, Bujang yang awalnya penuh percaya diri dengan jabatan serjen alias sersan jenderal, mulai kewalahan melihat peta-peta perang di Indonesia. Belum lagi, dia merasa gugup ketika ada kepala perawat cantik (Eva Ayu Khuntari) yang ikut juga berunding di sana. Pembicaraannya mulai melantur dan tak karuan.

Terlebih di tengah-tengah perundingan yang tidak kunjung dihadiri Soedirman dan Soeharto itu, turut hadir Naomi (Elke Marcheline Sandjaja), istri seorang kapten tentara Jepang. Naomi melarikan diri dari suaminya karena diajak bercinta di atas tank.

Perdebatan mengenai perang, penjajah, pejuang, kemerdekaan, dan nasionalisme menjadi benang merah pertunjukan drama komedi yang dipentaskan di auditorium CCF Bandung pada Selasa (14/8) malam lalu itu. Drama itu sendiri diberi judul Cepat Pulang Bujang!".

Penulis naskahnya, Sophan Adjie menuturkan genre teater itu dipilihnya untuk lebih menarik perhatian bagi anak-anak muda. "Selama ini teater itu sering diasumsikan rumit oleh sebagian orang. Kami ingin agar ini mudah diterima," terangnya.

Sayangnya, Moch. "Echa" Rizal, sang sutradara lebih memilih untuk menampilkan drama komedi itu secara "telanjang". Komedi yang ditawarkan pun terasa hambar. Kesalahan interpretasi bahasa antara Bujang, Naomi, dan perawat menjadi unggulan sang sutradara untuk mengundang tawa penonton. Tidak ada satu pun unsur sarkasme yang disampaikan pembuat naskah terhadap kondisi kekinian berangkat dari semangat perjuangan yang tengah dilakoni oleh Bujang.

Penonton hanya mendapatkan pesan bahwa ini adalah suasana perang, di mana pasti ada orang yang tewas tertembak, ada yang sedih ditinggalkan seperti yang dialami Asih (Bernadet Chrisantina Mulyani), istri pejuang Sarmin. Hal lain yang cukup menganggu adalah penggambaran perang itu sendiri. Berkali-kali penonton dilelahkan tata suara dan efek lampu yang berkedap-kedip seperti sedang berlangsung peristiwa saling tembak.

Singkat kata, drama komedi itu hanya menertawakan kelakuan para pelaku perang dalam suasana kepanikan. Inti ceritanya hanya semangat Bujang yang tetap ingin berjuang melawan penjajah walaupun dia tidak memiliki kemampuan itu.

Hal menarik dalam drama yang diproduksi oleh komunitas Green Symphony itu adalah unsur hiburan dengan membuat dekonstruksi historis terhadap tokoh Bujang. Dia jelas-jelas mengakui keahliannya sebagai pencopet ketimbang berperang. Dia lebih sering dihadirkan sebagai tokoh konyol dan terkadang egois. Mungkin penggambaran itu bisa menjawab pertanyaan mengapa Nagabonar hanya mengangkat Bujang menjadi kopral.

Tekad komunitas Green Symphony untuk memasyarakatkan dunia seni dalam bentuk teater ini memang patut diacungi jempol. Namun akan lebih baik apabila tekad itu tidak mengurangi nilai-nilai yang sejatinya berada dalam sebuah pementasan teater. Misalnya, mengolah laku, dialog, dan kemampuan berperan menjadi sebuah inspirasi bagi penonton yang menontonnya. [SP/Adi Marsiela]

Published : 21/8/07



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...