Sabtu, 21 Februari 2015

Sengkarut Sampah Kota Kembang-bagian 2

Bandung Baru Sebatas Bersih di Mata

Pemerintah Kota Bandung berniat membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) sebagai upaya pengelolaan sampah bagi 2,5 juta penduduknya. Rencana ini mendapatkan penolakan dari aktivis lingkungan hidup dan warga yang tinggal di sekitar lokasi pembangunan PLTSa. 

Meski mendapatkan penolakan, pemerintah kota tidak bergeming. Mereka tetap maju dan sukses menggagas kerjasama pemerintah dan swasta atau public privat partnership (PPP) untuk membangun PLTSa di kawasan Gedebage, Bandung.  

Wali Kota Bandung Ridwan Kamil hingga saat ini belum mengambil keputusan terkait pembangunan PLTSa tersebut. Dia masih mempertimbangkan banyak hal. 

Sembari menanti keputusannya, Ridwan menggalang berbagai upaya pengelolaan sampah. Sayangnya, upaya itu masih sebatas urusan membersihkan sampah dari ‘pandangan’ mata dan memindahkannya ke tempat lain. 

Arsitek lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini menggelar setidaknya lima program terkait hal itu. Gebrakan pertamanya adalah menempatkan ratusan tempat sampah yang membagi sampah organik dan non organik. Sebagai pembedanya, dia menggunakan kantong kresek berwarna putih dan hijau. Kantong kresek itu diklaim berbahan dasar ramah lingkungan yang bisa terurai seiring berjalannya waktu. 

Program ini tidak berjalan dengan baik. Kenyataan di lapangan, banyak tempat sampah yang rusak dan tidak berbekas peyangganya. Setelah berjalan beberapa bulan, Ridwan mengganti tempat sampah itu dengan bentuk yang lebih ‘lucu’ seperti kodok yang membuka mulut. Lagi-lagi, upaya ini belum memperlihatkan hasil. 

Dia lantas merekrut sedikitnya 96 penyapu jalan yang terbagi dalam dua tim. Mereka bekerja di luar struktur PD Kebersihan yang memang sehari-hari memunguti sampah di Bandung. Penambahan penyapu jalan ini untuk membersihkan setidaknya 16 jalur jalan protokol serta jalur wisata di Bandung. “Tidak cukup kalau hanya mengandalkan pegawai kebersihan saja,” ujar Ridwan. 

Budiman, 60 tahun, seorang petugas penyapu jalan mengaku, dirinya mendapatkan bayaran Rp50 ribu setiap hari untuk pekerjaan ini. Dia bertugas selama enam jam setiap harinya. Jika masuk pada hari libur, maka dia mendapatkan bayaran Rp100 ribu. Apabila dirata-rata, Budiman mengaku bisa memperoleh pemasukan Rp1,3 juta per bulannya. 

“Buat saya yang penting pekerjaan ini halal. Anak saya ada tiga, istri juga bekerja. Perlu sama-sama bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup,” kata pria asal Sulawesi Selatan yang sudah 10 tahun terakhir ini menetap di Bandung. 

Setiap 10 hingga 15 penyapu ini, ada seorang pengawas yang berkeliling. Setiap pengawas bertugas memotivasi dan mengawasi kinerja dari para penyapu jalan yang sehari-hari memakai rompi hijau. 

Untuk kegiatan pengadaan tempat sampah dan penyapu jalan ini, Ridwan mengandalkan dana corporate social responsibility dari pengusaha yang ada di kotanya. 

Berdasarkan perhitungan Badan Perencanaan Pembangunan Kota Bandung, Ridwan memaparkan Bandung bisa bersih seperti Kota Singapura asal didukung pendanaan sedikitnya Rp80 triliun. Sementara anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kota Bandung hanya sekitar Rp5 triliun. “Itu juga setengahnya habis oleh gaji (pegawai negeri sipil),” ujar Ridwan sembari menegaskan pentingnya kolaborasi antara pengusaha dan pemerintah untuk membangun kota. 

Tidak cukup hanya itu, Ridwan menggagas Gerakan Pungut Sampah (GPS). Melalui gerakan yang dilakukan secara sukarela setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat selama setengah jam, Ridwan berharap masyarakat mau membersihkan kawasan radius 100 hingga 300 meter dari rumah, bangunan sekolah, serta kantornya.

Upaya ini dia lakukan untuk menumbuhkan kebiasaan atau budaya membuang sampah pada tempatnya kepada anak-anak sekolah. Bagi siswa sekolah serta pegawai negeri sipil. GPS merupakan sebuah imbauan yang belakangan menjadi sebuah kewajiban. “Kalau orang dewasa sudah tidak bisa dirubah, makanya kita mulai dari anak-anak. Kita luangkan waktu antara 10 sampai 30 menit melakukan GPS di lingkungan terdekat,” ungkap Ridwan. 

Program-program ini mendapatkan apresiasi meski bukan solusi untuk menuntaskan masalah sampah di Kota Bandung. Direktur Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi, David Sutasurya mengatakan, persoalan sampah harus dibenahi secara sistem. 

“Sekarang ini sampah baru dituntaskan sebatas tidak terlihat. Itu bukan solusi karena itu hanya memindahkan masalah dari satu tempat ke tempat lain, yaitu penampungan akhir,” ujar David.

Seharusnya, sambung pria yang aktif membantu Badan Pengelola Lingkungan Hidup Kota Bandung ini, pemerintah menyelesaikan kelembagaan yang mengelola sampah di Bandung. Saat ini, pemerintah hanya memiliki PD Kebersihan, sebuah perusahaan daerah yang tugas dan fungsinya mencari profit dari pengangkutan sampah dari tempat penampungan sementara ke tempat penampungan akhir. 

“Selepas itu ada masalah pembiayaan, teknis operasional pengelolaan sampah, penyusunan regulasi, dan peran serta masyarakat serta swasta. Selesaikan dulu lima masalah ini baru kita bicara teknologi,” kata David. 

Bersama lembaganya, David percaya, permasalahan sampah di Bandung bisa dituntaskan apabila pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengurangi sampah dari sumbernya. 

PD Kebersihan mencatat, produksi sampah di Bandung mencapai 1.200 hingga 1.500 ton per harinya. Dari jumlah itu, sekitar 70 persennya berupa sampah basah atau sampah organik. Apabila 70 persen sampah itu dikelola dengan baik lewat pengomposan dan pengolahan biodigester untuk menjadi gas, maka sebagian besar sampah itu sudah selesai ditangani.

Sisa sampahnya, sambung David, bisa dimaksimalkan dengan Bank Sampah seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang no 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Sampah-sampah tersebut bisa dikumpulkan dan dibeli oleh produsennya. Aturan itu tercantum dalam pasal 15 yang berbunyi, “Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam”. 

Terkait pembiayaan, Pemerintah Kota Bandung sama sekali tidak pernah mengalokasikan dana untuk pengelolaan sampah. Pada tahun 2014 saja, pemerintah memberikan subsidi Rp70 miliar kepada PD Kebersihan untuk urusan pengelolaan sampah di Tempat Pembuangan Akhir Sarimukti serta pengangkutan sampah dari tempat pembuangan sementara di Bandung ke Sarimukti. 

Menuntaskan permasalahan sampah ini memang membutuhkan usaha serius. David menilai kebijakan penerapan denda bagi orang yang membuang sampah sembarangan dalam Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 Pasal 49 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan Kota tidak akan berjalan efektif apabila masyarakat tidak mau merubah kebiasaannya. 

Denda itu tidak main-main. Bagi mereka yang membuang sampah ke luar kendaraan bisa dikenakan pembebanan biaya paksaan sebesar Rp250 ribu. Sementara bagi yang membuang sampah ke selokan, saluran air, tempat umum bisa dikenai denda hingga Rp5 juta. 

“Yang harus dimulai sekarang bukan buang sampah pada tempatnya, tapi jangan melakukan tindakan yang berpotensi menghasilkan sampah,” ungkap David. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...