Rabu, 04 Juli 2007

Hujan Bulan Juni

Hujan Bulan Juni

 

Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

 

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

 

Penggalan musikalisasi puisi Hujan di Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono yang dinyanyikan Dua Ibu (Reda dan Tatyana) terdengar sayup-sayup di amphitheater Selasar Sunaryo Art Space, Sabtu (23/6) malam lalu. Bulan pun menampakkan dirinya tanpa malu meski usianya baru mencapai setengah purnama.

 

Hawa dingin Bandung bagian utara yang menusuk kulit tertutup oleh hangatnya sajian kopi, teh manis, dan mie kocok. Puluhan pengunjung sudah hadir untuk mengikuti puncak acara Hujan Bulan Juni yang diselenggarakan oleh Yayasan Lontar dan Selasar Sunaryo.

 

Siapa sangka, meski hanya dengan mie kocok, makan malam itu menjadi sebuah pengalaman berbeda. Yayasan Lontar yang berusia 20 tahun pada 28 Oktober 2007 mendatang memutarkan Rendra-Si Burung Merak, salah satu film dari On The Record Tokoh-Tokoh Sastra Indonesia yang memang dibuat untuk melengkapi kurangnya dokumentasi para tokoh sastra di Indonesia.

 

Jadilah, kami makan sembari menyaksikan lembaran hidup Willibrordus Surendra Broto Rendra, pendiri Bengkel Teater, Yogyakarta. Melengkapi cerita yang disajikan, sejumlah kritikus juga tampil memberikan komentarnya dalam film itu. Sesekali Rendra sendiri yang menuturkan pandangannya tentang karya dan bangsanya.

 

Selepas magrib, acara di sana bisa dibilang menjadi miliknya penyair. Usai Rendra, tampil Iman Soleh, penyair asli Bandung yang juga mengelola Pusat Kebudayaan Ledeng. Mengenakan baju lengan pendek berwarna hitam dengan balutan celana jeans, penyair berambut gondrong itu membacakan cerita pendek karya Pramoedya Ananta Toer bertajuk Sunat.

 

“Cerpen ini saya pilih karena menarik dan anak saya juga mau disunat bulan depan,” katanya sebelum membacakan cerita itu.

 

Kemampuan Iman Soleh membacakan cerita ini sangat mumpuni. Keyakinan seorang anak dari Blora tentang sunat sebagai suatu proses pengiktirafan untuk menjadi seorang jejaka dan layak kawin terwakilkan di dalamnya.

 

Intonasi dan mimik Iman juga mengundang tawa, terlebih saat dia sampai pada bagian sang anak menanti giliran disunat. Rasa takut akibat mendengarkan temannya yang sudah lebih dulu dipotong, dia sampaikan dengan matanya yang melotot sembari merapatkan kedua kakinya ke arah paha. Geli sekaligus miris.

 

Keyakinan sang anak yang goyah ketika mengetahui dirinya belum menjadi seorang penganut Islam yang sejati juga terpapar di bagian akhir cerita. Suara lirihnya mewakili pertanyaan sang anak kepada bapaknya yang tidak juga mampu berbuat haji, menaiki kapal ke negeri Arab. Pandangannya yang kosong seolah-olah mengatakan bagaimana harapan sang anak hilang harapan untuk menjadi orang Islam sejati.

 

Menjadi saksi pembacaan cerita pendek itu memang cukup mengasyikan. Apalagi jika para pengunjung sempat menyaksikan pemutaran film tentang Ramadhan KH, NH Dini, Selasih, Achdiat Kartamihardja, dan Pramoedya Ananta Toer.

 

Setidaknya kita bisa mengetahui kalau ternyata Selasih, perempuan penyair pertama yang menulis puisi dan novel dalam bahasa Indonesia dan sangat menjunjung tinggi emansipasi perempuan ternyata tidak pernah memasak seumur hidupnya. “Ibu hanya tahu teori tapi tidak tahu praktek,” kata penulis novel Kalau Tak Untung ini menuturkan omongan anak-anaknya.

 

Bagaimana pula Pramoedya Ananta Toer yang rendah diri semenjak kecil bisa menjadi seseorang yang sangat berani dan tegas dalam mengambil sikap, saya dapatkan dari pemutaran film itu. Menurut Pram, panggilan akrabnya, perubahan itu dia dapatkan ketika usianya mencapai 27 tahun.

 

Saat itu, kata Pram, dirinya tengah berada di Belanda dan jatuh cinta pada seorang noni Belanda. Singkat cerita, dua anak manusia itu memadu kasih sampai akhirnya berhubungan sex. “Sejak saat itu saya merasa sederajat dengan siapapun. Terima kasih kepada pacar Belanda saya,” ungkap Pram di film yang disutradari oleh Sriketon M itu.

 

Kembali ke amphitheater. Usai pembacaan cerita pendek, berturut-turut hadir Wedang Jahe, Dedi Koral, dan deKasta. Selain Dedi, adalah kelompok musikalisasi puisi dari Universitas Pendidikan Indonesia.

 

Puisi karya Sutan Takdir Alisyahbana, H.B. Yassin, serta Makmur Saadi dibawakan dengan irama keroncong oleh Wedang Jahe. Cara baru menikmati puisi. Dedi Koral menambah keriuhan pengunjung. Pasalnya, beres dia membacakan puisi tanpa text, turun satu per satu pengunjung yang ikut menyumbangkan puisinya secara spontan.

 

Acara yang diawali oleh diskusi sastra “Yang Muda Yang Bersastra: Sastra di Mata Anak Muda” pada Jumat (22/6) itu ditutup oleh penampilan deKasta yang terdiri dari seorang pria dan tiga perempuan.

 

Usaha mereka membawakan puisi dengan gaya musik modern yang dilengkapi sebuah keyboard patut diapresiasi. Terlebih saat membawakan karya Presiden Penyair, Sutardji Calzoum Bachri berjudul ‘Sepisaupi’. Mantra dalam puisi itu terasa jelas dalam gaya musik jazz yang mereka mainkan.

 

Satu hal yang sebenarnya sangat dinantikan oleh para pengunjung adalah musikalisasi puisi karya Sapardi Djoko Damono di tengah-tengah acara itu. Tapi sayang, sampai akhir acara yang judulnya menyerupai sebuah puisi karya Sapardi, penantian itu tidak membuahkan hasil. Untung saja masih terdengar sayup-sayup suara Dua Ibu dari pengeras suara.

 

…tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...