Rabu, 04 Juli 2007

Matang dalam Kandang

Piano Concert Kanisius Kevin Suherman and The Orchestra

 

Hembusan angin terasa menusuk malam itu. Lepas kumandang adzan magrib di lembah Babakan Siliwangi, Bandung, kilauan lampu berwarna kuning mulai menyoroti tempat parkir Sasana Budaya Ganesha (Sabuga). Berpuluh-puluh mobil dan motor mencari tempatnya masing-masing. Suara-suara penumpang yang turun dari kendaraannya lirih terdengar di depan pintu gedung itu.

 

Mereka semua datang dengan satu tujuan yang sama. Untuk menyaksikan perjalanan Kanisius Kevin Suherman mengukirkan sejarahnya dalam perkembangan musik klasik di Indonesia. Minggu, 17 Juli 2007 lalu, merupakan pertama kalinya seorang anak yang masih berusia 12 tahun menggelar konser piano solo dengan iringan orkestra.

 

Siswa kelas 1 SMP Bina Bakti program Martius ini membuka konsernya dengan membawakan komposisi Schumann Variatons on the Name "Abegg" opus 1. Kevin yang tampil dengan mengenakan setelan tuxedo putih, dasi abu-abu, dan celana panjang hitam ini memainkan jemarinya dengan tenang.

 

Kenangan Robert Schumann yang menyenangkan dan sekaligus menyedihkan tentang temannya, Meta Abegg mampu ditampilkan dengan baik oleh Kevin. Sesekali tangan kanan Kevin menyilang di atas tangan kirinya, ketika ia memainkan komposisi yang diciptakan oleh Schumann antara tahun 1829 dan 1830 itu.

 

Usai komposisi tersebut, dia membawakan Premiere Ballade F. Chopin opus 23. Kevin mengawali karya komponis Polandia ini dengan tempo lambat, membuat pendengarnya merasakan nuansa kesepian. Kesan itu pula yang membuat sutradara Roman Polanski memasukkan komposisi ini dalam filmnya yang berjudul The Pianist.

 

Dalam film itu, seorang pianis bernama Władysław Szpilman memainkan karya pertama Frederic Chopin untuk piano solo. Szpilman yang dikejar-kejar tentara Jerman saat itu melarikan diri dan menemukan sebuah piano tua dalam rumah sakit yang sudah hancur akibat perang. Penderitaan yang dialaminya, dia ekspresikan lewat piano tersebut.

 

Komposisi ini sendiri dibangun dalam dua tema, yang mulanya merupakan pembukaan dalam tujuh bar, dan bagian kedua sebanyak 69 bar. Kedua bagian ini sendiri membutuhkan teknik yang tidak enteng. Emosi pemainnya harus dapat dijaga karena ada beberapa tempo yang harus dimainkan beriringan dalam waktu dekat.

 

Karya pertama dari empat bagian untuk solo piano dari composer Polandia, Frederic Chopin ini, dia bawakan sekitar sembilan menit. Karya klasik yang diciptakan antara tahun 1835-1836 ketika Chopin memasuki Paris ini memang tidak usang oleh waktu. Permainan Kevin membuktikan hal itu.

 

Tidak hanya karya-karya komposer dunia yang dia tampilkan. Lagu Es Lilin yang diaransemen olehnya pun dia bawakan sebagai penutup sesi pertama konsernya. Nada mendayu-dayu yang biasanya terdengar kala lagu daerah Jawa Barat ini dimainkan dengan alat musik tradisional juga terasa dalam dentingan piano Kevin.

 

Kevin akhirnya berdiri dan meninggalkan pianonya setelah kira-kira lima menit dia memainkan karya Mursih, yang sering diperdengarkan di hajatan pernikahan terutama orang Sunda. Selesailah bagian pertama dari konser tersebut.

 

Memasuki bagian kedua, pianis cilik itu tidak sendiri. Ada 44 anggota orkestra dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang sudah menantinya. Masing-masing memegang instrument berbeda seperti, biola, kontra bas, flute, obo, klarinet, dan bas drum. “Semoga ini bukan penampilan Kevin yang terakhir dengan orkestra,” ungkap  Prof. Andre de Quadros, seorang komposer, dirigen, pendidik, spesialis musik klasik dari Boston University, Amerika, sekaligus konduktor malam itu.

 

Penampilan Kevin pun sedikit berbeda, dia terlihat lebih dewasa dibandingkan anak-anak seusianya dengan jas hitam di badannya. Dia duduk di bagian tengah panggung dengan deretan pemain orkestra yang mengelilinginya dalam bentuk setengah lingkaran.

 

Kesan suram dan kelam mewarnai konser di bagian kedua yang dibuka oleh komposisi Chopin Piano Concerto no 1 in E minor, opus 11. Kevin harus menanti sekitar dua menit sebelum akhirnya dia bisa menunjukkan ekspresinya di atas tuts piano.

 

Kondisi ini mengingatkan kita tentang komposisi yang dibuat oleh Chopin pada tahun 1830. Karya tersebut dibawakannya pertama kali pada 11 Oktober 1830 di Warsawa, sebagai tanda perpisahan sebelum dia meninggalkan Polandia. Ekspresi sekaligus gairah Chopin yang mengucapkan perpisahan cukup terwakilkan oleh perpindahan dan tekanan jemari Kevin. Penonton dibuai romansa Chopin tentang Polandia dengan segala daya tariknya.

 

Sedikitnya permainan piano dalam karya ini bisa kita artikan bahwa Chopin membuat latar orkestra dengan sangat hati-hati dan disengaja untuk memasukkan suara piano. Hal ini kontras dengan kerumitan harmoninya. Permainan Kevin sangat mumpuni untuk membawakan komposisi bertipe Allegro-Maestoso ( ceria dan cepat tapi elegan), Romance–Larghetto (pelan-pelan) dan Rondo-Vivace (biasanya agak cepat) ini. Tepukan tangan penonton pun membahana usai dia membawakan komposisi yang berdurasi sekitar 25 menit tersebut.

 

Pengakuan Andre akan penguasaan teknik dari Kevin yang sangat kuat dan stabil di usianya terbukti saat dia membawakan komposisi The Piano Concerto No. 3 in C minor, Opus. 37. Karya Ludwig van Beethoven tahun 1800 ini dibawakannya tanpa cacat.

 

Karya yang terbagi ke dalam tiga movement, Allegro con brio (ceria,cepat, dengan tenaga), Largo (pelan), dan Rondo: Molto allegro (sangat cepat) itu, dia bawakan dengan tenang.

 

Sesekali, suara pianonya bergantian terdengar dengan iringan orkestra atau bisa disebut Abacada. Bagian refrain diselingi dengan beberapa tema yang kontras.

 

Di bagian pertama (allegro), kira-kira dua setengah menit awal hanya ada pengenalan orkestra tanpa ada piano. Suara piano masuk dengan skala C minor yang

kuat.  Coda (akhir)-nya dramatis, yang berawal dari getaran yang sangat pelan yang terus menghasilkan klimaks yang megah tapi juga gelap.

 

Masuk bagian kedua (largo) dengan E mayor, Kevin membukanya dengan melodi yang sangat terpuji untuk piano solo. Pada bagian akhirnya, dimulai dengan C minor dan disudahi dengan tempo cepat di C major.

 

Beethoven memainkan komposisi ini 5 april 1803 dengan hanya berlandaskan ingatannya. Demikian juga Kevin. Malam itu, seluruh permainannya dilakukan tanpa bantuan partitur (not balok). “Dia punya dorongan dan gairah dalam dirinya,” ujar Andre mengomentari penampilan Kevin.

 

Hal senada disampaikan oleh Pully (32) yang rela membayar Rp 100 ribu untuk tiket konser itu. “Luar biasa untuk anak seusianya. Saya baru melihat dia sekarang. Saya kagum,” paparnya.

 

Sayangnya, lingkungan di Indonesia kurang mendukung untuk perkembangan musikalitas Kevin. Nino Aryo Wijaya (21), pemain clarinet yang mengiringi Kevin mengatakan kemampuan tersebut harus diasah di luar negeri. Karena, sambung dia, di Indonesia kekurangan pengajar untuk musik klasik.

 

“Permainan dia luar biasa untuk ukuran orang Indonesia, makanya sayang kalau tidak belajar ke luar negeri. Tidak sembarangan orang bisa memainkan karya-karya itu,” tutur mahasiswa jurusan musik pertunjukkan ISI Yogyakarta yang pernah mengiringi pemusik dunia seperti Maxim. [Adi Marsiela]

3 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...