Senin, 23 Februari 2015

Sengkarut Sampah Kota Kembang-bagian 4

Peluang Terbesar Membatalkan PLTSa

Wali Kota Bandung Ridwan Kamil masih bimbang dan ragu menentukan cara untuk mengatasi sampah di kotanya. Bola panas pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di kawasan Gedebage, kini ada di tangannya. 

Istilah PLTSa itu sebenarnya muncul dari Dada Rosada, Wali Kota Bandung periode 2008-2013. Tidak ada yang keliru dengan pembangkit listrik berbahan baku sampah. Pengolahan sampah menggunakan teknologi biodigester yang memanfaatkan proses gasifikasi dari sampah organik juga bisa dimanfaatkan sebagai energi listrik. 

Namun pilihan teknologi insenerator atau pembakaran sampah untuk 2,5 juta jiwa masyarakat Kota Bandung sudah ‘dikunci’ pada pengajuan teknologi dari Hangzhou Boiler Group. 

Semua ini berawal dari tawaran Pemerintah Kota Bandung yang membuka kesempatan bagi pihak swasta untuk menangani sampah pada tahun 2005 silam, selepas peristiwa longsor sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah. 

Tawaran pengelolaan sampah itu mendapatkan tanggapan dari 16 perusahaan swasta serta lembaga swadaya masyarakat. “Macam-macam tawarannya tapi tidak ada insenerator waktu itu,” kata Enri Damanhuri, Ketua Kelompok Keahlian Pengelolaan Udara dan Limbah Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung yang diminta tim penilai terkait berbagai tawaran teknologi itu. 

Enri mengaku dalam prosesnya, tim penilai mendapatkan titipan PT Bandung Raya Indah Lestari (BRIL) sebagai salah satu peserta. Padahal perusahaan tersebut sama sekali tidak hadir saat diundang mempresentasikan teknologi pengelolaan sampah yang ditawarkannya. “Jadi kami tidak bisa merekomendasikan,” ujarnya. 

Belakangan, Pemerintah Kota Bandung malah menandatangani nota kesepahaman tentang rencana pengolahan sampah menjadi energi listrik dengan PT BRIL pada tanggal 21 September 2005. “Waktu itu memang ada 16 pengusul, diseleksi lalu menjadi 9 pengusul, selanjutnya menjadi 3 pengusul dan membentuk konsorsium PT BRIL,” kata Direktur Utama PD Kebersihan Cece Iskandar merujuk kesepakatan tersebut. 


Dada Rosada lantas menerbitkan Surat Keputusan Walikota Bandung No: 658.1/kep.010-BAPPEDA/2012 tentang Penetapan Badan Usaha Pemrakarsa dan Pemberian Kompensasi Dalam Rangka Rencana Kerjasama Pembangunan Infrastruktur PSBTRL (pengelolaan sampah berbasis teknologi ramah lingkungan) melalui Mekanisme Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha pada tanggal 3 Januari 2012. 

Surat keputusan ini guna melegitimasi masuknya dana anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kota Bandung untuk pembangunan infrastruktur pengelolaan sampah. Buntutnya, Pemerintah Kota Bandung harus mengadakan lelang. 

Enri mengaku tidak tahu sama sekali mengenai proses tersebut. Padahal, dia adalah salah seorang yang diminta memeriksa studi analisis mengenai dampak lingkungan terkait dampak pembangunan PLTSa oleh PT BRIL.

Proses lelang itu diikuti 18 dari 26 perusahaan yang mengambil dokumen prakualifikasi. Beberapa perusahaan yang ikut proses ini, antara lain, CTCI Corporation. LTD, PT Godang Tua Jaya, PT GS Engineering Construction, PT JFE Engineering Indonesia, PT Navigat Organic Energy Indonesia, PT Sound Environment Resources Co., Ltd., dan PT BRIL. 

Para peserta harus melewati proses penilaian administrasi, komposisi peserta, bisnis, keuangan, dan masalah teknis. Selepas itu muncul tiga perusahaan hasil prakualifikasi, masing-masing, Sound Environment Resources Co, Ltd., PT. BRIL, dan CTCI Corporation. 

Setelah melalui proses panjang, Pemerintah Kota Bandung akhirnya menetapkan konsorsium PT BRIL dan Hangzhou Boiler Group sebagai pemenang lelang. Penetapan itu tercantum dalam Surat Panitia Pengadaan Badan Usaha Nomor:95/PL-TPSBTRL/VII/2013 perihal Laporan Hasil Evaluasi, tentang usulan penetapan pemenang lelang. Surat tersebut muncul pada bulan Juli 2013. Tender proyek ini diumumkan pada tanggal 23 Juli 2013 lalu lewat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Terkait proses ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengendus adanya praktik persaingan usaha tidak sehat. “Kami sedang periksa. Masuknya dari proses tender. Tidak bisa mengeluarkan pernyataan, masih terlalu dini (untuk menyatakan pelanggaran),” kata Ketua KPPU, M. Nawir Messi di Bandung bulan Oktober lalu. 

KPPU juga sudah memanggil Wali Kota Bandung periode 2013-2018, Ridwan Kamil untuk dimintai keterangannya. “Dimintai keterangan dari jam 1 sampai 5 sore,” tambah Messi yang mengundang saksi-saksi ahli untuk melihat proses tender tersebut dari berbagai sudut pandang, termasuk soal penetapan harganya. 

Indikasi korupsi dalam lelang ini menguat setelah Wali Kota Bandung Dada Rosada yang menggelar proses lelang ini menjadi terpidana kasus suap hakim terkait penyalahgunaan dana bantuan sosial Kota Bandung di masa kepemimpinannya. 

Satu-satunya upaya yang memiliki peluang paling besar guna membatalkan pembangunan PLTSa adalah keputusan KPPU. Messi membenarkan hal itu. “Bisa saja kalau ditemukan persaingan usaha tidak sehat,” tegas Messi. 

Menyoal pilihan teknologi, Guru Besar Lingkungan Hidup dari Universitas Katolik Parahyangan Asep Warlan Yusuf mengatakan, Undang-Undang no 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah hanya mencantumkan pemrosesan akhir sampah bisa dilakukan dengan teknologi ramah lingkungan. “Tanpa dijelaskan apakah itu incinerator, sanitary landfill yang penting ramah lingkungan. Apapun itu harus ramah lingkungan,” kata Asep. 

Pemerintah Kota Bandung saat ini sudah memiliki tiga peraturan daerah yang membahas pengolahan sampah. Dalam Peraturan Daerah nomor 09 tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah sama sekali tidak menyinggung perihal PLTSa. Hal serupa terlihat dalam Peraturan Daerah Kota Bandung nomor 14 tahun 2010 tentang Belanja Jasa Pengolahan Sampah Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan Melalui Mekanisme Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Badan Usaha. 

Satu-satunya aturan yang mendukung PLTSa itu hanyalah Peraturan Daerah no 18 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung tahun 2011-2013. Dalam pasal 77 disebutkan Kota Bandung akan mewujudkan sistem jaringan energi salah satunya dengan membangun prasarana listrik yang bersumber dari energi alternatif sampah di Gedebage. 

“Jika kita telaah peraturan daerah yang ada menekankan pengelolaan sampah itu harus berbasis reduse, reuse, dan recycle. Sampah ke TPA (tempat pemrosesan akhir) harus sekecil mungkin,” kata Asep. 

Terkait adanya klausul pembangunan prasarana listrik yang bersumber dari energi alternatif sampah, Asep mengungkapkan, masyarakat bisa meminta wali kota untuk memperhatikan aspek dampak lingkungan yang mungkin timbul apabila PLTSa itu dibangun dan digunakan. 

“Sekarang memang masih belum terjadi, tapi bisa diminta untuk dibatalkan karena potensi kerugian yang mungin timbul. Jadi konsepnya mencegah terjadi kerugian yang lebih besar,” papar Asep. 


2 komentar:

  1. Satu kalimat untuk pengelolaan sampah di Indonesia adalah #TolakIncenerator dan kembali ke regulasi UU.18/2008 dan PP.81/2012 yg mengamanatkan pengelolaan #3R di sunber timbulan sampah.
    #TolakBakarSampah

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...