
Find out which Transformer you are at LiquidGeneration!
Jam setengah sebelas malam, telepon seluler bergetar...eh ada pesan singkat masuk dari seorang teman perempuan. emang kita berdua sering ngomong atau sms mau ketemu tapi kebanyakan gagal, saya bisa, eh dianya yang ga bisa. sebelumnya sempat makan bareng. tidak ada yang aneh, dia memang teman yang menyenangkan. Tapi malam itu dia bilang
"sori ya ga bs pergi ntn, padahal pgn"
saya balas "jgan atuh bisi bogoh"
"mana ada yang mau bogoh sm org gondrng yang sibuk ga jls. Ga bosn kerja spt skrg. sibugh mulu?"
Saya balas "ya mau gemana lg, sapa tau bisa nolong org lebih bnyak lewat kerjaan skarang"
"Kalau mau nolong org banyak mah sekalian aja jd pendeta ga usah jd wrtawn"
.....ups, selesailah sudah kegiatan saling balas membalas pesan singkat malam itu.
hmm, jadi teringat cerita seorang teman seprofesi yang sudah bobogohan dan bertemu dengan calon mertua. sehabis pertemuan itu sang teman ngaku kalau calon mertuanya (amin...ku urang didoakeun) bertanya pada anaknya. "Apa si aa ga mau cari kerja laen?"
hahaha...ternyata baru tau rasanya bingung berkomentar soal pekerjaan, terlebih saat disarankan menjadi pendeta...
Piano Concert Kanisius Kevin Suherman and The Orchestra
Hembusan angin terasa menusuk malam itu. Lepas kumandang adzan magrib di lembah Babakan Siliwangi, Bandung, kilauan lampu berwarna kuning mulai menyoroti tempat parkir Sasana Budaya Ganesha (Sabuga). Berpuluh-puluh mobil dan motor mencari tempatnya masing-masing. Suara-suara penumpang yang turun dari kendaraannya lirih terdengar di depan pintu gedung itu.
Mereka semua datang dengan satu tujuan yang sama. Untuk menyaksikan perjalanan Kanisius Kevin Suherman mengukirkan sejarahnya dalam perkembangan musik klasik di Indonesia. Minggu, 17 Juli 2007 lalu, merupakan pertama kalinya seorang anak yang masih berusia 12 tahun menggelar konser piano solo dengan iringan orkestra.
Siswa kelas 1 SMP Bina Bakti program Martius ini membuka konsernya dengan membawakan komposisi Schumann Variatons on the Name "Abegg" opus 1. Kevin yang tampil dengan mengenakan setelan tuxedo putih, dasi abu-abu, dan celana panjang hitam ini memainkan jemarinya dengan tenang.
Kenangan Robert Schumann yang menyenangkan dan sekaligus menyedihkan tentang temannya, Meta Abegg mampu ditampilkan dengan baik oleh Kevin. Sesekali tangan kanan Kevin menyilang di atas tangan kirinya, ketika ia memainkan komposisi yang diciptakan oleh Schumann antara tahun 1829 dan 1830 itu.
Usai komposisi tersebut, dia membawakan Premiere Ballade F. Chopin opus 23. Kevin mengawali karya komponis Polandia ini dengan tempo lambat, membuat pendengarnya merasakan nuansa kesepian. Kesan itu pula yang membuat sutradara Roman Polanski memasukkan komposisi ini dalam filmnya yang berjudul The Pianist.
Dalam film itu, seorang pianis bernama Władysław Szpilman memainkan karya pertama Frederic Chopin untuk piano solo. Szpilman yang dikejar-kejar tentara Jerman saat itu melarikan diri dan menemukan sebuah piano tua dalam rumah sakit yang sudah hancur akibat perang. Penderitaan yang dialaminya, dia ekspresikan lewat piano tersebut.
Komposisi ini sendiri dibangun dalam dua tema, yang mulanya merupakan pembukaan dalam tujuh bar, dan bagian kedua sebanyak 69 bar. Kedua bagian ini sendiri membutuhkan teknik yang tidak enteng. Emosi pemainnya harus dapat dijaga karena ada beberapa tempo yang harus dimainkan beriringan dalam waktu dekat.
Karya pertama dari empat bagian untuk solo piano dari composer Polandia, Frederic Chopin ini, dia bawakan sekitar sembilan menit. Karya klasik yang diciptakan antara tahun 1835-1836 ketika Chopin memasuki Paris ini memang tidak usang oleh waktu. Permainan Kevin membuktikan hal itu.
Tidak hanya karya-karya komposer dunia yang dia tampilkan. Lagu Es Lilin yang diaransemen olehnya pun dia bawakan sebagai penutup sesi pertama konsernya. Nada mendayu-dayu yang biasanya terdengar kala lagu daerah Jawa Barat ini dimainkan dengan alat musik tradisional juga terasa dalam dentingan piano Kevin.
Kevin akhirnya berdiri dan meninggalkan pianonya setelah kira-kira lima menit dia memainkan karya Mursih, yang sering diperdengarkan di hajatan pernikahan terutama orang Sunda. Selesailah bagian pertama dari konser tersebut.
Memasuki bagian kedua, pianis cilik itu tidak sendiri. Ada 44 anggota orkestra dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang sudah menantinya. Masing-masing memegang instrument berbeda seperti, biola, kontra bas, flute, obo, klarinet, dan bas drum. “Semoga ini bukan penampilan Kevin yang terakhir dengan orkestra,” ungkap Prof. Andre de Quadros, seorang komposer, dirigen, pendidik, spesialis musik klasik dari Boston University, Amerika, sekaligus konduktor malam itu.
Penampilan Kevin pun sedikit berbeda, dia terlihat lebih dewasa dibandingkan anak-anak seusianya dengan jas hitam di badannya. Dia duduk di bagian tengah panggung dengan deretan pemain orkestra yang mengelilinginya dalam bentuk setengah lingkaran.
Kesan suram dan kelam mewarnai konser di bagian kedua yang dibuka oleh komposisi Chopin Piano Concerto no 1 in E minor, opus 11. Kevin harus menanti sekitar dua menit sebelum akhirnya dia bisa menunjukkan ekspresinya di atas tuts piano.
Kondisi ini mengingatkan kita tentang komposisi yang dibuat oleh Chopin pada tahun 1830. Karya tersebut dibawakannya pertama kali pada 11 Oktober 1830 di Warsawa, sebagai tanda perpisahan sebelum dia meninggalkan Polandia. Ekspresi sekaligus gairah Chopin yang mengucapkan perpisahan cukup terwakilkan oleh perpindahan dan tekanan jemari Kevin. Penonton dibuai romansa Chopin tentang Polandia dengan segala daya tariknya.
Sedikitnya permainan piano dalam karya ini bisa kita artikan bahwa Chopin membuat latar orkestra dengan sangat hati-hati dan disengaja untuk memasukkan suara piano. Hal ini kontras dengan kerumitan harmoninya. Permainan Kevin sangat mumpuni untuk membawakan komposisi bertipe Allegro-Maestoso ( ceria dan cepat tapi elegan), Romance–Larghetto (pelan-pelan) dan Rondo-Vivace (biasanya agak cepat) ini. Tepukan tangan penonton pun membahana usai dia membawakan komposisi yang berdurasi sekitar 25 menit tersebut.
Pengakuan Andre akan penguasaan teknik dari Kevin yang sangat kuat dan stabil di usianya terbukti saat dia membawakan komposisi The Piano Concerto No. 3 in C minor, Opus. 37. Karya Ludwig van Beethoven tahun 1800 ini dibawakannya tanpa cacat.
Karya yang terbagi ke dalam tiga movement, Allegro con brio (ceria,cepat, dengan tenaga), Largo (pelan), dan Rondo: Molto allegro (sangat cepat) itu, dia bawakan dengan tenang.
Sesekali, suara pianonya bergantian terdengar dengan iringan orkestra atau bisa disebut Abacada. Bagian refrain diselingi dengan beberapa tema yang kontras.
Di bagian pertama (allegro), kira-kira dua setengah menit awal hanya ada pengenalan orkestra tanpa ada piano. Suara piano masuk dengan skala C minor yang
kuat. Coda (akhir)-nya dramatis, yang berawal dari getaran yang sangat pelan yang terus menghasilkan klimaks yang megah tapi juga gelap.
Masuk bagian kedua (largo) dengan E mayor, Kevin membukanya dengan melodi yang sangat terpuji untuk piano solo. Pada bagian akhirnya, dimulai dengan C minor dan disudahi dengan tempo cepat di C major.
Beethoven memainkan komposisi ini 5 april 1803 dengan hanya berlandaskan ingatannya. Demikian juga Kevin. Malam itu, seluruh permainannya dilakukan tanpa bantuan partitur (not balok). “Dia punya dorongan dan gairah dalam dirinya,” ujar Andre mengomentari penampilan Kevin.
Hal senada disampaikan oleh Pully (32) yang rela membayar Rp 100 ribu untuk tiket konser itu. “Luar biasa untuk anak seusianya. Saya baru melihat dia sekarang. Saya kagum,” paparnya.
Sayangnya, lingkungan di Indonesia kurang mendukung untuk perkembangan musikalitas Kevin. Nino Aryo Wijaya (21), pemain clarinet yang mengiringi Kevin mengatakan kemampuan tersebut harus diasah di luar negeri. Karena, sambung dia, di Indonesia kekurangan pengajar untuk musik klasik.
“Permainan dia luar biasa untuk ukuran orang Indonesia, makanya sayang kalau tidak belajar ke luar negeri. Tidak sembarangan orang bisa memainkan karya-karya itu,” tutur mahasiswa jurusan musik pertunjukkan ISI Yogyakarta yang pernah mengiringi pemusik dunia seperti Maxim. [Adi Marsiela]
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Penggalan musikalisasi puisi Hujan di Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono yang dinyanyikan Dua Ibu (Reda dan Tatyana) terdengar sayup-sayup di amphitheater Selasar Sunaryo Art Space, Sabtu (23/6) malam lalu. Bulan pun menampakkan dirinya tanpa malu meski usianya baru mencapai setengah purnama.
Hawa dingin
Siapa sangka, meski hanya dengan mie kocok, makan malam itu menjadi sebuah pengalaman berbeda. Yayasan Lontar yang berusia 20 tahun pada 28 Oktober 2007 mendatang memutarkan Rendra-Si Burung Merak, salah satu film dari On The Record Tokoh-Tokoh Sastra Indonesia yang memang dibuat untuk melengkapi kurangnya dokumentasi para tokoh sastra di Indonesia.
Jadilah, kami makan sembari menyaksikan lembaran hidup Willibrordus Surendra Broto Rendra, pendiri Bengkel Teater,
Selepas magrib, acara di
“Cerpen ini saya pilih karena menarik dan anak saya juga mau disunat bulan depan,” katanya sebelum membacakan cerita itu.
Kemampuan Iman Soleh membacakan cerita ini sangat mumpuni. Keyakinan seorang anak dari Blora tentang sunat sebagai suatu proses pengiktirafan untuk menjadi seorang jejaka dan layak kawin terwakilkan di dalamnya.
Intonasi dan mimik Iman juga mengundang tawa, terlebih saat dia sampai pada bagian sang anak menanti giliran disunat. Rasa takut akibat mendengarkan temannya yang sudah lebih dulu dipotong, dia sampaikan dengan matanya yang melotot sembari merapatkan kedua kakinya ke arah paha. Geli sekaligus miris.
Keyakinan sang anak yang goyah ketika mengetahui dirinya belum menjadi seorang penganut Islam yang sejati juga terpapar di bagian akhir cerita. Suara lirihnya mewakili pertanyaan sang anak kepada bapaknya yang tidak juga mampu berbuat haji, menaiki kapal ke negeri Arab. Pandangannya yang kosong seolah-olah mengatakan bagaimana harapan sang anak hilang harapan untuk menjadi orang Islam sejati.
Menjadi saksi pembacaan cerita pendek itu memang cukup mengasyikan. Apalagi jika para pengunjung sempat menyaksikan pemutaran film tentang
Setidaknya kita bisa mengetahui kalau ternyata Selasih, perempuan penyair pertama yang menulis puisi dan novel dalam bahasa Indonesia dan sangat menjunjung tinggi emansipasi perempuan ternyata tidak pernah memasak seumur hidupnya. “Ibu hanya tahu teori tapi tidak tahu praktek,” kata penulis novel Kalau Tak Untung ini menuturkan omongan anak-anaknya.
Bagaimana pula Pramoedya Ananta Toer yang rendah diri semenjak kecil bisa menjadi seseorang yang sangat berani dan tegas dalam mengambil sikap, saya dapatkan dari pemutaran film itu. Menurut Pram, panggilan akrabnya, perubahan itu dia dapatkan ketika usianya mencapai 27 tahun.
Saat itu, kata Pram, dirinya tengah berada di Belanda dan jatuh cinta pada seorang noni Belanda. Singkat cerita, dua anak manusia itu memadu kasih sampai akhirnya berhubungan sex. “Sejak saat itu saya merasa sederajat dengan siapapun. Terima kasih kepada pacar Belanda saya,” ungkap Pram di film yang disutradari oleh Sriketon M itu.
Kembali ke amphitheater. Usai pembacaan cerita pendek, berturut-turut hadir Wedang Jahe, Dedi Koral, dan deKasta. Selain Dedi, adalah kelompok musikalisasi puisi dari Universitas Pendidikan
Puisi karya Sutan Takdir Alisyahbana, H.B. Yassin, serta Makmur Saadi dibawakan dengan irama keroncong oleh Wedang Jahe. Cara baru menikmati puisi. Dedi Koral menambah keriuhan pengunjung. Pasalnya, beres dia membacakan puisi tanpa text, turun satu per satu pengunjung yang ikut menyumbangkan puisinya secara spontan.
Acara yang diawali oleh diskusi sastra “Yang Muda Yang Bersastra: Sastra di Mata Anak Muda” pada Jumat (22/6) itu ditutup oleh penampilan deKasta yang terdiri dari seorang pria dan tiga perempuan.
Usaha mereka membawakan puisi dengan
Satu hal yang sebenarnya sangat dinantikan oleh para pengunjung adalah musikalisasi puisi karya Sapardi Djoko Damono di tengah-tengah acara itu. Tapi sayang, sampai akhir acara yang judulnya menyerupai sebuah puisi karya Sapardi, penantian itu tidak membuahkan hasil. Untung saja masih terdengar sayup-sayup suara Dua Ibu dari pengeras suara.
…tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu.