Minggu, 22 Februari 2015

Sengkarut Sampah Kota Kembang-bagian 3

Pembakaran Sampah Meracuni Warga

Kamis, 29 November 2007, aparat Pemerintah Kota Bandung mengukur dan mematok lahan untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di Kelurahan Rancanumpang, Gedebage, Bandung. Lokasinya di samping Komplek Griya Cempaka Arum. Pengukuran dan pematokan itu berjalan lancar tanpa gangguan selama dua hari. 

Pada hari terakhir, saat malam hari, warga mencabuti dan membakar patok-patok tersebut. Dwi Retnastuti, sekarang 45 tahun, masih ingat kejadian malam itu. “Itu puncak-puncaknya menolak PLTSa. Beberapa warga dipanggil polisi dengan tuduhan mencuri patok,” katanya saat berbincang dengan SP akhir Oktober lalu. 

Ibu dari dua anak ini juga sempat menggalang kaum ibu dari sekitar kompleknya untuk membentangkan spanduk penolakan hingga menggelar doa bersama agar proyek itu dibatalkan. Aksi serupa mereka lakukan pada hari Rabu, tanggal 21 Mei 2008 saat Wali Kota Bandung Dada Rosada melakukan prosesi peletakan batu pertama pembangunan sarana olahraga Gedebage. 

Rena, demikian dia biasa disapa, yang saat aksi masih menggendong Rafi Taftanzani, putra bungsunya sempat dibawa ke kantor polisi akibat aksi ini. “Saya ditanya-tanya maksud dan tujuannya apa? Ya sudah jelas, menolak PLTSa,” kata dia. 

Perempuan yang aktif sebagai Ketua Forum Kader Lingkungan ini percaya pengelolaan sampah tidak mesti dengan cara dibakar lantas menghasilkan energi listrik. “Saya juga tidak percaya teknologinya aman,” tegas Rena.

Pemerintah Kota Bandung sebelumnya sudah menetapkan Konsorsium PT Bandung Raya Indah Lestari (BRIL) dengan Hangzhou Boiler Group sebagai pemenang lelang pengelolaan sampah Kota Bandung. Konsorsium ini menawarkan teknologi pembakaran sampah yang bisa menghasilkan energi listrik sebesar 7 megawatt. 

Bian Jun, insinyur Hangzou Boiler Group memaparkan, teknologi pengelolaan sampah yang mereka tawarkan bisa menangani sampah yang tidak terpilah dengan baik. Pembakaran sampah mereka akan menggunakan panas 850 derajat celcius dengan harapan menghasilkan energi kalor yang cukup untuk diubah menjadi energi listrik.

“Kami sudah memasok peralatan pembakaran sampah untuk 56 instalasi pembangkit listrik tenaga sampah di Tiongkok. Dari jumlah itu, sekitar 40 instalasi sudah beroperasi,” ungkap Jun saat memaparkan teknologinya di hadapan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, bulan Oktober 2014 lalu.

Komposisi sampah di Kota Bandung sekitar 70 persen merupakan sampah organik atau sampah basah. Karakter sampah basah itu tingkat kelembabannya tinggi serta nilai kalorinya rendah. Apabila energi kalornya tidak dijaga, maka target listrik yang dihasilkan tidak akan tercapai. 

Pada sisi lain, apabila suhu pembakaran lebih rendah dari 800 derajat celcius, maka sampah-sampah itu malah akan menimbulkan dioksin, sekelompok senyawa yang bersifat racun dan diketahui secara nyata sebagai faktor pemicu kanker. Apabila dioksin itu sudah lepas ke udara, maka senyawa tersebut bisa berpindah tempat tanpa ada batasannya. 

The US Environmental Protection Agency (EPA) pada tahun 1994 menyatakan dioksin merupakan senyawa organik paling beracun yang pernah manusia ketahui. Pengaruhnya sangat negatif terhadap resiko kesehatan bahkan dengan dosis yang sangat kecil yaitu 10-15 ppt (part per trillion), yang terakumulasi selama hidup. Berdasarkan hal tersebut, EPA menetapkan ambang batas dioksin yang diizinkan dalam tubuh manusia adalah sekitar 0,006 pikogram (seper juta-juta gram) per kilogram berat badan, atau sekitar 0,40  pikogram untuk seorang dewasa.

International Agency for Research on Cancer pada World Health Organization yang melakukan evaluasi dampak dioksin pada manusia dan hewan sejak tahun 1997 hingga 2007 membuat peringatan akan efek samping senyawa tersebut. Dioksin berbahaya bagi kesehatan tubuh. 

Yuyun Ismawati, anggota Global Alliance on Incinerator Alternatives menyoroti kemungkinan terjadinya pengelolaan pembakaran sampah yang tidak cermat di Indonesia dalam penggunaan insenerator tersebut. Menurut dia, Pemerintah Kota Bandung jangan membandingkan penerapan insenerator di Singapura dan Jepang. 

“Kita sendiri belum punya aturan-aturan baku mutu apa yang harus diikuti. Kalau mau buat insenerator di Bandung, mau memantau udaranya bagaimana? Baku muku mana yang harus diikuti? Kementerian Lingkungan Hidup juga belum ada panduan atau baku mutu dari insenerator sampah, yang ada baru industri dan batu bara. Padahal Keluaran abu (pembakaran) itu masuk kategori (limbah) B3 (bahan berbahaya dan beracun),” tegas Yuyun. 

Pengukuran kadar dioksin, sambung Yuyun, harus berjalan 24 jam setiap hari tanpa terputus. “Karena bakar sampah juga setiap hari,” urai Yuyun sembari menambahkan laboratorium untuk memeriksa kadar dioksin itu belum ada di Indonesia. 

Menyoal kekhawatiran pencemaran, Bian Jun menyatakan teknologi yang digunakan Hangzhou Boiler menjamin tidak akan ada pencemaran. Mereka akan memasang penyaring sehingga abu terbang dan gas buang sisa pembakaran benar-benar bebas polusi. “Sampah di Tiongkok dan Indonesia itu serupa, kami sudah bisa mengatasinya,” kata Jun lagi. 

Menariknya, biaya pengolahan sampah yang mereka tawarkan ini lebih rendah dari rata-rata biaya pengolahan sampah di negara-negara lain yang menggunakan insenerator. PT BRIL bersama Hangzhou Boiler Group dalam dokumen penawaran lelangnya mematok tipping fee atau biaya pengolahan sampah sebesar Rp350 ribu per ton. 

Ketua Kelompok Keahlian Pengelolaan Udara dan Limbah Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB), Enri Damanhuri mempertanyakan hal tersebut. “Rata-rata tipping fee untuk insenerator di luar negeri itu minimum 70 dolar Amerika untuk setiap tonnya. Kalau ini kenapa bisa lebih murah?” ungkap Enri yang hadir dalam presentasi Hangzhou Boiler Group di Aston Primera Hotel, Bandung. 

Enri secara pribadi tidak menolak penggunaan teknologi insenerator untuk pengelolaan sampah di Kota Bandung. “Ini ibarat kita mau menuju suatu tempat. Kita mau pakai Bajaj atau mau pakai Mercedez. Sama-sama sarana transportasi, tinggal mau pilih yang mana? Kalau saya pilih yang benar-benar bagus,” kata Enri. 

Sebagai warga yang tinggal berdekatan dengan lokasi calon PLTSa, Rena benar-benar berharap Pemerintah Kota Bandung mau memperhatikan kerisauan warga. “Penolakan ini tetap akan saya lakukan sampai batas maksimal yang bisa saya lakukan. Karena masih ada cara lain untuk mengelola sampah dengan baik,” kata Rena yang kerap didiamkan suaminya jika sudah pulang malam selepas konsolidasi dengan rekan-rekannya terkait penolakan PLTSa. 



4 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Satu kalimat untuk pengelolaan sampah di Indonesia adalah #TolakIncenerator dan kembali ke regulasi UU.18/2008 dan PP.81/2012 yg mengamanatkan pengelolaan #3R di sunber timbulan sampah.
    #TolakBakarSampah

    BalasHapus
  3. Satu kalimat untuk pengelolaan sampah di Indonesia adalah #TolakIncenerator dan kembali ke regulasi UU.18/2008 dan PP.81/2012 yg mengamanatkan pengelolaan #3R di sunber timbulan sampah.
    #TolakBakarSampah

    BalasHapus
  4. Satu kalimat untuk pengelolaan sampah di Indonesia adalah #TolakIncenerator dan kembali ke regulasi UU.18/2008 dan PP.81/2012 yg mengamanatkan pengelolaan #3R di sunber timbulan sampah.

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...