Kamis, 17 Mei 2007

Rendevouz at Dagostraat

Rendevouz at Dagostraat
By: Arya Dipa

Perempuan itu terlihat asyik membolak-balik halaman majalah yang dipegangnya. Ia tampak tidak terganggu oleh suasana kepadatan Kota Bandung, Jumat (11/5) petang. Majalah yang dipinjamnya dari perpustakaan café Prefere 72 itu, dia pakai untuk menghabiskan waktunya menikmati suasana santai di sore hari.

Perempuan bernama lengkap, Cut Nany, 22, itu tidak sendirian. Dia ditemani oleh Bhakti P. Rahardjo, 29, yang sedang menyeruput rokoknya dalam-dalam ketika saya menghampiri keduanya. Bhakti yang berprofesi sebagai konsulan interior design rumah ini mengaku sering menghabiskan waktunya di sana. Mulai dari sekedar ngobrol dengan rekannya sampai membuat perjanjian bisnis dengan partnernya.

Mereka juga memilih tempat duduk di bagian belakang café yang baru berdiri enam bulan ke belakangan ini. Alasannya tidak lain, mencari kenyamanan. Memang café yang satu ini menjadi sebuah tempat alternatif baru bagi mereka yang ingin nongkrong di sekitar Jalan Dago, Bandung.

Jalanan yang tadinya berupa jalan setapak saja semenjak tahun 1810 ini berkembang menjadi tempat ngobrol, bisa serius atau ngalor-ngidul, ngegosip, menyebar isu nggak penting, membahas makanan dan minuman, membicarakan kekonyolan, politik, politikus ataupun pakar sampai sekarang.

Sudarsono Katam, 61, penulis sekaligus kolektor buku menuturkan dirinya sudah bermain sepeda di jalanan itu semenjak tahun 1952. “Tempat itu nyaman,” kata dia. Memasuki tahun 1960-an, mulai ada terlihat anak-anak muda yang nongkrong di bagian selatan jalanan tersebut.

Sepuluh tahun berlanjut, jalanan yang tadinya hanya untuk nongkrong saja berubah menjadi sebuah jalanan yang memiliki daya tarik tersendiri. Mulai dari tempat makan roti bakar hingga perempuan, ada di sana. “Istilahnya kalau dulu itu ‘gong-li’ (bagong liar-babi liar),” terang Katam merujuk pada istilah perempuan yang suka mangkal di sana.

Pertambahan penduduk dan juga pertumbuhan ekonomi, paparnya, mulai terasa memasuki kawasan pemukiman elit di bagian utara Bandung ini pada awal tahun 1990. Hal itu ditandai dengan mulai maraknya pertokoan. Padahal awalnya, Jalan Dago hanya diperuntukan untuk rumah tinggal dan villa para tuan dan noni asal Belanda.

Merunut pada situs resmi Bandung Heritage Society, pembangunan di sana sudah dimulai pada tahun 1910. Ini seiring dengan keinginan pemerintah Gemeente (kotamadya) Bandung untuk  memperluas wilayah administrasinya ke arah utara. Orang merambah kebun dan sawah, membangun jalan Dago dan Cipaganti di Bandung Utara. Pembangunan dan pengerasan jalan Dago sampai ke hutan Pakar bersamaan dengan usaha Gemeente membangun reservoir air minum di Bukit Dago.


Katam yang menulis buku Bandung Kilas Peristiwa di Mata Filatelis Sebuah Wisata Sejarah mengungkapkan jalanan itu pada awalnya hanya menghubungkan daerah selatan Bandung, Karapyak (Dayeuh Kolot) dengan Mandalawangi, Sumedang Larang di sebelah timur Kota Bandung sekarang.

“Jalanan itu digunakan untuk jalur pengangkutan hasil bumi dari daerah Bandung utara ke gudang yang sekarang menjadi kantor Walikota Bandung,” imbuh dia seraya menambahkan pada jaman dahulu Kota Bandung dikelilingi oleh berbagai perkebunan seperti kopi, teh, dan kina.

Seiring dengan semakin banyaknya barang yang perlu dibawa, jalanan yang sampai sekarang masih dipenuhi dengan pohon damar di kiri kanannya itu, diperbesar sehingga mampu dilewati pedati. “Semenjak tahun 1910, kawasan itu digunakan untuk tempat tinggal orang Belanda.”

Bukti nyata kuda dan pedati pernah menjadi pengguna jalan itu masih bisa dilihat di depan Rumah Sakit Santo Borromeus, dekat perempatan Jalan Dago-Jalan Ganesha, depan SMAK Dago, dan SMAN 1.

Pada jaman penjajahan Belanda, jalanan ini juga digunakan sebagai lalu lintas pasukan kavaleri dari mulai daerah Van Houtenweg (Taman Sari bawah)-Huygensweg (Taman Sari)- sampai ke Dago. Bahkan, pada tahun 1960, jalanan itu sempat dibagi menjadi jalur kendaraan umum dan jalur kuda di sisi paling kiri dan kanannya. Bagian kiri untuk menuju ke jalur utara dan sisi kanannya untuk menuju ke selatan.

Penamaan Dago pada jalan itu juga menyimpan berbagai pertanyaan. Melansir pada tulisan ‘kuncen’ Bandung, Haryoto Kunto di buku ‘Semerbak Bunga di Bandung Raya’, nama jalan itu berasal dari bahasa Sunda.

Menurut dia, pada pertengahan abab ke-19, di antara Simpang Dago (sekarang) dengan kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) merupakan daerah hutan belukar yang sepi. Jalanannya belum bisa dilalui oleh kendaraan. Makanya, penduduk yang pergi pagi-pagi buta ke pasar biasanya saling menunggu satu sama lain agar dapat pergi dalam bentuk rombongan. Mereka juga melengkapi rombongannya dengan lelali yang bersenjata parang dan tombak untuk mengawalnya dari begal (penyamun). Kebiasaan menunggu itu dalam bahasa Sunda biasa disebut padago-dago.

Kebiasaan nongkrong dan berkumpul pada tahun 1970, kata Katam, menjadi embrio yang menunjukkan eksistensi Jalan Dago di Bandung. “Kebiasaan berkumpul di sekitar jalanan itu sampai sekarang masih terasa.”

Penamaan resmi jalan itu pun berubah menjadi Ir. H. Juanda pada tahun yang sama. Hal ini dilakukan untuk mengenang jasa-jasanya dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Setiap Sabtu malam, ribuan orang tumpah-ruah memadati pinggir jalan Dago ini. Kebanyakan merupakan anak baru gede. Mereka berkumpul di sana untuk menikmati makanan di cafe tenda pinggir jalan. Sementara puluhan klub pecinta kendaraan baik motor dan mobil memiliki tempat-tempat favoritnya sendiri. Bahkan kadang-kadang kita bisa menikmati life music gratis dari berbagai aliran musik mulai dari brass-band, pop, hingga musik 'underground' yang dimainkan di pinggir jalan.

Kawasan Dago memang dikenal sebagai kawasan paling 'hip' di Bandung. Setiap malam Minggu terutama pada awal-awal bulan orang berjubel memenuhi trotoar dan bahkan badan jalan untuk sekedar menghirup udara malam.

“Bandung itu Dago, Dago itu Bandung,” tegas Cut Nany mendeskripsikan pandangannya tentang jalanan itu.

Sampai sekarang, Jalan Dago bagi Cut Nany, yang tengah menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran merupakan jantung utama dari Kota Bandung. Perempuan asal Jakarta itu mengaku setiap kali kebingungan menentukan arah, maka dia akan mencari angkutan kota yang menuju ke Dago. “Kalau sudah di Dago, jadi mudah mau ke mana-mana,” terangnya.

Bhakti sendiri memiliki impian yang berbeda. Menurut dia seharusnya, jalanan itu bisa menjadi sebuah kawasan pedestrian mall.

“Mobil tidak boleh masuk kawasan itu. Semuanya berjalan kaki. Jadi café pinggir jalan yang sekarang mulai berkurang jumlahnya menjadi pertokoan, masih bisa ada. Kalau kawasan Braga itu sebagai kawasan heritage, Dago menjadi tempat belanja para pejalan kaki,” paparnya.

Memang kondisi Dago berbeda dengan Braga, yang semenjak awal pembangunannya sudah menjadi tempat berkumpul bos-bos perkebunan untuk menghabiskan uangnya. Berdasarkan Data Bangunan Bersejarah Kota Bandung tahun 1997 milik Bandung Society Heritage, ada sekitar 25 bangunan bersejarah yang dilindungi di jalan Dago itu. Seluruhnya termasuk klasifikasi A, yang berarti bangunan tersebut sangat istimewa dan tidak boleh diubah sama sekali. “Memang seharusnya Dago juga menjadi tempat belajar sejarah,” imbuh Bhakti.  






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...