Selasa, 24 Februari 2015

Sengkarut Sampah Kota Kembang-bagian 5-Habis

Solusi Terbaik Kurangi dan Olah Sampah dari Sumbernya

Senin, 27 Oktober 2014 lalu, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil baru saja meresmikan biodigester dan air siap minum di Gang Simpang, tepatnya dekat kantor RW07, Kelurahan Babakan Surabaya, Kecamatan Kiaracondong, Bandung. Biodigester berskala kelurahan itu mampu mengolah sampah organik, sejenis sayur-sayuran dan sisa makanan menjadi gas metan.

Saat peresmian, wali kota yang berlatar belakang arsitek profesional ini sempat menyaksikan ibu-ibu yang memasak memakai gas metan tersebut. “Alhamdulillah peresmian ini sebagai masa depan Kota Bandung, di mana sampah dan air hujan dapat dimanfaatkan,” kata Ridwan usai peresmian.

Biodigester yang bisa menampung sampah hingga 20 kubik ini rencananya bakal dibuat di 151 kelurahan di seluruh wilayah kota. Harapannya, masyarakat bisa mengelola sampah semenjak dari sumbernya. Sampah yang dimasukkan ke dalam kubah, berbentuk setengah bola di bagian atasnya ini, akan menghasilkan gas metan yang bisa dipakai untuk memasak atau energi listrik.

Wakil Wali Kota Bandung Oded M. Dahnial menyatakan pihaknya sudah menganggarkan dana Rp6 miliar di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan 2014 untuk pengadaan biodigester berkapasitas 20 ton per hari tersebut. Harapannya, alat pengolah sampah itu bisa disebar di setiap kecamatan.

Selain itu, sambung dia, pihaknya akan membagikan biodigester yang lebih kecil  dengan harga Rp10 juta hingga Rp20 juta per unit. Alat-alat tersebut akan disebar ke 9.691 satuan rumah tangga di Bandung. Harapannya, masyarakat bisa melakukan pengolahan sampah organik sejak dari tingkat rumah tangga.

Upaya ini merupakan salah satu alternatif untuk mengelola sampah di Bandung. Namun, pendekatan tersebut perlu dipikirkan keberlanjutannya.

Saat SP melihat langsung biodigester di Gang Simpang, dua hari setelah peresmian oleh wali kota, tidak ada kegiatan pemilahan apalagi pencacahan sampah organik di sana. Sambungan pipa gas yang sebelumnya dipakai untuk bahan bakar memasak tergantung. Tidak ada lagi sambungan ke kompor untuk ibu-ibu memasak apalagi ke rumah warga.

Ketua RW 07, Kelurahan Babakan Surabaya, Iwan Setiawan, 47 tahun, mengatakan, fasilitas biodigester yang diberi cuma-cuma oleh Dinas Tata Ruang Cipta Karya Kota Bandung itu memang belum dimanfaatkan secara maksimal. “Selain itu belum ada nilai ekonomisnya,” kata Iwan.

Sederhananya, ungkap Iwan, selama biodigester belum bisa memberikan nilai tambah ekonomi buat operator atau orang yang mengelolanya, maka fasilitas itu tidak akan digunakan secara maksimal oleh masyarakat. “Mending mengerjakan hal lain yang jelas ada uangnya buat menutupi kebutuhan sehari-hari,” kata Iwan sembari menambahkan saat ini ada dua operator di biodigester tersebut.

Gas metan yang keluar dari biodigester itu memang bisa untuk menyalakan genset berdaya 2.000 watt. Namun sebagian besar dayanya digunakan untuk mengoperasikan biodigester. “Sementara buat gas belum optimal karena tidak tersambung langsung ke warga. Seandainya tersambung juga hanya bisa beberapa rumah saja. Mau ada nilai ekonomi dari mana?” ungkap Iwan lagi.

Beda lubuk beda pula ikannya. Beda lokasi biodigester, beda pula hasilnya. Salah satu biodigester yang sudah berjalan pengelolaan sampahnya ada di RW 11 Kelurahan Cibangkong, Kecamatan Batununggal. Lokasinya tidak jauh dari Trans Studio Mal.

Dewi Kusmianti, 39 tahun, pengelola di sana mengungkapkan, pengolahan sampah organik untuk menjadi pupuk bisa berjalan dengan baik di sana. Namun untuk pemanfaatan gasnya, perlu ada perbaikan. “Biodigester ini sudah ada sejak tahun 2010. Pemberian CSR dari bank,” kata Dewi.

Keberadaan biodigester itu, sambung Dewi, bisa menampung sampah organik untuk kebutuhan satu RW atau 824 kepala keluarga. Setiap hari bisa terkumpul minimal 150 kilogram sampah organik di sana.

Setiap hari ada dua petugas yang berkeliling mengambil dan kemudian mengolah sampah tersebut. Mereka dibayar Rp475 ribu per bulan. Uang gaji mereka berasal dari iuran warga. Setiap rumah tangga wajib membayar Rp2 ribu setiap bulan. Apabila memiliki sambungan listrik harus membayar tambahan Rp3 ribu untuk retribusi sampah. “Mereka berdua bisa dapat uang tambahan dari sampah-sampah non organik seperti kemasan air mineral,” ujar Dewi yang memberikan pupuk cair hasil olahan biodigester secara cuma-cuma kepada yang membutuhkan.

Upaya paling penting dari kegiatan ini adalah memilah sampah sejak dari rumah. Indriyani Rachman, seorang mahasiswa program PhD di Course of Environment and Resources Systems di Graduate School of Environmental Engineering, The University of Kitakyushu, Jepang menyatakan, konsep pemilahan sampah serupa berlangsung di kota tempat dia belajar.

Meski harus berakhir di insenerator, sambung Indriyani, sampah dari masyarakat itu hampir 90 persen bisa didaur ulang. “Tidak musti berakhir di pembakaran. Di beberapa negara lain , ada yang menggunakan controlled landfill juga. Tentunya dengan kedisiplin nan tinggi,” kata Indriyani lewat surat elektroniknya.

Masyarakat di Kitakyushu, sambung Indriyani, awalnya memang tidak memiliki kesadaran tentang lingkungan. Kesadaran bermula dari para ibu rumah tangga yang merasa polusi udara serta air di kotanya memburuk sejak pendirian pabrik baja pada tahun 1901.

Berbekal kekhawatiran terhadap kesehatan suami dan anak-anaknya, para ibu-ibu di sana mendesak pemerintah dan pemilik pabrik untuk memperbaiki kondisi tersebut. Setelah 30 tahun berbenah, Kota Kitakyushu berubah menjadi bersih dan memiliki sarana pengelolaan limbah dan sampah yang sangat maju. Namun, sambung Indriyani, inti dari perubahan itu berawal dari tanggungjawab masyarakat untuk memelihara lingkungannya.

Saat ini, pengolahan sampah di sana diawali dengan memilah sampah organik, plastik kemasan, botol plastik, dan sampah kaca serta kaleng. Setiap jenis sampah itu diangkut dalam waktu yang berbeda. Sementara untuk buku, majalah, dan koran bekas disetor ke pusat pembelajaran kelurahan atau dikumpulkan di taman dekat rumah, seminggu sekali pada hari Sabtu.

Untuk pengolahan sampah anorganik, pemerintah menggandeng 27 jenis pabrik yang berbeda-beda. Semuanya dimiliki swasta namun tetap dikontrol pemerintah. Konsep ini disebut ecotown.

Menyoal penggunaan insenerator atau tungku pembakaran sampah, Indriyani mengungkapkan, pemerintah punya empat instalasi. Sampah yang masuk ke insenerator adalah sampah yang tidak dibawa ke ecotown.

Incinerator ini sepenuhnya dipantau oleh pemerintah dan pusat reseach dari 4 universitas, yang terus menerus mencari inovasi baru. Dengan berbagai penelitian dan hasil terbaik, saat ini asap yang dikeluarkan oleh incinerator benar benar asap yang ramah lingkungan . sedangkan gas dioxin nya disaring dan dimasukan ke adalam tabung dan dipindahkan ke pabrik pengolahan limbah gas. Jadi tidak ada asap yang mengotori udara kota. Tentunya ini menggunakan teknologi yang canggih,” tambah Indriyani.


Pengolahan sampah paling baik memang melibatkan seluruh masyarakat. Karena sampah bukan hanya urusan pemerintah belaka. Untuk memulainya juga cukup mudah. Bijaksana dalam mengonsumsi dan memilah sampah sejak dari rumah kita masing-masing.

1 komentar:

  1. Kami RAJA PLASTIK INDONESIA menjual berbagai macam jenis tempat sampah plastik ke seluruh kota Indonesia, Klik website kami di http://www.rajaplastikindonesia.com atau http://www.tempatsampahplastik.net atau Telp: 021-87787043

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...