Sabtu, 08 Desember 2012

‘Surga Tersembunyi’ di Ujung Genteng*

Jumat, 6 Januari 2012 petang.

Sedikitnya 100 orang berjajar di Pantai Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat menghadap ke laut. Masing-masing memegang tukik atau anak penyu di kedua tangannya. Secara pelan-pelan, mereka melepaskan tukik-tukik itu ke atas pasir.

Belum lagi sinar matahari meninggalkan garis horizon, anak-anak penyu itu sudah hilang ke arah Samudera Hindia di selatan Pulau Jawa. Langkah kecil mereka terasa begitu cepat, mungkin karena sudah tidak sabar merasakan ‘kebebasan’ setelah berada di dalam telur sekitar 40 45 hingga 60 hari.

Petang itu, ada sekitar 1.200 tukik yang dilepas oleh pengunjung dan petugas di Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan. Namun tidak semua bayi penyu hijau (chelonia mydas) itu bisa bertahan hidup dan menjadi dewasa. “Mungkin hanya sekitar 1 persen saja yang bisa bertahan dan menjadi dewasa,” kata Anang, petugas penetasan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Konservasi Penyu Pangumbahan Kabupaten Sukabumi kepada saya.


Dengan atau tanpa ada pengunjung, para petugas di sana rutin melepaskan tukik ke laut menjelang matahari terbenam. Kegiatan itu dilakukan setiap hari. Yang berbeda, hanya jumlah tukik yang dilepas.



Sehari sebelumnya, Kepala Sub Bagian Tata Usaha UPTD Konservasi Penyu Pangumbahan Kabupaten Sukabumi Janawi mengatakan, pihaknya melepaskan 1.253 tukik. Sepanjang tahun 2011 lalu, sambung dia, ada 1.558 induk penyu yang bertelur di pantai sepanjang 2,3 kilometer itu.

Dari 1.558 sarang itu, keberhasilan penetasan telur hingga bulan Juni tahun 2011 lalu mencapai 87,4 persen. “Tidak semua telur itu menetas karena ada induk yang infertil. Penyu itu seperti ayam, apabila tidak dibuahi akan tetap bertelur tapi tidak bisa menetas. Kadang-kadang memang ada induk yang infertil,” ujarnya sembari menambahkan hingga satu minggu di tahun 2012 sudah ada setidaknya 20 sarang baru.


Istilah sarang digunakan pada setiap lubang penyimpanan telur yang sudah diangkat dari tepi pantai. Jadi setiap ada penyu bertelur, petugas langsung mengambil dan memindahkan telur-telur itu ke area penetasan dekat kantor UPTD Konservasi Penyu Pangumbahan.

Tidak sembarang orang bisa masuk ke tempat penetasan yang selalu dikunci itu. Masing-masing lubang penetasan yang sudah dikubur pasir laut itu diberi patok dari bambu. Setiap patok bertuliskan jumlah telur, waktu pengangkatan dari pantai, serta nama petugas yang mengangkatnya. Setiap lubang penetasan dikelilingi oleh ram kawat yang halus. Kawat itu berfungsi memisahkan tukik yang sudah menetas dari satu lubang ke lubang lain.

Masa inkubasi telur penyu, yang ukurannya sebesar bola pingpong mencapai antara 54-60 hari. Jenis kelamin bayi penyu itu ditentukan oleh suhu saat inkubasi. Jika suhunya rendah, maka telur itu cenderung menghasilkan tukik jantan. Sebaliknya, jika suhu tinggi atau lubang penetasannya langsung terpapar matahari, maka cenderung menghasilkan tukik betina.

Saat akan menetas, tukik akan merobek kulit telur yang lembek itu dengan egg tooth, istilah untuk kulit keras di moncong mulut tukik. Kulit itu akan melunak kembali saat penyu tumbuh dewasa. Tukik memerlukan beberapa hari untuk mencapai permukaan.

Mereka akan mencari dan menggali jalan menuju ke permukaan pasir. Namun jika suhu pasir dirasakan panas, mereka akan berhenti. Mereka kembali menggali saat suhu mulai dingin yang menandakan datangnya malam. Sesampainya di permukaan, tukik-tukik itu secara alami akan menemukan jalannya ke pantai. Sinar matahari menjadi penunjuk jalan buat mereka mencari makan di laut.

Tapi di tempat penangkaran ini, tukik-tukik yang sudah mencapai permukaan pasir akan dikumpulkan dan disimpan di dalam jolang. Tukik-tukik itu baru akan dilepaskan pada saat menjelang matahari terbenam. Cara ini dilakukan agar tukik terlepas dari incaran predatornya seperti burung yang aktif di siang hari.

Menurut Janawi, setiap tahunnya ada sekitar 17 ribu orang yang sengaja datang ke Pantai Pangumbangan untuk menyaksikan langsung penyu hijau bertelur. “Paling banyak pada tahun 2011 itu dalam semalam ada 30 penyu yang bertelur,” kata dia.

Untuk bisa menyaksikan penyu bertelur, ada aturan yang harus kita ikuti. Karena reptil yang satu ini termasuk hewan sensitif. Apabila dalam perjalannya menuju ke pantai untuk membuat lubang, dia mendengar atau melihat cahaya, bayangan, dan gerakan, penyu itu cenderung kembali ke laut.

Wisatawan baru bisa melihat penyu saat sudah mengeluarkan telurnya. Proses ini memakan waktu berjam-jam. Dari sejak penyu naik ke pantai hingga kembali ke laut, bisa memakan waktu hingga empat jam lebih.

Totok Mariyanto, 57 tahun, merupakan salah seorang yang datang bersama empat orang anggota keluarganya dari Bandung untuk menyaksikan fenomena alam tersebut. “Ini pengalaman berharga buat saya dan anak-anak. Karena ini wisata tapi ada kegiatan konservasi juga,” ujarnya sembari menambahkan dirinya dikenai tarif masuk Rp 5 ribu per orang.

Sayangnya, sambung Totok, masih banyak informasi yang harus pengunjung dapatkan dengan cara bertanya. Tidak ada papan informasi yang dapat menjelaskan secara detil dan rinci mengenai siklus hidup penyu hijau itu. “Kalau saja informasi seperti berapa lama telur penyu itu di dalam tanah, berapa umur penyu sampai bisa bertelur yang dipasang, itu akan sangat memudahkan pengunjung,” kata Totok lagi.

Kawasan wisata konservasi penyu ini memang bisa jadi satu tujuan wisata di akhir pekan. Sebelum mencapai ke lokasi penetasan telur penyu, pengunjung akan disambut oleh pemandangan indah dari Pantai Ujung Genteng. Di pantai ini, selain ada kawasan hutan lindung lengkap dengan mercu suarnya, wisatawan bisa melihat aktifitas nelayan yang mengangkut tangkapan ke tempat pelelangan ikan.


Selepas dari Pantai Ujung Genteng, apabila ingin berendam dan menyaksikan pemandangan ke laut lepas, bisa menuju ke Pantai Cibuaya yang letaknya di antara Ujung Genteng dan Pangumbahan. Perjalanan dari Ujung Genteng ke Cibuaya bisa ditempuh dalam waktu kurang dari setengah jam dengan kendaraan roda empat. Di sana juga sudah banyak penginapan.

Beda pantai, beda pula pasirnya. Pasir yang paling halus ada di Pangumbangan. Pasir di Pantai Cibuaya terbilang lebih kasar namun tetap nyaman untuk dijadikan tempat berjemur atau merebahkan punggung.

Bila berangkat dari Jakarta diperlukan waktu kurang lebih 6 -7 jam untuk menuju ke Ujung Genteng. Rute yang dapat diambil adalah Jakarta - Ciawi - Cicurug - Pelabuhan Ratu - Cikembar - Jampang Kulon - Surade - Ujung Genteng. Rute alternatifnya adalah Jakarta - Ciawi - Cicurug - Cibadak - Sukabumi - Jampang Tengah - Jampang Kulon - Surade - Ujung Genteng.

Alternatif transportasi adalah dengan naik kendaraan umum. Jika berangkat dari Jakarta segera menuju ke Bogor dengan menggunakan bus antar kota yang tarifnya Rp 10 ribu. Atau bisa menggunakan kereta Jabodetabek.

Dari Terminal Bogor naik bus menuju Surade dengan membayar sekitar Rp 35 ribu. Jika berangkat dari Bandung bisa ke Sukabumi terlebih dahulu. Dari Kota Sukabumi ada kendaraan elf menuju ke Surade dengan tarif Rp 25 ribu-Rp 30 ribu per orang.

Dari Surade perjalanan dilanjutkan menggunakan angkutan umum ke Ujung Genteng dengan tarif Rp 8 ribu. Jika mau naik ojek, biayanya bisa membengkak hingga Rp 50 ribu.

Apabila memilih kendaraan roda dua dari Jakarta bisa menempuh jalur Bogor -Ciawi-Cibadak - Cibogbog - Jampang Kulon - Ujung Genteng. Untuk menjajal jalur tersebut dengan sepeda motor diperlukan fisik yang prima, karena jarak Ujung Genteng dari Jakarta itu mencapai 230 kilometer.


Daya tarik wisata lain di kawasan tersebut adalah air terjun yang diberi nama
Curug Cikaso. Pada lokasi ini ada tiga air terjun yang berjejer ke samping. Untuk mencapai ke lokasi itu, pengunjung bisa menaiki perahu atau berjalan kaki kurang dari 15 menit. Petunjuk jalan menuju ke lokasi air terjun bisa ditemui di pinggir jalan. Tidak perlu khawatir tersesat.

Jika kurang puas, wisatawan juga bisa menuju ke Curug Cigangsa. Jaraknya tidak jauh dari Cikaso. Keduanya bisa ditempuh dalam perjalanan paling lama satu jam dari Ujung Genteng ke arah Surade.
Ketinggian Curug Cigangsa ini lebih dari 20 meter. Lebarnya mencapai 50 meter. Pemandangan dari air yang menuruninya dapat diabadikan dengan kamera digital layaknya layar dari kain. Ada dua tingkatan pada air terjun ini. Sebelum mencapai ke air terjun, kita harus melewati dulu Kampung Batu Suhunan dan areal pesawahan.


Masuk ke kampung itu, mata kita akan dimanjakan oleh pemandangannya yang hijau dan asri. Angin sepoi-sepoi disertai kokok ayam dan suara daun kelapa yang beradu akibat ditiup angin menunjang untuk tidur. Penduduk sekitar yang rumahnya terpisah oleh jalan selebar dua meter selalu ramah menyapa tamu yang datang.

Husnita Hermawan, 38 tahun, salah seorang pengunjung mengatakan dirinya jadi terinspirasi untuk membawa serta keluarganya untuk berlibur di kawasan selatan Sukabumi ini. “Selain ke sini bisa dapat ilmu soal penyu tapi juga melihat pemandangan yang luar biasa indah,” kata dia.

Rasanya tidak salah jika ada orang yang menyebut kawasan wisata pantai di Sukabumi selatan ini ibarat ‘surga yang tersembunyi’. Selain belum terlalu ramai oleh turis, kawasan itu benar-benar menyajikan pemandangan yang bisa menenangkan hati. Penasaran? Tinggal mengemas baju ganti dan barang lainnya, kemudian berangkat pada akhir pekan ini .[SP/Adi Marsiela]

*tulisan ini dipindah manual dari multiply..huhuuhuhu....

1 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...