Wajah manusia dan sosoknya selalu menjadi objek menarik bagi pelukis untuk menyalurkan ekspresinya. Baik itu dengan meminjam rupa, sosok orang lain atau wajah perupanya sendiri. Terkadang pengalaman, harapan, dan kegelisahan yang dialami perupa menjadi inspirasinya dalam mengeksplorasi figur.
Tiga perupa yang mengenyam pendidikan seni lukis di Bandung secara berani mengungkapkannya dalam pameran lukisan Explosive Figurative yang digelar di Galeri Rumah Teh, Bandung mulai 14 hingga 21 Juli 2007. Mereka masing-masing adalah Yanas, Qoyim Bana Nasution, dan Muharlia Umar (Muhar).
Semangat pemberontakan dan pembaruan yang pernah populer oleh 'flower generation" di era 1960-an menjadi salah satu inspirasi yang mencuat dalam pameran ini.
Sebut saja Jimi Hendrix yang tampil dengan sesosok perempuan berwarna putih dengan rambut kuningnya yang terurai panjang. Nilai-nilai perlawanan Jimi terhadap wajib militer yang dahulu diterapkan oleh Amerika terlihat jelas dalam lukisan pakaian yang dikenakannya. Sosok perempuan itu sendiri lebih mewakili isu gender yang mencari perhatian publik dalam karya berukuran 150 x 120 cm itu.
Dia tidak sendirian. Joan Baez, Janis Joplin, dan Maharesi Mahisa Yogi yang eksis pada kurun waktu yang sama turut hadir dalam pameran ini. Benang merah dari beberapa lukisan figur ini ditandai dengan adanya pola praba mandala yang dalam bahasa Sansekerta adalah lingkaran. Penggunaan praba mandala dalam keempat lukisan itu sebagai sebuah pusat untuk meditasi atau harapan akan pencerahan.
"Saya menyenangi seni lukis dan juga musik," kata Yanas, sang perupa jebolan Seni Rupa Universitas Pendidikan Indonesia menerangkan karyanya.
Selain itu, ungkap dia, figur pemusik atau Maharesi yang pernah dijadikan guru spiritual oleh grup musik The Beatles itu untuk mendekatkan orang awam dengan karya-karyanya yang menggunakan cat minyak.
"Saya ingin sesuatu yang greget. Pengaruh dari tahun 1960-an itu saya percaya masih bisa langgeng sampai ke depannya," terang dia.
Aroma surealis juga merebak dalam pameran ini. Setidaknya, Qoyim menggunakan genre itu untuk mengekspresikan kegelisahannya akan kehidupan. Dia meminjam rupanya sendi- ri untuk menjelaskan hal tersebut.
Lihat saja karyanya yang bertajuk Keenness. Dalam lukisan berukuran 150 x 120 cm yang diseting vertikal, sang perupa tampak telanjang dada dan menengadah ke angkasa. Berusaha menerawang dan mencari keseimbangan dalam hidupnya. Falsafah hubungan hidup harus terjalin dengan baik ke Sang Pencipta dan ke sesama, dia rupakan dalam jalinan tangan yang berbentuk segitiga di depan matanya.
Dalam pencariannya itu, Qoyim tampil seadanya. Dia hanya mengenakan sepasang sepatu kets dengan rambut panjangnya yang dibiarkan terurai. "Realitas dan mimpi itu hal yang menarik," kata dia memaparkan konsep dasar karyanya.
Eksplorasinya tentang mimpi juga ditampilkan dalam Shirathal mustaqim (ke-Jalan yang lurus). Dalam lukisan berukuran 165 x 95 cm ini, Qoyim menempatkan diri sebagai objek yang tengah mencari kebenaran. Dia seakan bermimpi dan berada di atas sebuah ruas jalan yang berwarna-warni. Dia melihat dirinya yang lain di bawah tengah jongkok, sementara dirinya yang berjalan masih belum mengetahui tujuan akhir dari jalanan itu.
Pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan setelah kematian dia jawab dengan menggunakan imajinasi. Menurutnya semenjak kanak-kanak, dia hanya bisa ingat bahwa rasa aman itu datang dan diperoleh jika dirinya kehilangan kesadaran atas segala sesuatu yang dianggap sebagai realitas. Mimpi salah satu pelariannya.
Kekinian juga hadir dalam pameran ini. Perupa yang menggunakan lambang kekinian itu adalah Muharmalia Umar alias Muhar. Karya-karya Muhar didominasi oleh teknik fotografi yang direpro melalui komputer, sebelum akhirnya dia lukiskan di atas kanvas. Pop art, demikian dia menyebut gaya lukisannya. Namun benang merah figur yang menjadi bagian dari judul pameran ini tetap tampil.
Dia memandang dirinya sebagai objek karena tidak ingin mengangkat kebaikan atau keburukan orang lain. "Saya tidak mau menghakimi orang lain, makanya menggunakan citra saya," papar dia.
Muhar tampil dalam beragam gaya, misalnya dia sedang mengayuh sepeda, duduk di kursi, sampai ketika dia tengah memakai payung. Tapi bukan berarti tidak ada yang ingin disampaikannya. Misalnya, lukisan berjudul Dissappoint yang terdiri atas tiga buah lukisan vertikal.
Masing-masing lukisan memiliki kesamaan objek. Muhar yang tengah menggunakan payung. Dalam karya ini, dia sengaja mengambil siluet hitam yang terbangun dari dirinya dan payung. Yang berbeda hanya goresan warna cat serta pola yang ada pada bagian latarnya.
Mungkin itu tanda kekecewaannya terhadap seseorang yang selalu memandang dirinya hanya dari bagian luar. Padahal setiap orang pastilah memiliki sesuatu yang berbeda dan bahkan di luar bayangan kita sebelumnya. Bayangan di luar kenyataan itu dia citrakan dengan pemilihan warna seperti merah, hijau, dan putih. Tidak lupa, dia juga selalu mencantumkan barcode atau identitas diri layaknya sebuah makanan dalam kemasan yang diproduksi massal.
Kurator Galeri Rumah Teh, Isa Perkasa mengatakan pameran ini menawarkan sebuah narsisme berupa eksplorasi figur secara fotografis yang berbeda. Dia mencontohkan Agus Suwage, Hendra Gunawan, Affandi, atau S Sudjojono yang menitikberatkan pada peminjaman potret dirinya atau tubuh telanjangnya guna menyampaikan pesan yang menggelitik.
"Karya-karya perupa ini cenderung menghadirkan ulang pose-pose dari sebuah potret dengan penggubahan pada latar, sehingga tawaran fotografis lebih menonjol," ungkap Isa. [SP/Adi Marsiela]published: 24/7/07
2 komentar: