Estetika bukan nilai utama yang dicari dalam pameran ini. Nilai kritis dan refleksi kehidupan merupakan hal yang lebih berharga. Kehidupan yang serba dinamis seringkali membuat manusia kurang memperhatikan kondisi sekitarnya.
Setiap individu berusaha memenuhi kebutuhannya masing-masing. Andaikan ada interaksi sosial di antaranya, tidak lain untuk menegaskan bahwa sebenarnya manusia itu adalah makhluk sosial yang harus bergantung dengan orang lain dalam menjalani hidup ini.
Seringkali manusia atau individu-individu itu berjalan sendiri-sendiri. Interaksi yang didorong pemenuhan kebutuhan hidupnya terkesan samar-samar. Karena pada ujung-ujungnya, setiap individu pasti menginginkan timbal balik saat melakukan interaksi sosial.
Arief Tousiga seorang pematung lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain Ins- titut Teknologi Bandung (FSRD ITB) mencoba menyentuh aspek dasar kehidupan itu lewat tujuh buah patung berwarna abu-abu dalam pameran Konstelasi Abu-abu yang digelar semenjak Selasa (24/7) hingga Selasa (31/7) lalu.
Uniknya, setiap patung pameran ini tidak digelar hanya dalam satu ruangan melainkan enam ruangan berbeda yang terpisah cukup jauh satu dengan lainnya.
Namun setiap ruang yang dia pilih merupakan tempat umum yang dapat dikunjungi secara bebas, mulai dari Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Jl Ir H Juanda, gerai makanan cepat saji Mc Donald's Setiabudi, perpustakaan FSRD ITB, factory outlet Cascade di Jl RE Marta-dinata, dan Apotik Kimia Farma di Jl Braga.
"Kalau yang di Selasar Sunaryo itu sudah umum. Namanya juga galeri seni," ujar Arief.
Tampaknya sang perupa memang sengaja memilih tempat-tempat itu. Bukanlah sebuah hal yang aneh ketika kita duduk, berdiri, memesan makanan di restoran cepat saji, kita akan kembali ke kursi dan menghabiskan makanan. Kehadiran orang lain di tempat tersebut hanya menjadi sebuah "penghias" bagi mereka yang tengah berusaha memenuhi kebutuhan perutnya, makan.
Hal yang sama terjadi juga di perpustakaan, apotek, dan juga tempat lainnya.
Pemerhati budaya pop Yasraf Amir Piliang menilai Arief tengah mempersoalkan kebertakberjarakan yang mengasingkan manusia dari derajat keintiman di dalam abad informasi sekarang ini.
"Jangan-jangan orang yang duduk di sebelah kita itu tak lebih dari pa-tung-patung, yang tidak intim dengan kita," terangnya.
Patung karya Arief memang mengambil citra manusia seperti dalam kesehariaannya. Ukurannya satu berbanding satu dengan ukuran manusia. Hanya warnanya saja yang berbeda, abu-abu.
"Hal itu sebenarnya untuk menghindari kontro-versi," katanya berterus- terang.
Masing-masing patung itu mencoba memberikan makna dan nilai yang mendalam kepada setiap mereka yang melihatnya. Sebagai contoh saja, Arief sampai memasang tulisan "Jangan Disentuh" pada patungnya yang ada di restoran cepat saji. Patung itu sudah sempat patah jari-jari tangannya karena dipermainkan oleh anak-anak yang datang ke sana.
Namun Arief memaklumi hal tersebut. Pasalnya, restoran cepat saji itu memang sudah memiliki ikon dalam bentuk patung yang cukup menarik bagi anak-anak. Ronald Mc Donald's, nama ikon itu. Bedanya, patung milik Arief berpakaian seperti orang pada umumnya. Patung itu duduk santai seperti layaknya pelanggan yang tengah menyantap kentang goreng dan hamburger.
Beda lagi patung yang disimpannya di apotek. Mereka tampak sangat nyata dari bagian belakang. Bagaimana tidak, Arief mencitrakan karyanya seperti dua orang perempuan yang saling bercakap-cakap lengkap dengan satu patung yang memegang telepon seluler.
Aspek berkesenian dari Arief sebenarnya bukanlah patung-patung itu. Mereka hanyalah pemicu. Kurator pameran Heru Hikayat menjelaskan pameran tersebut membidik seluruh peristiwa di lokasi bersangkutan. Penempatan patung-patung itu diyakini dapat mengundang reaksi dari orang-orang yang kebetulan ada atau lewat pada beberapa lokasi tersebut.
"Reaksi-reaksi mereka yang melihat patung itu yang menjadi penting buat saya. Sayangnya, saya tidak bisa mendokumentasikan itu semua," ungkap Arief.
Proyek yang digarap dalam waktu tiga tahun ini memang dikerjakan secara rinci. Arief sangatlah memperhatikan berbagai unsur detail seperti pakaian, aksesoris, dan properti dari pameran. "Belinya juga menyicil."
Soal perjalanan seniman yang pernah ikut pameran bersama dalam "CP Biennale II 2005" dalam berkarya juga bisa dilihat dalam rangkaian foto dan video yang dipasang di galeri Selasar Sunaryo Art Space.
Secara umum pameran ini memang terasa sangat idealis. Semuanya dibuat melalui peniruan dari tingkah laku manusia dengan harapan bisa menimbulkan refleksi diri mereka yang melihatnya. Entah sampai tingkat mana refleksi itu bisa dicapai, karena memang harapan Arief mendapatkan sesuatu yang total itu adalah sebuah hal mustahil.
Namun demikian, pengamatan terhadap pameran ini menjadi sesuatu yang bisa dibilang berhasil. Lihat saja patung-patung yang rusak karena dipermainkan oleh anak-anak atau kegiatan berfoto bersama dengan patung oleh orang-orang yang melihatnya. Ini sebuah pengakuan bahwa sebe- narnya, karya itu diakui keberadaannya.
Menurut Heru keberadaan orang di ruang tunggu apotek menjadikan mereka memusatkan perhatiannya pada hal yang dia tunggu. Namun dengan adanya patung tersebut, maka kegiatan menunggu dapat berubah menjadi sebuah pengalaman yang berbeda, terutama kalau kita kemudian mengabadikannya lewat kamera.
"Proses menunggu itu menjadi menonton. Kita melihat citra kita sedang menunggu," paparnya.
Semoga saja melalui karya ini, Arief bisa menyadarkan (minimal) orang-orang yang melihat karyanya bahwa kehidupan itu memang seringkali terasa datar. Tapi karya seni tidak akan pernah membiarkannya begitu. [SP/Adi Marsiela]
Published: 7/8/07
1 komentar: