Beragam cara orang memaknai dan mengungkapkan rasa. Tenunan dan rajutan benang yang dipadukan dengan teknik tempelan (collage) menjadi pilihan Biranul Anas dalam memuji kebesaran Sang Pencipta.
Lihat saja karyanya yang bertajuk ‘Godaan di Lahan Meranggas’, di situ tampak kegairahan seekor cendrawasih dan merak yang ingin menggoda pasangannya masing-masing. Mereka berdua bertengger di sebuah dahan tanpa dedaunan. Warna kuning dan merah dari kedua burung itu, terpancar mendominasi warna coklat muda yang menjadi warna latar dari karyanya.
Karya lainnya, ‘Bara di Tanah Zamrud’ menunjukkan betapa komitmen Anas dalam seni serat yang sudah digelutinya semenjak tahun 1970-an. Dia memadukan batang-batang dan ranting kayu yang sudah kering dengan benang menjadi sebuah pohon berwarna merah, sekali lagi tanpa daun.
Kegelisahannya akan kehancuran alam Indonesia tampak dalam karya itu. Menurut Anas seharusnya tidak ada pohon yang mati di Zamrud Khatulistiwa ini. Idealnya, pohon itu penuh dengan daun-daun hijau yang menyejukkan badan dan jiwa. Keindahan bunga, burung-burung, senja, dan bentuk yang ada dalam benaknya menjadi benang merah proses kreatif Anas.
Dua karya Anas tadi merupakan bagian dari pameran tunggalnya “Serat-Serat Budaya” yang digelar di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung dari tanggal 4 hingga 20 Mei 2007.
Meskipun karya-karyanya cenderung tampil dalam format vertikal, Anas tampaknya tidak terjebak dalam sebuah bentuk yang geometris dan dekoratif. Dia mengolah warna dan bentuk dengan material yang hanya diikat. Teknik ini merupakan teknik tapestry (permadani) yang paling tua dalam seni serat.
Dia menggabungkan berbagai komponen seperti benang, daun kering, bambu, rotan, dan lainnnya di atas tenun. Jim Supangkat dalam kurasinya menyatakan Anas berhasil mengembangkan teknik ikatan, teknik tenun, rajutan, dan mengolahnya menjadi bahasa ungkapan untuk membangun gambaran yang nyaris realistik.
Motif-motif yang tampil dalam karya Anas mengandung berbagai makna dan pesan yang tidak semuanya ada pada teknik tenun. Gambaran bunga pada kain tradisional Jawa, misalnya adalah gambaran yang dikerjakan dengan teknik batik. Anas mengungkapkan kembali gambaran bunga dengan teknik batik ini dengan teknik tenun.
Perjalanan Anas dengan seri seratnya sendiri sudah dimulai semenjak tahun 1970-an. Saat itu, dia mengandalkan teknik simpul atau macramé. Lepas masa itu, dia mencoba teknik-teknik lain, terutama tenun (tapestry), sulam, dan tempelan (collage). Tahun 1990-an hingga sekarang, dia mencampuradukkan berbagai teknik itu demi menguatkan gagasan yang diusung.
Obyek yang diangkat dalam karya juga berkembang. Hal yang sama diakui oleh Jim Supangkat. Bermula dari tema abstrak yang menonjolkan teknik sulaman berwarna monokrom, dia menjamah corak impresif dari alam semesta. Belakangan, ia kepincut pada obyek bunga, dalam berbagai bentuknya.
Dia tak sungkan membalut bentuk bunga dalam paduan warna yang cerah ceria, bahkan acap terasa “manis” melebihi kenyataannya, semisal daun yang dianyam bersama benang pada tulang-tulangnya. Hal ini dia tuangkan dalam ‘Suar Alam 1’, ‘Black Garden 3’, ‘Putik Mas’, dan ‘Anyaman Alam’.
Anas mengenal seni serat sejak belajar desain tekstil di ITB. Salah satu dosennya, Yusuf Affendi—yang baru datang dari studi desain tekstil di Rochester Institute of Technology, Amerika Serikat—dikenal sebagai perintis seni serat kontemporer sejak pertengahan tahun 1970-an. Tetapi, Anas mengaku benar-benar menyadari potensi serat sebagai ekspresi seni saat mengikuti kursus desain tekstil di Osaka, Jepang, tahun 1974-1975. Ketekunannya pada seni serat menghantarnya ke berbagai pameran sampai sekarang. Dia juga menjadi satu-satunya orang dari Indonesia yang pernah mengikuti Triennale Tapestry di Polandia.
Perjalanan seni serat Anas dan perupa lainnya di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari tumbuhnya cara pandang baru di arus utama dalam melihat gejala rupa. Pemandangan baru itu mulai nampak pada akhir 50-an dan awal 60-an. Di masa itu istilah new fiber (seni serat baru) telah menjadi pembicaraan di Amerika dan Eropa Tengah, salah satu produknya tenunan tapestry.
Gelombang besar perubahan ini menaikkan citra baru seni serat. Pada 1969 untuk pertama kali, dibawah bendera Seni Serat Kontemporer Amerika, seni serat masuk ke ruang pamer bergengsi Museum Seni Modern, New York City. Sebelumnya pada 1962, telah berlangsung International Biennial of Tapestry di Switzerland.
Karya-karya Anas menyiratkan semangat multikulturalisme. Dengan keterampilan tinggi, dia meracik berbagai elemen rupa dari kebudayaan asing dan lokal. Ornamen tradisional yang dekoratif dan dibuat dengan keterampilan teknis diangkat dan dipadukan dengan seni tenunan tapestry yang berlatar belakang sejarah Barat.
Anas lincah meramu berbagai material—seperti bambu, rotan, kayu, dan manik-manik—menjadi jalinan serat yang menyuarakan gagasan tentang perenungan batin, impresi semesta, atau penghargaan terhadap perempuan.
Karya dan proses kreatif seniman ini termaktub dalam buku tulisan Jim Supangkat-Rizky Ahmad Zaelani, Ikatan Silang Budaya: Seni Serat Biranul Anas, yang diluncurkan tahun 2006 lalu. [Adi Marsiela]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar