“Sometimes words are hard to find
i'm looking for that perfect line
to let you know you're always on my mind
yeah, this is love - and i've learned enough to know
i'm never letting go
no, no, no - won't let go,…”
Lantunan lagu berjudul 'The Best of Me' dari dalam pemutar kaset di KM Lake Toba Cruise 2 itu seakan-akan mengerti dengan apa yang tengah saya alami. Bryan Adams sendiri, menyanyikan lagu tersebut untuk menceritakan sesuatu yang indah dalam hidup tidaklah akan dilepaskan atau dilupakannya.
Saat mendengar lagu itu, saya tengah berada di kapal motor meyeberang ke Pulau Samosir di kawasan Danau Toba dari Parapat (disebut pula Prapat). Menarik memang menikmati keindahan pemandangan alam, terlebih ini kunjungan pertama saya ke danau vulkanik terbesar di Asia Tenggara. Apalagi letaknya merupakan yang tertinggi di dunia.
Pulau Samosir yang saya tuju memiliki panjangnya sekitar 130 kilometer. Apabila ada waktu lebih, kita dapat mengelilinginya lewat perjalanan darat. “Pulau di atas pulau dan danau di atas danau,” demikian slogan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk mempromosikan dunia pariwisatanya.
Merunut pada tulisan seorang ahli geologi asal Jerman, Van Bemmelen, pulau itu terbentuk akibat letusan Gunung Toba ratusan abad silam. Secara teori, papar dia, letusan Tumor (gunung) Toba waktu itu merupakan letusan terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah manusia.
Buktinya bisa ditemukan pada struktur kawasan yang berbatu-batu. Diyakini, dulunya sedimen pulau ini berada di bagian bawah gunung, yang karena pergeseran tektonik akhirnya bergerak ke permukaan saat letusan terjadi. Aktifitas gunung api sendiri bis ditemukan di bagian barat pulau ini yang ditandai dengan munculnya titik-titik air panas.
Samosir sendiri adalah pulau yang berada di tengah Danau Toba. Dia berada pada ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Memasuki tahun 2004, Samosir menjadi sebuah kabupaten tersendiri dengan sembilan kecamatan. Sebelumnya, masih menjadi bagian Kabupaten Tapanuli Utara Kawasan ini pun terdiri atas 9 kecamatan, yakni;.
Untuk menuju ke
Menyeberang dengan perahu motor dari pelabuhan Tiga Raja, Parapat ke Samosir memakan waktu antara setengah hingga satu jam. Masyarakat sekitar yang menggunakan motor, bus, dan truk pengangkut barang, bisa menyeberang dengan kapal feri yang nantinya bersandar di dermaga Aji Bata tiap tiga jam sekali.
“Tarif kendaraan roda empat untuk sekali menyeberang Rp 78 ribu, sedangkan penumpang biasa hanya dikenai Rp 1.500,” tutur M. Idris Nasution yang memandu perjalanan wisata saya dan rekan-rekan jurnalis dari
Di sela-sela perjalanan menyeberang, Idris sempat menceritakan asal muasal terjadinya Danau Toba. Cerita ini berawal ketika seorang pemuda yatim piatu pergi memancing. Kegiatan ini merupakan salah satu mata pencahariannya selain bertani. Maklum dia pemuda yang miskin.
Ketika memancing, dia mendapatkan ikan tangkapan yang aneh. Ikan itu besar dan sangat indah. Warnanya keemasan. Dibawanya ikan itu ke rumahnya. Ketika dia tinggalkan, ikan itu berubah menjadi seorang putri yang cantik. Singkat cerita, ikan itu mengaku dirinya telah dikutuk dewata dan bisa berubah menjadi manusia karena sudah disentuh oleh sang pemuda.
Singkat cerita si pemuda melamar gadis untuk menjadi istrinya. Sesaat sebelum menerima lamaran, sang gadis meminta agar pemuda itu memenuhi syarat yang diajukannya. “Aku bersedia menjadi istri kakanda, asalkan kakanda mau menjaga rahasiaku bahwa aku berasal dari seekor ikan,” kata Idris meniru ucapan sang gadis.
Karena menyanggupinya, jadilah mereka berdua menikah dan dikaruniai seorang putra. Beranjak dewasa, si anak selalu merasa lapar. “Walapun sudah banyak makan-makanan, ia tak pernah merasa kenyang.”
Suatu hari, karena begitu laparnya, ia makan semua makanan yang ada di meja, termasuk jatah makan kedua orang tuanya. Sepulang dari ladang, bapaknya yang lapar mendapati meja yang kosong tak ada makanan, marahlah hatinya. Karena lapar dan tak bisa menguasai diri, ayahnya pun mengumpat kelakuan sang anak. “Dasar anak keturunan ikan!”
Dari
Tidak terasa, cerita itu menghantarkan kami ke Desa Siallagan, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir. Di
Perkampungan ini dikelilingi dengan batu-batu alam yang disusun dengan tinggi lebih dari satu meter. Guido kemudian mengajak kami menikmati peninggalan sejarah di
Kursi-kursi itu ditempatkan mengelilingi sebuah meja dari batu alam. Di bagian tengahnya ada pohon Beringin, simbol adanya sebuah kampung pada masa lalu. Kursi dan meja itu digunakan untuk menggelar persidangan.
“Saat sidang, terdakwa bisa mendengarkan sembari dipasung di bawah salah satu rumah. Yang paling sering disidang dan dihukum berat itu biasanya mata-mata musuh,” kata Guido.
Sebelum sidang digelar, biasanya kepala suku meminta bantuan dari penasehat spiritualnya untuk menentukan hari baik. Guido sendiri menyebut penasehat spiritual raja itu sebagai dukun. Sebutan itu mungkin terkait dengan adanya tunggal panaluan (tongkat sihir) yang dimiliki oleh sang dukun.
“Dengan tongkat itu, dia bisa menaklukan orang atau juga memanggil roh. Baik yang sudah tidak ada atau yang masih hidup.”
Apabila dalam sidang diputuskan si terdakwa bersalah, maka dia akan dibawa ke tempat eksekusi. Letaknya terpisahkan oleh tembok batu. Di
Terdakwa akan ditutup matanya. Setelah itu badannya akan ditelentangkan di atas batu yang lebih panjang ukurannya. Agar kekuatan magis terdakwa terkuras habis dan eksekusi berjalan dengan lancar, biasanya sang dukun akan menyayat tubuh serta memberikan asam garam di atasnya. Selain itu jantung dan hatinya akan diambil. Sebelum kepalanya dipenggal, sang dukun juga bakal merapal mantera yang dibacanya dari kitab yang disimpan melintang di atas tubuh terdakwa.
“Itu agar hukum pancung lancar. Eksekusi terakhir dilakukan tahun 1816. Setelah itu datang misionaris ke sini,” papar Guido.
Menurut dia, perkampungan itu sendiri usianya sudah lebih dari 500 tahun berdasarkan silsilah keturunan Raja Siallagan ompu Batu Binjang. “Sekarang yang merawatnya keturunan ke-18.”
Masih di tempat yang sama, dia mengajak kami melihat Rumah Bolon, rumah tradisional di
Tempat buang air sendiri berada di pojokan ruangan dengan lubang pembuangan yang langsung menuju ke bawah, tempat biasa binatang ternak disimpan. Atap rumah tradisional itu bagian depannya lebih tinggi dari yang belakang. Ini menjadi pesan agar sang anak nantinya lebih sukses daripada orang tuanya.
Yang cukup unik adalah pintu masuknya. Selain kecil, setiap orang masuk harus menunduk kepala di bagian dalamnya. “Itu buat menghormati yang ada di dalam rumah. Selain itu, apabila yang bertamu itu memiliki ilmu akan kalah dengan pemilik rumah. Karena dia datang sudah menghormat,” katanya.
Pada bagian luarnya, terdapat pahatan-pahatan. Motifnya antara lain berbentuk cicak, singa, dan juga payudara. “Cicak itu pesan agar orang Batak mudah beradaptasi, sedangkan singa itu untuk melawan unsure mistis dari luar. Payudara sendiri lebih melambangkan kesuburan.”
Dari
Cerita soal patung itu, katanya dimulai berabad-abad lalu ketika Raja Rahat yang memerintah di Uluan memiliki putra, Raja Manggale namanya. Putra semata wayangnya itu sangat disayangi oleh seluruh kampung, terlebih oleh ayahnya karena dia pintar menari.
Ketika putra jatuh sakit dan tidak tertolong, Raja Rahat selalu merasa sedih dan berduka. Sampai akhirnya ada tiga orang yang menyanggupi untuk membuat patung yang mirip dengan Raja Manggale. Patung itu mereka buat terpisah, kepala, bagian leher hingga pinggang, dan kakinya. Berbekal kesaktian tiga orang tersebut, roh Raja Manggale dipanggil dan masuk ke dalam patung tersebut.
Semenjak itu patung tersebut bisa menari dan menghibur sang raja. “Patung itu bisa menari sampai jongkok. Tapi sekarang patung itu digerakkan dengan tali dan ini adalah patung duplikatnya,” terang Parlindungan.
Agar bisa menyaksikan patung itu menari, pengunjung diharuskan membayar Rp 60 ribu. Ada empat tarian dalam sekali pertunjukkan, dimulai dengan Gondang Mula-Mula, Gondang Somba, Gondang Mangaliat, dan diakhiri dengan Gondang Sitiotio. “Tiap tarian punya arti tentang hubungan kita dengan Sang Pencipta,” ujarnya.
Usai menari, kami diajak berkunjung ke Makam Sidabutar yang dimakamkan semenjak 460 tahun lalu. Sebelum memasuki kawasan makam, setiap pengunjung diharuskan mengenakan ulos, kain khas Batak.
Ulos itu sendiri merupakan kepanjangan dari unang lupa oloi sipasingot yang artinya turuti nasihat. Makanya dalam acara pernikahan, biasanya undangan memberikan kain tersebut kepada pasangan yang menikah sembari memberi nasihat-nasihat.
Dalam kawasan makam itu ternyata ada sedikitnya delapan kuburan, empat diantaranya sudah menggunakan salib sebagai simbol kepercayaan yang dianutnya. Kuburan raja pertama di
Secara sekilas, kita bisa melihat seperti apa raut wajah raja-raja yang pernah berkuasa di
Pada bagian depan, ada ukiran berbentuk orang yang dipercaya sebagai tangan kanan sang raja. Sedangkan di bagian belakang kuburan terdapat pahatan berbentuk perempuan yang dipercaya adalah Anting Malela boru Sinaga.
“Mereka sempat bertunangan selama 10 tahun, namun saat hendak berlangsung pernikahan yang perempuan kena sihir sehingga malu dan lari ke hutan. Dari
Selain bisa melihat dan menikmati kisah-kisah dari masa lalu, kita juga bisa membeli berbagai oleh-oleh dari toko-toko cendera mata di
Perjalanan wisata di Danau Toba dan Pulau Samosir memang tidak bisa dinikmati dalam waktu sekejab. Sayang rasanya meninggalkan kawasan yang begitu kaya akan hal-hal menarik. Tapi, waktu kunjungan yang hanya beberapa jam di
Makanya tidak salah kalau Maringan Simbolon, Kepala Dinas Pariwisata, Seni Budaya, dan Perhubungan mencoba meningkatkan kualitas masyarakat di sana, terutama para pedagang. Pasalnya, ketika wisatawan hendak pulang dengan segala kenangan yang sudah didapatnya, tiba-tiba ada saja pedagang yang memaksa mereka untuk membeli barang dagangannya.
“Kita membentuk kelompok sadar wisata untuk mengelola objek wisata. Karena kita tidak ingin wisatawan hanya datang sekali dan tidak datang kembali,” tuturnya.
Oleh karena itu, katanya, pelatihan sadar wisata bagi pelaku bisnis pariwisata dan masyarakat sekitar kawasan wisata, menjadi program penting pemerintah daerah untuk membangun industri pariwisata yang menjadi andalan sumber pendapatan daerah.
Tampaknya usaha membuat kelompok sadar wisata itu harus menjadi perhatian bagi pemerintah setempat. Karena bukan tidak mungkin, wisatawan seperti saya, yang baru datang sekali dan memiliki kenangan indah justru memilih tidak kembali ke