Selasa, 04 September 2007

Memaknai "Kesalahan" sebagai Keindahan

Tentara di Indonesia ternyata bisa tampil bercahaya dan glamour juga. Tidak ada kesan menyeramkan atau galak sebagai barisan depan penjaga pertahanan negara. Kesan itu bukan hilang oleh senyuman, melainkan warna-warni yang ada padanya.

Mulai dari raut wajah sampai baju lorengnya berubah warna. Sebut saja warna putih, biru, merah, orange, dan lainnya yang membentuk garis karakter wajah, tubuh, seragam, dan senjatanya. Tentara seperti ini hanya ada dalam alam pikiran Beatrix Henriani Kaswara.

Beatrix merealisasikan imajinasinya lewat lukisan berjudul Indonesian Army #2. Tidak hanya satu, Beatrix yang akrab dipanggil Bex itu, memainkan "tentara" lewat tiga karyanya yang berjudul sama, hanya berbeda nomor urut. Bagian latar dan sebagian besar bidang lukisan berwarna gelap merata, tanpa kedalaman. Ini adalah upayanya untuk lebih menonjol warna-warni tadi.

"Satu sisi saya bangga dengan tentara, tapi ada di sisi lain kecewa," ujar Beatrix singkat mengomentari karya-karyanya yang dipajang bersama 19 lukisan karya Dadan Setiawan, Dikdik Sayahdikumullah, Harry Cahaya, Iman Sapari, J Ariadhitya Pramuhendra, dan Willy Himawan di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung dalam pameran bertajuk errata-optika. Pameran ini berlangsung sejak Jumat (24/8) hingga Jumat (14/8) nanti.

Bex mengaku tiga karya itu merupakan pencapaian tercepatnya dalam berkarya. Sebelum melukis, dia terlebih dahulu memilih foto tentara dan mengolahnya lewat peranti lunak di komputer.

"Pakai Adobe Photoshop, terus dengan (efek) Glowing Edge. Baru dilukis ulang," papar dia menerangkan caranya melukis tentara-tentara yang 'menyala' itu.

Gaya lukisan realisme seperti ini yang menjadi benang merah dalam pameran tersebut. Semua karya pameran berasal dari sebuah pencitraan lewat teknologi (optik) yang sudah diolah terlebih dahulu baru dilukis memakai acrylic, cat minyak, dan arang ke dalam berbagai ukuran kanvas.

Beberapa figur terkenal-sayangnya tidak menggunakan profil tokoh kekinian-juga tidak luput dari pencitraan ini. J Ariadhitya Pramuhendra alis Hendra memakai pemburaman dalam menggambarkan Paus Yohanes Paulus II, John Lennon-Yoko Ono, dan Marilyn Monroe. Tapi, biar diburamkan, orang pasti mengetahui siapa yang ada di lukisannya.

Agung Hutjanikajenong kurator pameran menyebutkan karya-karya Hendra mengangkat kenangan masa lalu yang pada saat bersamaan misterius. Meskipun demikian, karya Hendra sekaligus juga auratik.

Karya berjudul And Conclude this to Memorize Me yang menggambarkan prosesi sakramen komuni yang dipimpin oleh Paus Yohanes Paulus II dianggap mewakili semua hal yang diungkapkan Agung.

"Sekilas seperti gagal namun tetap impresif," ujar Agung.

Berbeda dengan Bex dan Hendra, Harry Cahaya lebih mengangkat tema alam dalam karyanya yang berjudul Seescope #4. Dia mengambil citraan air laut beserta riaknya. Warna air bagi Harry tidak menjadi masalah, mau hijau, kuning, biru, atau merah. "Jadi laut bukan sebagai objeknya, tapi nuansa yang ada di sana," paparnya.

Tenang dan Teduh

Memang ketika memandangi Seescope #4 yang dilukis dengan cat minyak dan berukuran 285 X 145 centimeter itu, ada rasa tenang dan teduh di mata. Apalagi lukisan itu dipajang sendirian di lorong perantara pada tempat pameran.

Sayangnya, dari tujuh pelukis yang menghadirkan karyanya dalam pameran ini, hanya Willy Himawan yang berani keluar dari area kenyamanannya. Dia mengambil objek dari televisi- Motion and Stillness-dan juga sebuah buku- On Page 9. Dikdik Sayahdikumullah, peserta pameran paling senior sekaligus dosen di kampus Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung tidak juga keluar dari zona itu.

Dikdik "terjebak" mempresentasikan Sweet Deception dan Red Ad Hoc, gambaran dari balik kaca mobil saat basah tersiram hujan. Yang berbeda hanyalah objek di depan kaca itu.

Meski demikian, Red Ad Hoc dengan lampu-lampu belakang mobil yang biasanya baru kita perhatikan saat berkendara. Efek air yang memendarkan lampu-lampu itu memberikan pengalaman baru bagi yang biasa melihat suatu objek dalam bentuk pastinya.

Kecermatan Dikdik memanfaatkan refraksi cahaya, warna, dan bayangan pemandangan disajikannya lewat Sweet Deception. Ketidakjelasan selain warna hijau yang mendominasi menjadikan gaya realisme itu menjadi sebuah cara baru menikmati lukisan. Tidak dosa juga rasanya memandang karya itu sebagai sebuah lukisan surealisme.

Pameran ini, kata Agung, ingin memperlihatkan orientasi baru yang ditunjukkan oleh sejumlah seniman Bandung-yang semuanya berasal dari kampus yang sama-dalam mengolah dan menampilkan rupa realistik.

"Gambarnya kurang hidup kalau hanya membesarkan hasil foto. Makanya dilukis lagi," ujar Bex mengomentari alasannya melukis.

Lukisan-lukisan yang digambar dengan mengkopi realitas itu menunjukkan usaha seniman untuk "merebut" kembali persepsi yang sebenarnya sudah bisa diwakilkan oleh mesin seperti kamera dan mesin fotokopi.

"Dengan adanya realitas artifisial (buatan) maka penginderaan manusia diperpanjang. Kalau hanya memotret atau fotokopi, kita menikmati dan menghayati cara mesin di jaman seperti ini," ungkap Guru Besar Filsafat Universitas Parahyangan Bambang Sugiharto saat membuka pameran tersebut.

Oleh karena itu, Bambang berpendapat harus ada langkah lebih lanjut dari kegiatan ini sampai ke teoritisasi. Pameran ini cukup menjanjikan. [SP/Adi Marsiela]

Published: 31/8/07

2 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...