"Israel Bunuh Wartawan", begitu Republika memberi judul untuk berita utamanya pada Senin (12/1). Singkat, padat, dan jelas.
Tiga alinea awal dari berita itu saya cantumkan di bawah ini,
GAZA CITY -- Organisasi Kantor Berita Asia Pasifik (OANA) mengutuk Israel yang melakukan pembunuhan kepada seorang wartawan yang sedang meliput di Gaza, Fadal Shana (23 tahun), Ahad (11/1). Sebelumnya, tentara Israel juga menyerang sekolah PBB yang menjadi tempat berlindung pengungsi serta menembaki konvoi bantuan kemanusiaan PBB.
Fadal Shana adalah warga Palestina yang bekerja sebagai kamerawan Kantor Berita Reuters. Saat terbunuh, dia tidak melakukan pelanggaran prosedur. Dia juga sedang mengenakan jaket yang sangat jelas memperlihatkan simbol-simbol kewartawanan. Mobilnya pun ditempeli stiker yang mudah diidentifikasi sebagai mobil wartawan.''Fadal Shana dibunuh saat mengambil gambar sebuah tank Israel di Gaza tengah,'' kata Presiden OANA, Ahmad Mukhlis Yusuf, yang juga pimpinan Lembaga Kantor Berita Nasional Antara, dalam pernyataannya yang dimuat situs web OANA, kemarin. OANA organisasi 44 kantor berita dari 33 negara di Asia-Pasifik.
Mukhlis menilai, Israel sengaja menjadikan wartawan dan kendaraan wartawan sebagai target. Padahal, kata Ahmad Mukhlis, wartawan dan kendaraannya sangat mudah diidentifikasi dari tulisan 'Press' atau 'TV'. ''Tolong, jangan tembak wartawan. Menjadikan wartawan sebagai target merupakan sebuah skandal dan pelanggaran HAM. Kebenaran tidak bisa dikabarkan jika jurnalis tak bebas bergerak,'' katanya.
Seperti terlihat dalam tayangan televisi dan dimuat di situs video-sharing, penembakan Fadal Shana dilakukan berulang-ulang, bahkan ketika korban sudah tersungkur tak bergerak. Sampai berita ini diturunkan, belum ada pernyataan dari Reuters tentang insiden itu.
Dari alinea pertama, kita bisa mengetahui kalau harian yang bermarkas di Warung Buncit, Jakarta ini menurunkan berita setelah 'menariknya' dari OANA. Ternyata berita yang dikeluarkan oleh OANA ini 'ditarik' oleh media-media lain.
Sebut saja China Daily yang menurunkan berita serupa dengan judul "OANA condemns killing of journalist in Gaza". Media massa nasional seperti Suara Karya juga menaikkan berita dari OANA itu dengan judul "OANA Kutuk Tewasnya Wartawan di Gaza". Semua berita itu keluar satu hari setelah OANA merilisnya.
Berita yang sama juga memicu solidaritas rekan-rekan jurnalis di beberapa tempat, seperti Bandung, Surabaya, Cirebon, Bogor, Probolinggo, dan Yogyakarta. Semuanya mengangkat peristiwa terbunuhnya Fadal Shana sebagai landasan dari aksi solidaritas atas kekerasan yang dilakukan oleh Israel dalam agresinya di Jalur Gaza.
Berita soal aksi solidaritas itu bisa kita lihat di beberapa media massa seperti Kompas.com (Selasa, 13/1), Elshinta.com (Senin, 12/1), Okezone (Senin, 12/1), Detik.com (12/1), Harian Pikiran Rakyat (Selasa, 13/1), Koran Tempo (Rabu, 14/1), dan lainnya.
Ada hal menarik yang saya temukan dalam pemberitaan dan juga aksi solidaritas ini. Fadal Shana yang bekerja di kantor berita Reuteurs sebagai kameraman memang tewas ketika bertugas meliput di Jalur Gaza. Hanya saja, dia tewas pada tanggal 16 April 2008 lalu.
Harian Guardian dari Inggris dalam situsnya menurunkan berita tentang kematian Fadal Shana itu dengan judul "Reuters attacks Israel's failure to take action over cameraman's death" pada tanggal 13 Agustus 2008. Berita itu disertai dengan foto kendaraan roda empat yang ditumpangi oleh Fadal dalam keadaan terbakar api.
Begini isi beritanya:
Reuters has said it is "deeply disturbed" that the Israeli military has decided the tank crew that killed one of the news agency's cameramen and eight young bystanders in the Gaza Strip four months ago will not face legal action.
Israel's senior military advocate-general told the London-based news agency in a letter sent on Tuesday that the official report into the incident concluded that troops could not see whether Reuters' Fadal Shana, 24, was operating a camera or a weapon.
However, the official said reports found that the Israeli Defence Force tank crew were nonetheless justified in firing an airburst shell packed with flechettes - metal darts - that killed the Reuters cameraman and eight other Palestinians during fighting in the Gaza Strip on April 16.
The international news agency, a subsidiary of Thomson Reuters, issued a statement today saying it was "disappointed with and dissatisfied" by the Israeli military's decision that the tank crew would not face legal action.
"Reuters is deeply disturbed by a conclusion that would severely curtail the freedom of the media to cover the conflict by effectively giving soldiers a free hand to kill without being sure that they were not firing on journalists," the news agency said. (Ingat kalimat berwarna merah di bagian atas?)
In a letter issued today to the IDF, Reuters responded to the report's conclusions with a number of questions.
The agency asked the IDF why the soldiers ruled out the possibility that Shana was a cameraman, why his standing in full view of the tanks for several minutes did not suggest he had no hostile intent and why the crew, if concerned but unsure, did not simply reverse a few metres out of sight.
In the letter to Reuters, Brigadier General Avihai Mendelblit, the IDF's advocate-general, wrote: "The tank crew was unable to determine the nature of the object mounted on the tripod and positively identify it as an anti-tank missile, a mortar or a television camera."
According to Reuters, Mendelblit also wrote in the letter: "In light of the reasonable conclusion reached by the tank crew and its superiors that the characters were hostile and were carrying an object most likely to be a weapon, the decision to fire at the targets ... was sound."
Reuters said the military lawyer cited an attack earlier in the day that killed three IDF soldiers, a separate grenade attack on a tank and the fact that Shana and his soundman were wearing body armour, "common to Palestinian terrorists", as reasons for the tank crew being suspicious of his activities.
The Brigadier General went on to acknowledge that Shana's death was a tragedy, but concluded that the evidence "did not suggest misconduct or criminal misbehaviour " and decided that no further legal measures would be necessary.
"I'm extremely disappointed that this report condones a disproportionate use of deadly force in a situation the army itself admitted had not been analysed clearly," said David Schlesinger, Reuters editor-in-chief.
"They would appear to take the view that any raising of a camera into position could garner a deadly response."
Shana, a Palestinian, had previously been wounded in August 2006 when an Israeli aircraft fired a missile at the vehicle he was travelling in.
He was killed on April 16 as he filmed two tanks positioned roughly a mile from where he was standing.
Shana had been filming the tanks for several minutes and his own footage captured the tank shot that killed him.
The final two seconds of the sobering pictures show a shell leaving the tank's gun on a hillside in the background.
Reuters said x-rays showed several of the inch-long flechette darts were embedded in Shana's chest and legs as well as his flak jacket.
Shana's flak jacket was marked with a fluorescent "Press" sign and his car, which was not armoured and was set on fire in the incident, was marked Press and TV.
Berita itu saya ambil untuk mengambarkan ternyata sudah ada langkah-langkah yang diambil oleh kantor tempat Fadal bekerja setelah dia tewas. Ini menunjukkan bahwa peristiwa tertembaknya Fadal memang benar terjadi, namun kemudian OANA mengangkat peristiwa ini kembali di bulan Januari 2009.
Jika 'bos' OANA memandang berita itu belum pernah terbit di media asal Indonesia, silahkan lihat berita yang diturunkan oleh Suara Karya secara online pada tanggal 18 April 2008. Judulnya "KRISIS GAZA MENINGKAT; Sekjen PBB Prihatin"
Berikut kutipan beritanya:
18/04/2008 08:44:03 NEW YORK (KR) - Sekjen PBB Ban Ki-moon prihatin terhadap kekerasan yang terjadi di Jalur Gaza dan Israel Selatan. Hari Kamis (17/4), Ban meminta semua pihak yang bertikai untuk menahan diri. Situasi di Gaza dan Israel Selatan sangat tegang, menyusul terjadinya serangan oleh tentara Israel ke Jalur Gaza. Serangan yang berlangsung Rabu (16/4) itu menewaskan 23 orang, termasuk juru kamera Reuters, Fadal Shana. Tewasnya Shana membuat Pemred David Schlesinger meminta kasus ini diusut. Shana terkena rudal saat bekerja memfilmkan serangan tank Israel di Jalur Gaza. Ketika wartawan lainnya mencoba mendekati Shana untuk menolongnya, rudal kedua melesat. Sekjen PBB mengutuk aksi kekerasan tersebut, karena menimbulkan banyak korban jiwa, termasuk 5 anak-anak. Ban Ki-moon meminta Israel mematuhi hukum kemanusiaan dan Hak Azasi Manusia. Ban juga mengecam serangan roket yang dilakukan Palestina ke Israel Selatan. Selain 20 warga Palestina, kekerasan juga menewaskan 3 tentara Israel. Shana mengemudikan mobil ke kamp pengungsi Al-Bureij dengan maksud mengabadikan 9 warga sipil yang tewas akibat serangan Israel sebelumnya. Serangan Israel dikecam keras oleh Presiden Palestina Mahmoud Abbas yang mendesak semua pihak mematuhi gencatan senjata. Saat insiden terjadi, Abbas sedang melakukan lawatan 3 hari ke Moskow. Jubir Palestina, Nabil Abu Rudeina mengatakan Presiden Abbas mengutuk keras eskalasi kekerasan yang dilakukan Israel di Jalur Gaza. Warga sipil dan wartawan diingatkan untuk tidak memasuki kawasan berbahaya. (AP/Pra)-o
Di akhir berita kita lihat bahwa Kedaulatan Rakyat melansir berita itu dari kantor berita AP. Berarti peristiwa tewasnya Fadal Shana itu sudah tidak memenuhi unsur aktual jika dipublikasikan pada Minggu (11/1).
Seharusnya OANA dan juga media massa di Indonesia yang melansir berita dari organisasi kantor berita itu memperhatikan masalah aktualitas tersebut. Memang benar secara kontekstual peristiwa terbunuhnya Fadal Shana itu tepat apabila dikaitkan dengan agresi Israel atas Palestina.
Saya pikir media massa dan teman-teman jurnalis yang mengaku solider atas tewasnya Fadal Shana juga mengetahui latar belakang dari sebuah kejadian baru kemudian bersikap.
Keputusan untuk menggelar aksi solidaritas memang baik, karena pada dasarnya wartawan dan juga tenaga medis seperti halnya warga sipil tidak boleh ditembak dalam kondisi perang.
Di luar itu semua, saya sendiri jadi berpikir-pikir, apakah OANA ketika mengutuk kekerasan oleh Israel ini, sama sekali belum mengetahui latar belakang serta waktu terbunuhnya Fadal Shana. Sehingga baru pada tanggal 11 Januari 2009 mengutuknya, padahal kejadian sudah dari bulan April 2008. Atau justru ada 'agenda' lain yang ingin dicari?
Saya sendiri merasa gelisah makanya pemikiran pribadi ini saya rangkai menjadi sebuah curahan hati....
salam damai
adim
5 komentar: