Tupu tampak asyik
sendiri. Mengenakan kupluk berkuping dan bergigi dua, Tupu tidak menyadari
kehadiran seekor anjing abu-abu di dekatnya. Dia kaget begitu tahu posisi
anjing sudah begitu dekat dari suara gonggongannya. Tupu berupaya menghalau
anjing itu dengan mainannya.
Karena tidak
berhasil, Tupu meniup peluit merah yang sehari-hari dia kalungkan di lehernya.
Prittt, priiitt, priitt !!!
Moyo, sang
kakak, keluar dari rumah dan membawa Tupu mendekat ke rumah. Anjing itu dia
lempar dengan mainan Tupu. Usahanya berhasil, tapi Tupu menangis karena
mainannya rusak.
Melihat adiknya
sedih, Moyo pun berusaha menghiburnya. Kedekatan antara keduanya terlihat jelas
saat Moyo berusaha merangkul adiknya. Pelan-pelan, Tupu melupakan tangisnya. Kegembiraan
Tupu semakin menjadi saat Baba, sang ayah pulang dan membawakan balon merah
untuknya.
Dekat rumah
mereka tinggal Haki, yang memiliki seorang anak perempuan, Lacuna, yang selalu
duduk di kursi roda. Sesekali Haki menyapa Tupu saat lewat di depan rumahnya.
Mereka hidup berdampingan dengan mesra.
Tapi semua itu
berubah drastis dalam waktu singkat. Haki tidak mau berdekatan dengan lagi
dengan Baba yang hanya memiliki satu tangan itu. Perubahan itu akibat sebuah
tanda segitiga merah di jendela rumah Baba.
Sejak ada tanda
itu, Baba dibawa pergi oleh orang berseragam dan bersenjata. Dia tidak kunjung
kembali. Moyo yang berusaha mencari ayahnya malah ikut dibawa orang bersenjata.
Suara peluit yang ditiup Tupu tidak bisa membawa Moyo dan Baba kembali.
Itulah sebagian
adegan dari pertunjukan teater boneka bertajuk Mwathirika yang dibawakan oleh
Papermoon Puppet Theatre di Institut Francais Indonesia, Bandung, Jumat (15/6)
kemarin.
Boneka-boneka
itu tidak bersuara. Yang ada hanya panggilan nama, selebihnya berkomunikasi
dengan bahasa tubuh. “Boneka itu memang tidak ada pita suaranya, jadi lebih
pada pergerakan. Gerak itu bahasa pertama manusia juga,” kata Iwan Effendi,
salah seorang konseptor Papermoon Puppet Theatre.
Bersama
istrinya, Maria Tri Sulistyani atau Ria
yang menjadi sutradara pertunjukan ini, Iwan berhasil menghadirkan sebuah drama
kehidupan soal kehilangan yang dialami oleh banyak orang.
Di bagian awal, mereka menampilkan teks di layar hitam yang menyatakan pertunjukan Mwathirika didedikasikan
kepada korban dan anggota keluarga yang hilang pada September 1965 dan tragedi
lainnya di dunia yang diakibatkan oleh gejolak politik.
Mwathirika, kata
Ria, merupakan bahasa Swahili yang berarti korban dalam bahasa Indonesia. Moyo
sendiri berarti hati, Tupu berarti kosong, Baba berarti ayah, dan Haki berarti
benar. Nama Lacuna sendiri diambil dari bahasa Inggris yang berarti celah.
“Ini adalah
sebuah kisah tentang adanya sejarah kehilangan di dalam hidup kita. Bukankah
kalau kita tahu tentang apa yang terjadi di masa lalu, maka kita bisa
memahami kenapa kita berdiri di sini sekarang dan mau pergi ke mana di masa
mendatang?” sebut Ria dalam katalog pementasan.
Iwan mengungkapkan, kisah yang mereka tampilkan itu banyak yang
terinspirasi dari cerita orang-orang yang benar merasakan kepahitan akibat
tragedi tahun 1965 lalu. “Kakek saya seorang dalang yang kemudian harus
menjalani masa penahanan pada masa itu,” kenang dia.
Adegan yang mereka ambil dari pengalaman nyata pada masa itu tergambar
saat Moyo menangkap katak untuk bahan makanan bersama adiknya. Secara umum
kisah ini sangat menyedihkan karena penonton dibawa ke dalam suasana kehilangan
orang terdekat, terkasih, dan tercinta.
Tengok saja Haki yang tidak mau menyapa atau sekedar melihat tetangganya
yang sudah dicap dengan tanda segitiga merah. Lacuna yang sehari-hari bermain
dengan Tupu disuruh pulang dan tidak bergaul. Haki baru tahu soal kehilangan
yang dialami Tupu, saat dia menemukan kursi roda Lacuna terguling berantakan.
Untuk mengingatkan
pahitnya kehilangan akibat tragedi tersebut, Ria dan Iwan sengaja memilih media
boneka. “Dengan boneka itu sepertinya orang-orang lebih bisa menerimanya,
mungkin dianggap lucu sehingga mau memperhatikan dan kemudian larut dalam
ceritanya,” ungkap Ria.
Boneka-boneka
yang dibuat dengan cara papiermache atau melapisi kertas demi kertas itu mereka
tampilkan di panggung dengan teknik bunraku dan kuruma ningyo. Kedua teknik itu
berasal dari seni tradisi Jepang.
Bunraku
merupakan teknik memainkan satu boneka tradisional secara bersama-sama oleh
beberapa orang. Gerakan boneka terlihat hidup dan terasa bernyawa, lengkap
dengan emosi yang tersalurkan dari pemainnya. Teknik kuruma ningyo adalah
memainkan boneka yang sama sembari duduk di atas kursi beroda. Cara ini lebih
efektif dibandingkan bunraku yang pemainnya lebih banyak.
“Kami latihannya
sembari menghadap kaca, jadi semua pergerakan harus diperhitungkan,” terang
Iwan yang mengawali karirnya sebagai pelukis.
Meski demikian, para
pemain boneka ini juga kadang tampil sebagai bagian dari cerita. Saat manggung, mereka memakai topeng. Kadang
sebagai anggota organisasi yang dicap segitiga merah, pemain sirkus, dan paling
sering berlalu lalang sebagai tentara yang membawa Baba dan Moyo pergi untuk
selamanya.
Soal tidak
adanya sosok ibu dalam Mwathirika, Ria dan Iwan sepakat, rasa kasih sayang dan
hubungan emosional tidak dimonopoli oleh kaum ibu saja. Hal itu bisa juga
terjadi antara ayah dengan anaknya atau adik dengan kakaknya. “Kalau ada sosok
perempuan, kami khawatir dia yang jadi lebih emosional. Padahal semuanya juga
bisa merasakan itu,” kata Ria yang sempat menjadi guru taman kanak-kanak ini.
*tulisan ini dimuat di Suara Pembaruan, edisi Senin, 18 Juni 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar