Semenjak pertama mendengar kabar ada warga Jatinangor yang meninggal setelah dikeroyok oleh beberapa orang praja, langsung pikiran menerawang pada headline berita di koran keesokan harinya. Pastilah, isinya menghujat IPDN yang memang tengah berusaha membangun image-nya sebagai lembaga pendidikan kedinasan yang memang masih patut dipertahankan (iya ga sih?).
Entah jengah atau jenuh, tapi yang terpikir saat itu peristiwa meninggalnya Wendi Budiman pastilah bisa menjadi sebuah bahan pemberitaan yang menarik. Terbersit ide untuk menuliskan seperti apa sebenarnya latar belakang Wendi (yang diklaim sebagai korban-memang karena sekarang dia sudah almarhum-semoga diterima di sisiNya).
Belakangan atau tepatnya Selasa (24/7) sore, tiga orang purna praja (yang udah lulus dari IPDN) buka mulut. Gondo Widodo, Andi Irmayanti, dan Megawati mengatakan sebelum ada kejadian pemukulan terhadap Wendi, mereka bertiga sempat mendapatkan masalah dari Wendi.
Andi dan Megawati, keduanya perempuan, mengaku mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari Wendi dan kawan-kawannya. "Mereka mendekat-mendekat, kami terganggu dan maju ke depan," kata Andi.
Keputusan untuk maju dan mendekat ke arah Gondo ternyata dimaknai lain oleh Wendi cs yang saat itu, kata Gondo, mulutnya berbau alkohol, bicara tidak becus, dan jalannya sempoyongan.
Gondo mendapatkan 'hadiah' sundutan rokok di tengkuknya, setelah itu rokok tersebut dijatuhkan oleh Wendi. "Saya kesal dan sakit. Rokok itu saya injak dengan kaki," papar Gondo.
Ternyata tindakannya itu malah membuat dirinya dipiting dan menjadi bulan-bulanan Wendi cs. Dia dipukuli sampai bagian di bawah mata kanannya sembab, ada lecet di dahinya, dan bibirnya pecah.
Begitu pintu lift terbuka, Mega dan Andi bergegas meminta tolong keluar. Bambang sendiri yang dari tadi terpisah dengan Gondo di dalam lift tidak bisa berbuat banyak kecuali menahan agar pintu lift terbuka lebih lama.
Beruntung pertolongan datang. Sekelompok orang datang dan menarik tubuh Gondo yang sudah terjatuh dan tetap dipukuli. "Kalau tidak diselamatkan, mungkin saya yang mati," jelas dia.
Baik Gondo, Andi, dan Mega mengaku tidak mengetahui kejadian selanjutnya. Mereka sudah diamankan di dalam tempat biliar. "Kami tahu ada ribut-ribut, tapi tidak melihatnya."
Hal yang terjadi belakangan sudah kita ketahui semua, Wendi terluka di beberapa bagian sampai dia pingsan dan tidak bangun lagi untuk selamanya setelah dirawat di Rumah Sakit Sumedang.
Warga Jatinangor, tukang ojek, dan mahasiswa sekitar kampus IPDN pun mendatangi kampus pencetak birokrat sipil itu secara berturut-turut, Senin dan Selasa. Satu kata yang mereka sepakat. "Bubarkan IPDN!!"
Kronologis itu memang berbeda dengan yang dipakai polisi. Kronologis polisi sendiri sudah tersiar di berbagai media massa.
Yang menarik perhatian, kenapa eh kenapa, wasana praja (tingkat IV) IPDN bisa-bisanya ikut memukuli Wendi. Ikut memukul itu bukan asumsi tapi pengakuan dari lima orang praja yang ada di ruang tahanan Mapolres Sumedang sekarang ini. Bukannya mereka yang sudah hampir diwisuda, dan bahkan dikukuhkan oleh presiden bulan Agustus nanti tetap saja sebagai praja yang tidak boleh keluar lebih dari jam 10 malam, mereka harusnya masih menggunakan seragam IPDN, mereka sebagai calon pamong praja seharusnya melerai bukan ikut mukul.
Mengapa oh mengapa...pengeroyokan itu masih ada....? Ga malu sama penonton bola yang cukup militan dan bisa menerima hasil kekalahan di Piala Asia lalu?
6 komentar: