Vincent Albert Samoel Rumahloine, 30 tahun punya cara lain membaca perkembangan Kota Bandung. Lewat 18 foto keluarga di Kampung Pulosari, RT09/RW15, Kelurahan Taman Sari, Kecamatan Bandung Wetan, Vincent menghadirkan kenyataan kehidupan di kota yang perputaran uangnya mencapai Rp7,7 triliun dalam triwulan pertama 2015.
Foto-foto tersebut dia bingkai dengan tajuk “Family Portrait”. Karya
ini merupakan bagian ke dua dari proyek pribadinya yang dia beri judul “Melainkan
Tentang Kamu”.
Seperti judul pameran
tunggalnya, foto-foto yang Vincent hasilkan memang berupa foto keluarga. Idealnya,
sebuah foto keluarga itu menampilkan keluarga inti dengan senyum di wajah
objeknya. Seiring perjalanannya, lulusan Seni Keramik Fakultas Seni Rupa dan
Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) ini sadar, konsep ideal itu hanya
bayangannya belaka.
“Karena ternyata banyak juga
keluarga yang bermasalah. Ada yang membesarkan anak sendiri, ada yang cerai,
ada yang mengadopsi anak. Ternyata konsep keluarga itu benar-benar cair.
Makanya konsep saya juga berubah,” ujar dosen desain grafis di Institut Teknologi
Harapan Bangsa ini.
Tengok saja karya favoritnya,
Sarinah dan Agus. Foto itu memperlihatkan Agus yang sedang mencium pipi ibunya.
Foto itu mengambil latar di bawah Jalan Layang Pasteur Surapati. Mata Agus
terpejam saat difoto. Sarinah yang menggunakan hijab seperti hendak menghadiri
pengajian, merespon tindakan anaknya dengan senyum.
“Itu foto pertama saya di saat
kacau. Hari pertama, tidak ada yang bisa saya foto, tapi kebetulan Agus dan
ibunya bersedia. Waktu itu, saya datang, Agus langsung mencari ibunya. Ada lima
foto, sedang berdiri, duduk, memeluk, dan mencium. Saya ambil yang sedang
mencium,” kata Vincent yang mengenal Agus saat dia tinggal di Pulosari selama
1,5 bulan.
Agus, sambung Vincent merupakan
potret salah satu pemuda yang kerap nongkrong di dekat lapangan ujung Kampung
Pulosari. Perkenalannya itu membantu dia dalam proses pengambilan foto. “Saya
ngobrol di sana kalau malam sampai kenal dengan Agus. Dia bilang memang nakal
tapi kalau sudah dimarahin sama ibunya, tidak akan melawan,” tutur Vincent
menirukan Agus.
Buat mengapresiasi karya-karya
Vincent ini, pengunjung harus masuk ke dalam lingkungan Pulosari. Karya-karya,
yang dicetak di atas kertas HVS ukuran A3 dan ditempel hingga berukuran 130x90
sentimeter, itu disebar dan ditempel di dinding rumah yang berdempetan.
Menikmati karya-karya ini
seperti masuk ke dalam labirin di tengah kota. Lembabnya gang yang kurang
terpapar matahari, aroma ikan asin, suara anak-anak kecil riuh rendah
berkejaran, serta jemuran yang ada di depan mata merupakan bagian dari
pengalaman mengapreasi pameran ini.
“Sengaja biar yang datang juga
harus berinteraksi dengan masyarakat. Ya punten-punten kalau lewat karena
memang seperti itulah kehidupan di sini. Kalau pameran di galeri, mungkin
orang-orang di sini bingung harus seperti apa. Tapi biar saja orang-orang yang
biasa ke galeri datang ke sini. Biar tidak ada batas atau rasa sungkan,” kata
Vincent.
Salah satu contohnya adalah foto
Neng dan Nunung, anaknya. Kedua perempuan ini berpose di ujung dapur yang juga
bagian dari ruang keluarga, sekaligus ruang tamu dan tempat tidurnya. Makanya
jangan heran kalau ada baso goreng yang menjadi barang jualan mereka, colokan
listrik, kalender dari partai politik hingga poster film animasi Frozen di
latar belakang fotonya.
Rata-rata rumah di Pulosari
memang seperti itu karakternya. Memanfaatkan ruang semaksimal mungkin. Meski
demikian, mayoritas objek yang difoto oleh Vincent memberikan senyuman malah
sampai ada yang kelihatan giginya. “Saya perlihatkan foto-foto yang akan saya
perbesar. Warga yang memilih sendiri. Sama seperti lokasi penempelan foto itu
dibantu kawan-kawan Karang Taruna dan komunitas di sini,” imbuh Vincent,
Pilihan warna hitam putih
seperti hasil fotokopi. Lokasi pemasangan foto yang dibiarkan terpapar hujan
atau sinar matahari, mendekatkan karya-karya ini pada keseharian masyarakat di
sana. Foto-foto itu rentan jika tidak ada yang menjaga. Sementara masyarakat di
sana terbukti bisa mempertahankan diri dari berbagai dinamika kehidupan di
kota. Namun bukan berarti peran serta pemerintah tidak diperlukan untuk
membantu warga di sana.
Perlu proses tiga bulan bagi Vincent
buat mendapatkan foto-foto itu. Satu persatu pintu rumah dia sambangi. Bersama
Erna Susilawati, warga Pulosari sekaligus rekan Vincent di komunitas Rumah
Cemara, mereka menceritakan proyeknya dan meminta kesediaan keluarga di sana
untuk diabadikan momennya.
“Tidak semua juga bersedia. Ada
yang alasan keluarga sedang tidak lengkap, ada juga yang sedang ribut, jadi
kita menyingkir saja,” kenang Vincent dibenarkan Erna.
Perkenalan Vincent dengan tempat
itu sudah berlangsung sejak 11 tahun silam. Saat itu, Jalan Layang
Pasteur-Surapati baru berdiri. Berbekal kamera pinjaman dari kakaknya,
mahasiswa baru ini berkeliling mencari objek foto human interest. “Dari sana mulai tertarik sampai akhirnya bisa
berkegiatan lagi di sini,” ungkap Vincent mengenang perjalanannya menjadi
relawan Rumah Cemara, organisasi berbasis komunitas yang bertujuan meningkatkan
kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS dan pecandu narkoba sejak tahun 2012 lalu.
Kawasan Pulosari sebuah wilayah
di dekat pusat kota yang beresiko untuk penyebaran HIV/AIDS dan obat-obatan
terlarang. Makanya tidak heran jika pada masa lalu, kolong jalan layang itu
terkenal sebagai daerah pencurian, perjudian, hingga tawuran.
Inisiatif masyarakat yang
membentuk komunitas guna menjaga lingkungan seperti Komunitas Kuya Gaya juga
menarik perhatian Vincent. Apresiasinya itu dia sampaikan lewat karya berukuran
17x2,5 meter di bantaran Sungai Cikapundung. Karya itu memuat foto, setengah
badan, tujuh orang pegiat komunitas di sana seperti Mang Han, Mang Ebek, Dian, Geboy, dan Jojo. “Mereka luar biasa.
Membersihkan sungai dan berkegiatan yang intinya menggalang kepedulian anak
muda, buat saya ini inspirasi,” imbuh Vincent.
Pameran ini sedianya digelar hingga hari Sabtu, tanggal 20 Juni 2015
lalu. Namun Vincent menyerahkan semuanya kepada warga di sana. Karena sebelum
pameran selesai juga, sudah ada beberapa foto yang berpindah dari dinding di
luar jadi masuk ke dalam rumah. “Mungkin mau dikoleksi, bebas-bebas saja,” kata
Vincent yang salah satu fotonya dipamerkan dalam ajang OFFM Public Art Panels, Frankfurt, Germany saat
ini. [Adi Marsiela]