Jumat, 25 Mei 2007
Bahasa Tubuh yang Berwarna
Konsep itu pula yang coba diangkat oleh grup sandiwara boneka C Koi Ce Cirk asal Perancis. Dalam pergelarannya di Auditorium CCF, Selasa, 22 Mei 2007 kemarin, boneka-boneka yang tidak berbicara dengan bahasa ibunya itu mampu memberikan sebuah hiburan segar yang terasa baru.
Kebaruan itu coba ditampilkan oleh Ludovic Harel, Eglantine Le Coz, Maud Beraudy, dan Jerome Guillot di depan sebuah panggung berlatar hitam. Mereka memainkan boneka-boneka berbentuk bulan sabit, ikan, ular, laba-laba, semut, hiu martil, jamur, bunga, kupu-kupu, sampai lebah dengan sebuah teknik pencahayaan yang memikat dengan bantuan sinar ultra violet. Glow in the dark, mungkin itu istilah yang tepat.
Grup yang lahir pada tahun 2001 ini mempersembahkan pertunjukkan mereka kepada remaja dan juga kaum muda, bahkan anak kecil sekalipun bisa mengapresiasinya.
Cerita bisu penuh warna-warni itu sendiri awali oleh rutinitas bulan sabit yang memahat bintang dengan menggunakan palunya. Satu persatu bintang itu menerangi panggung yang gelap. Di tengah keasyikannya, sang bulan kebingungan karena palunya hilang, dia pun melayang-melayang melawan hukum gravitasi sampai akhirnya tiba di bumi.
Ternyata di bumi, sang bulan yang ukurannya lebih besar dari postur orang dewasa ini menemui banyak hal baru. Kupu-kupu, lebah, bunga, dan jamur-yang lagi-lagi penuh warna-warni itu-memukau bulan. Bahkan dia sampai mabuk sempoyongan sehabis mencium aroma jamur.
Kelucuan sendiri semakin terasa saat bulan berhadapan dengan ular cobra yang ukurannya tidak kalah besar dengan tubuhnya. Untung saja, lebah datang membawakan seruling yang membuncit di bagian tengahnya, seperti suling-suling yang banyak dipakai pawang ular di India. Dari pemahat bintang, jadilah bulan sebagai pawang ular.
Pertemuan bulan dengan semut di bumi ternyata memberikan keuntungan tersendiri. Pasalnya, dia harus berhadapan dengan laba-laba berkaki delapan yang jahat dan menyerangnya. Untung saja semut mau berkorban untuk bulan.
Dia pun melanjutkan perjalanannya ke dalam laut. Mimik bulan semakin lucu ketika dia harus mengenakan masker dan snorkel (alat pernafasan). Di alam bawah air itu, bulan juga menemukan cintanya, sang bintang laut. Mereka berdua bahkan sempat berciuman dan menari bersama layaknya anak remaja yang baru jatuh cinta, lengkap dengan rona pipi yang memerah.
Kejelian para pemain boneka ini patut diacungi jempol. Selain hanya memainkan bonekanya dengan tangan, tampilannya secara visual cukup memukau mata. Kisah itu sendiri ditutup dengan pertemuan antara hiu martil dengan sang bulan. Ternyata palu yang selama ini dicarinya, ada di mulut ikan tersebut.
Menemukan palunya, sang bulan pun kembali melayang ke langit. Dia kembali duduk dan memahat bintang untuk menerangi malam-malam kita di dunia
Kamis, 24 Mei 2007
Saat Aksesoris Mengalahkan Wajah Cantik Model
Lewat cara inilah, Wilfrid Rouff mencoba mengekspresikan persepsinya tentang dunia fashion dari balik rana kameranya. Dia tidak berusaha menggambarkan kecocokan sebuah busana dengan orang yang memakainya, melainkan mengeksplorasi hasil fotonya agar dapat memaksimalkan rancangan atau aksesoris yang melengkapi busana itu.
Padahal, fotografi dalam dunia fashion menjadi aspek yang penting. Satu hal yang paling sederhana untuk mempublikasikan karya atau rancangan yang terbaru dari seorang desainer.
Lihat saja karyanya yang berjudul “Kelly”. Rouff sengaja memotret dengan sudut ekstrim dari depan sang model yang mengenakan topi berwarna orange. Lewat komposisi berdiri, dia seakan ingin menegaskan bahwa topi yang bertabur payet-payet itu memang indah digunakan sebagai sebuah aksesoris.
Wajah sang model sendiri tidak diungkapnya. Fotografer kelahiran tahun 1951 ini hanya mengambil gambar dari bagian hidung ke bawah, sedangkan bagian atas atau dua pertiga dari foto berformat vertikal itu ditutupi oleh topi.
Ketertarikan Rouff akan kekayaan aksesoris guna meningkatkan tampilan seseorang, ia tampilkan dalam karya lainnya berjudul ‘Patou’. Masih dalam format berdiri, dia mengambil gambar muka seorang perempuan dengan cadar berpola polkadot hitam. Cadar itu sendiri terlihat dengan jelas seperti sebuah jaring laba-laba.
Bukannya memperburuk atau merusak riasan sang model yang memang sudah terlihat cantik, cadar polkadot itu malah menambah kesan misterius dari sang pemakainya. Fungsi publikasi dari foto ini menjadi semakin terasa meskipun hanya terfokus pada bagian wajah sang model.
Dua foto tadi hanya sebagian kecil saja dari 45 buah foto karyanya yang turut dipamerkan di Galeri Soemardja, Institut Teknologi Bandung (ITB). Kurator galeri tersebut, Wiyoga Muhardanto menuturkan karya-karya Rouff terlihat lebih spesifik atau mengkhususkan diri dalam memandang dunia adibusana.
Gagasan berkarya Rouff, terangnya, adalah dengan melakukan cropping images (pemotongan gambar). Memang sebagian besar karya yang dipamerkan ini tampak seperti dipotong, entah di bagian kepala, kaki, atau malah di bagian (maaf) buah dada sang model.
Namun, jika kita mengingat esensi berbusana adalah sebagai sebuah cara menutupi malu atau meningkatkan kepercayaan diri seseorang yang mengenakannya, maka pemotongan gambar yang dilakukan Rouff tidak akan terasa menganggu. Pemotongan itu lebih terasa sebagai sebuah ‘jurus’ untuk mendramatisir hasil fotonya.
Jurus itu sangat terasa pada karyanya yang diberi judul ‘Ungaro’. Terlihat di foto itu kalau sang perancang memang memberikan kesan glamour pada karyanya dengan memberikan banyak kerutan di busana yang digunakan oleh sang model, lengkap dengan bunga berwarna emas, serta membawa baquet bunga matahari.
Namun dia, malah memotong bagian kepala sang model dan hanya menampilkan bagian tengah rancangan tersebut lengkap dengan bunga-bunganya. Keindahan dan keanggunan busana tersebut juga tidak terasa berkurang.
Keunikan Rouff dalam mempresentasikan karya-karyanya ini tidak terlepas dari pencariannya dalam dunia seni. Dia juga aktif menciptakan pertunjukkan dan menjadi pembicara dalam bidang seni. Selain itu dia juga membuat karya video, situs seni, dan berkolaborasi dengan seni-seni yang lain.
Salah satu karyanya yang cukup menarik perhatian pengunjung pameran adalah ‘Yves Saint-Laurent’. Rouff mengabadikan gambar seorang model yang tengah mengikat tali sepatunya yang memiliki lebar seperti pita untuk mengikat rambut anak-anak pada tungkai kakinya.
Saat gambar diambil, sang model tengah menunduk dengan posisi sepatu kiri yang hendak diikatkan talinya itu menyilang sembari naik ke atas papan di depan kakinya yang kanan. Keanggunan seorang model sangat terwakilkan dalam gaya mengikatnya.
Tidak hanya itu, penampilannya dengan mengenakan setelan celana dan kemeja lengan panjang yang dilengkapi warna merah dan biru garis-garis vertikal membuat komposisi warna dari foto itu cukup kaya. Ditambah lagi, potongan topi bundar yang menutupi wajah sang model berwarna kuning.
Gaya model itu membawakan busana sudah cukup terwakili dalam foto tersebut. Dia tidak perlu lagi melenggak-lenggok di atas catwalk. Pasalnya, lekukan, kenyamanan sang model dalam mengikat tali sepatunya sudah menunjukkan betapa cantiknya rancangan itu. [Adi Marsiela]
Jumat, 18 Mei 2007
Berbicara Lewat Serat
Beragam cara orang memaknai dan mengungkapkan rasa. Tenunan dan rajutan benang yang dipadukan dengan teknik tempelan (collage) menjadi pilihan Biranul Anas dalam memuji kebesaran Sang Pencipta.
Lihat saja karyanya yang bertajuk ‘Godaan di Lahan Meranggas’, di situ tampak kegairahan seekor cendrawasih dan merak yang ingin menggoda pasangannya masing-masing. Mereka berdua bertengger di sebuah dahan tanpa dedaunan. Warna kuning dan merah dari kedua burung itu, terpancar mendominasi warna coklat muda yang menjadi warna latar dari karyanya.
Karya lainnya, ‘Bara di Tanah Zamrud’ menunjukkan betapa komitmen Anas dalam seni serat yang sudah digelutinya semenjak tahun 1970-an. Dia memadukan batang-batang dan ranting kayu yang sudah kering dengan benang menjadi sebuah pohon berwarna merah, sekali lagi tanpa daun.
Kegelisahannya akan kehancuran alam Indonesia tampak dalam karya itu. Menurut Anas seharusnya tidak ada pohon yang mati di Zamrud Khatulistiwa ini. Idealnya, pohon itu penuh dengan daun-daun hijau yang menyejukkan badan dan jiwa. Keindahan bunga, burung-burung, senja, dan bentuk yang ada dalam benaknya menjadi benang merah proses kreatif Anas.
Dua karya Anas tadi merupakan bagian dari pameran tunggalnya “Serat-Serat Budaya” yang digelar di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung dari tanggal 4 hingga 20 Mei 2007.
Meskipun karya-karyanya cenderung tampil dalam format vertikal, Anas tampaknya tidak terjebak dalam sebuah bentuk yang geometris dan dekoratif. Dia mengolah warna dan bentuk dengan material yang hanya diikat. Teknik ini merupakan teknik tapestry (permadani) yang paling tua dalam seni serat.
Dia menggabungkan berbagai komponen seperti benang, daun kering, bambu, rotan, dan lainnnya di atas tenun. Jim Supangkat dalam kurasinya menyatakan Anas berhasil mengembangkan teknik ikatan, teknik tenun, rajutan, dan mengolahnya menjadi bahasa ungkapan untuk membangun gambaran yang nyaris realistik.
Motif-motif yang tampil dalam karya Anas mengandung berbagai makna dan pesan yang tidak semuanya ada pada teknik tenun. Gambaran bunga pada kain tradisional Jawa, misalnya adalah gambaran yang dikerjakan dengan teknik batik. Anas mengungkapkan kembali gambaran bunga dengan teknik batik ini dengan teknik tenun.
Perjalanan Anas dengan seri seratnya sendiri sudah dimulai semenjak tahun 1970-an. Saat itu, dia mengandalkan teknik simpul atau macramé. Lepas masa itu, dia mencoba teknik-teknik lain, terutama tenun (tapestry), sulam, dan tempelan (collage). Tahun 1990-an hingga sekarang, dia mencampuradukkan berbagai teknik itu demi menguatkan gagasan yang diusung.
Obyek yang diangkat dalam karya juga berkembang. Hal yang sama diakui oleh Jim Supangkat. Bermula dari tema abstrak yang menonjolkan teknik sulaman berwarna monokrom, dia menjamah corak impresif dari alam semesta. Belakangan, ia kepincut pada obyek bunga, dalam berbagai bentuknya.
Dia tak sungkan membalut bentuk bunga dalam paduan warna yang cerah ceria, bahkan acap terasa “manis” melebihi kenyataannya, semisal daun yang dianyam bersama benang pada tulang-tulangnya. Hal ini dia tuangkan dalam ‘Suar Alam 1’, ‘Black Garden 3’, ‘Putik Mas’, dan ‘Anyaman Alam’.
Anas mengenal seni serat sejak belajar desain tekstil di ITB. Salah satu dosennya, Yusuf Affendi—yang baru datang dari studi desain tekstil di Rochester Institute of Technology, Amerika Serikat—dikenal sebagai perintis seni serat kontemporer sejak pertengahan tahun 1970-an. Tetapi, Anas mengaku benar-benar menyadari potensi serat sebagai ekspresi seni saat mengikuti kursus desain tekstil di Osaka, Jepang, tahun 1974-1975. Ketekunannya pada seni serat menghantarnya ke berbagai pameran sampai sekarang. Dia juga menjadi satu-satunya orang dari Indonesia yang pernah mengikuti Triennale Tapestry di Polandia.
Perjalanan seni serat Anas dan perupa lainnya di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari tumbuhnya cara pandang baru di arus utama dalam melihat gejala rupa. Pemandangan baru itu mulai nampak pada akhir 50-an dan awal 60-an. Di masa itu istilah new fiber (seni serat baru) telah menjadi pembicaraan di Amerika dan Eropa Tengah, salah satu produknya tenunan tapestry.
Gelombang besar perubahan ini menaikkan citra baru seni serat. Pada 1969 untuk pertama kali, dibawah bendera Seni Serat Kontemporer Amerika, seni serat masuk ke ruang pamer bergengsi Museum Seni Modern, New York City. Sebelumnya pada 1962, telah berlangsung International Biennial of Tapestry di Switzerland.
Karya-karya Anas menyiratkan semangat multikulturalisme. Dengan keterampilan tinggi, dia meracik berbagai elemen rupa dari kebudayaan asing dan lokal. Ornamen tradisional yang dekoratif dan dibuat dengan keterampilan teknis diangkat dan dipadukan dengan seni tenunan tapestry yang berlatar belakang sejarah Barat.
Anas lincah meramu berbagai material—seperti bambu, rotan, kayu, dan manik-manik—menjadi jalinan serat yang menyuarakan gagasan tentang perenungan batin, impresi semesta, atau penghargaan terhadap perempuan.
Karya dan proses kreatif seniman ini termaktub dalam buku tulisan Jim Supangkat-Rizky Ahmad Zaelani, Ikatan Silang Budaya: Seni Serat Biranul Anas, yang diluncurkan tahun 2006 lalu. [Adi Marsiela]
Kamis, 17 Mei 2007
Rendevouz at Dagostraat
By: Arya Dipa
Perempuan itu terlihat asyik membolak-balik halaman majalah yang dipegangnya. Ia tampak tidak terganggu oleh suasana kepadatan Kota Bandung, Jumat (11/5) petang. Majalah yang dipinjamnya dari perpustakaan café Prefere 72 itu, dia pakai untuk menghabiskan waktunya menikmati suasana santai di sore hari.
Perempuan bernama lengkap, Cut Nany, 22, itu tidak sendirian. Dia ditemani oleh Bhakti P. Rahardjo, 29, yang sedang menyeruput rokoknya dalam-dalam ketika saya menghampiri keduanya. Bhakti yang berprofesi sebagai konsulan interior design rumah ini mengaku sering menghabiskan waktunya di sana. Mulai dari sekedar ngobrol dengan rekannya sampai membuat perjanjian bisnis dengan partnernya.
Mereka juga memilih tempat duduk di bagian belakang café yang baru berdiri enam bulan ke belakangan ini. Alasannya tidak lain, mencari kenyamanan. Memang café yang satu ini menjadi sebuah tempat alternatif baru bagi mereka yang ingin nongkrong di sekitar Jalan Dago, Bandung.
Jalanan yang tadinya berupa jalan setapak saja semenjak tahun 1810 ini berkembang menjadi tempat ngobrol, bisa serius atau ngalor-ngidul, ngegosip, menyebar isu nggak penting, membahas makanan dan minuman, membicarakan kekonyolan, politik, politikus ataupun pakar sampai sekarang.
Sudarsono Katam, 61, penulis sekaligus kolektor buku menuturkan dirinya sudah bermain sepeda di jalanan itu semenjak tahun 1952. “Tempat itu nyaman,” kata dia. Memasuki tahun 1960-an, mulai ada terlihat anak-anak muda yang nongkrong di bagian selatan jalanan tersebut.
Sepuluh tahun berlanjut, jalanan yang tadinya hanya untuk nongkrong saja berubah menjadi sebuah jalanan yang memiliki daya tarik tersendiri. Mulai dari tempat makan roti bakar hingga perempuan, ada di sana. “Istilahnya kalau dulu itu ‘gong-li’ (bagong liar-babi liar),” terang Katam merujuk pada istilah perempuan yang suka mangkal di sana.
Pertambahan penduduk dan juga pertumbuhan ekonomi, paparnya, mulai terasa memasuki kawasan pemukiman elit di bagian utara Bandung ini pada awal tahun 1990. Hal itu ditandai dengan mulai maraknya pertokoan. Padahal awalnya, Jalan Dago hanya diperuntukan untuk rumah tinggal dan villa para tuan dan noni asal Belanda.
Merunut pada situs resmi Bandung Heritage Society, pembangunan di sana sudah dimulai pada tahun 1910. Ini seiring dengan keinginan pemerintah Gemeente (kotamadya) Bandung untuk memperluas wilayah administrasinya ke arah utara. Orang merambah kebun dan sawah, membangun jalan Dago dan Cipaganti di Bandung Utara. Pembangunan dan pengerasan jalan Dago sampai ke hutan Pakar bersamaan dengan usaha Gemeente membangun reservoir air minum di Bukit Dago.
Katam yang menulis buku Bandung Kilas Peristiwa di Mata Filatelis Sebuah Wisata Sejarah mengungkapkan jalanan itu pada awalnya hanya menghubungkan daerah selatan Bandung, Karapyak (Dayeuh Kolot) dengan Mandalawangi, Sumedang Larang di sebelah timur Kota Bandung sekarang.
“Jalanan itu digunakan untuk jalur pengangkutan hasil bumi dari daerah Bandung utara ke gudang yang sekarang menjadi kantor Walikota Bandung,” imbuh dia seraya menambahkan pada jaman dahulu Kota Bandung dikelilingi oleh berbagai perkebunan seperti kopi, teh, dan kina.
Seiring dengan semakin banyaknya barang yang perlu dibawa, jalanan yang sampai sekarang masih dipenuhi dengan pohon damar di kiri kanannya itu, diperbesar sehingga mampu dilewati pedati. “Semenjak tahun 1910, kawasan itu digunakan untuk tempat tinggal orang Belanda.”
Bukti nyata kuda dan pedati pernah menjadi pengguna jalan itu masih bisa dilihat di depan Rumah Sakit Santo Borromeus, dekat perempatan Jalan Dago-Jalan Ganesha, depan SMAK Dago, dan SMAN 1.
Pada jaman penjajahan Belanda, jalanan ini juga digunakan sebagai lalu lintas pasukan kavaleri dari mulai daerah Van Houtenweg (Taman Sari bawah)-Huygensweg (Taman Sari)- sampai ke Dago. Bahkan, pada tahun 1960, jalanan itu sempat dibagi menjadi jalur kendaraan umum dan jalur kuda di sisi paling kiri dan kanannya. Bagian kiri untuk menuju ke jalur utara dan sisi kanannya untuk menuju ke selatan.
Penamaan Dago pada jalan itu juga menyimpan berbagai pertanyaan. Melansir pada tulisan ‘kuncen’ Bandung, Haryoto Kunto di buku ‘Semerbak Bunga di Bandung Raya’, nama jalan itu berasal dari bahasa Sunda.
Menurut dia, pada pertengahan abab ke-19, di antara Simpang Dago (sekarang) dengan kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) merupakan daerah hutan belukar yang sepi. Jalanannya belum bisa dilalui oleh kendaraan. Makanya, penduduk yang pergi pagi-pagi buta ke pasar biasanya saling menunggu satu sama lain agar dapat pergi dalam bentuk rombongan. Mereka juga melengkapi rombongannya dengan lelali yang bersenjata parang dan tombak untuk mengawalnya dari begal (penyamun). Kebiasaan menunggu itu dalam bahasa Sunda biasa disebut padago-dago.
Kebiasaan nongkrong dan berkumpul pada tahun 1970, kata Katam, menjadi embrio yang menunjukkan eksistensi Jalan Dago di Bandung. “Kebiasaan berkumpul di sekitar jalanan itu sampai sekarang masih terasa.”
Penamaan resmi jalan itu pun berubah menjadi Ir. H. Juanda pada tahun yang sama. Hal ini dilakukan untuk mengenang jasa-jasanya dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Setiap Sabtu malam, ribuan orang tumpah-ruah memadati pinggir jalan Dago ini. Kebanyakan merupakan anak baru gede. Mereka berkumpul di sana untuk menikmati makanan di cafe tenda pinggir jalan. Sementara puluhan klub pecinta kendaraan baik motor dan mobil memiliki tempat-tempat favoritnya sendiri. Bahkan kadang-kadang kita bisa menikmati life music gratis dari berbagai aliran musik mulai dari brass-band, pop, hingga musik 'underground' yang dimainkan di pinggir jalan.
Kawasan Dago memang dikenal sebagai kawasan paling 'hip' di Bandung. Setiap malam Minggu terutama pada awal-awal bulan orang berjubel memenuhi trotoar dan bahkan badan jalan untuk sekedar menghirup udara malam.
“Bandung itu Dago, Dago itu Bandung,” tegas Cut Nany mendeskripsikan pandangannya tentang jalanan itu.
Sampai sekarang, Jalan Dago bagi Cut Nany, yang tengah menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran merupakan jantung utama dari Kota Bandung. Perempuan asal Jakarta itu mengaku setiap kali kebingungan menentukan arah, maka dia akan mencari angkutan kota yang menuju ke Dago. “Kalau sudah di Dago, jadi mudah mau ke mana-mana,” terangnya.
Bhakti sendiri memiliki impian yang berbeda. Menurut dia seharusnya, jalanan itu bisa menjadi sebuah kawasan pedestrian mall.
“Mobil tidak boleh masuk kawasan itu. Semuanya berjalan kaki. Jadi café pinggir jalan yang sekarang mulai berkurang jumlahnya menjadi pertokoan, masih bisa ada. Kalau kawasan Braga itu sebagai kawasan heritage, Dago menjadi tempat belanja para pejalan kaki,” paparnya.
Memang kondisi Dago berbeda dengan Braga, yang semenjak awal pembangunannya sudah menjadi tempat berkumpul bos-bos perkebunan untuk menghabiskan uangnya. Berdasarkan Data Bangunan Bersejarah Kota Bandung tahun 1997 milik Bandung Society Heritage, ada sekitar 25 bangunan bersejarah yang dilindungi di jalan Dago itu. Seluruhnya termasuk klasifikasi A, yang berarti bangunan tersebut sangat istimewa dan tidak boleh diubah sama sekali. “Memang seharusnya Dago juga menjadi tempat belajar sejarah,” imbuh Bhakti.