Solusi Terbaik Kurangi dan Olah Sampah dari Sumbernya
Senin, 27 Oktober 2014 lalu, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil baru
saja meresmikan biodigester dan air siap minum di Gang Simpang, tepatnya dekat
kantor RW07, Kelurahan Babakan Surabaya, Kecamatan Kiaracondong, Bandung.
Biodigester berskala kelurahan itu mampu mengolah sampah organik, sejenis
sayur-sayuran dan sisa makanan menjadi gas metan.
Saat peresmian, wali kota yang berlatar belakang arsitek
profesional ini sempat menyaksikan ibu-ibu yang memasak memakai gas metan
tersebut. “Alhamdulillah peresmian ini sebagai masa depan Kota Bandung, di mana
sampah dan air hujan dapat dimanfaatkan,” kata Ridwan usai peresmian.
Biodigester yang bisa menampung sampah hingga 20 kubik ini
rencananya bakal dibuat di 151 kelurahan di seluruh wilayah kota. Harapannya,
masyarakat bisa mengelola sampah semenjak dari sumbernya. Sampah yang
dimasukkan ke dalam kubah, berbentuk setengah bola di bagian atasnya ini, akan
menghasilkan gas metan yang bisa dipakai untuk memasak atau energi listrik.
Wakil Wali Kota Bandung Oded M. Dahnial menyatakan pihaknya
sudah menganggarkan dana Rp6 miliar di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Perubahan 2014 untuk pengadaan biodigester berkapasitas 20 ton per hari
tersebut. Harapannya, alat pengolah sampah itu bisa disebar di setiap kecamatan.
Selain itu, sambung dia, pihaknya akan membagikan biodigester
yang lebih kecil dengan harga Rp10 juta hingga Rp20 juta per unit.
Alat-alat tersebut akan disebar ke 9.691 satuan rumah tangga di Bandung.
Harapannya, masyarakat bisa melakukan pengolahan sampah organik sejak dari
tingkat rumah tangga.
Upaya ini merupakan salah satu alternatif untuk mengelola sampah
di Bandung. Namun, pendekatan tersebut perlu dipikirkan keberlanjutannya.
Saat SP melihat langsung biodigester di Gang Simpang, dua hari
setelah peresmian oleh wali kota, tidak ada kegiatan pemilahan apalagi
pencacahan sampah organik di sana. Sambungan pipa gas yang sebelumnya dipakai
untuk bahan bakar memasak tergantung. Tidak ada lagi sambungan ke kompor untuk
ibu-ibu memasak apalagi ke rumah warga.
Ketua RW 07, Kelurahan Babakan Surabaya, Iwan Setiawan, 47
tahun, mengatakan, fasilitas biodigester yang diberi cuma-cuma oleh Dinas Tata
Ruang Cipta Karya Kota Bandung itu memang belum dimanfaatkan secara maksimal.
“Selain itu belum ada nilai ekonomisnya,” kata Iwan.
Sederhananya, ungkap Iwan, selama biodigester belum bisa
memberikan nilai tambah ekonomi buat operator atau orang yang mengelolanya,
maka fasilitas itu tidak akan digunakan secara maksimal oleh masyarakat. “Mending
mengerjakan hal lain yang jelas ada uangnya buat menutupi kebutuhan
sehari-hari,” kata Iwan sembari menambahkan saat ini ada dua operator di
biodigester tersebut.
Gas metan yang keluar dari biodigester itu memang bisa untuk
menyalakan genset berdaya 2.000 watt. Namun sebagian besar dayanya digunakan
untuk mengoperasikan biodigester. “Sementara buat gas belum optimal karena
tidak tersambung langsung ke warga. Seandainya tersambung juga hanya bisa
beberapa rumah saja. Mau ada nilai ekonomi dari mana?” ungkap Iwan lagi.
Beda lubuk beda pula ikannya. Beda lokasi biodigester, beda pula
hasilnya. Salah satu biodigester yang sudah berjalan pengelolaan sampahnya ada
di RW 11 Kelurahan Cibangkong, Kecamatan Batununggal. Lokasinya tidak jauh dari
Trans Studio Mal.
Dewi Kusmianti, 39 tahun, pengelola di sana mengungkapkan,
pengolahan sampah organik untuk menjadi pupuk bisa berjalan dengan baik di
sana. Namun untuk pemanfaatan gasnya, perlu ada perbaikan. “Biodigester ini
sudah ada sejak tahun 2010. Pemberian CSR dari bank,” kata Dewi.
Keberadaan biodigester itu, sambung Dewi, bisa menampung sampah
organik untuk kebutuhan satu RW atau 824 kepala keluarga. Setiap hari bisa
terkumpul minimal 150 kilogram sampah organik di sana.
Setiap hari ada dua petugas yang berkeliling mengambil dan
kemudian mengolah sampah tersebut. Mereka dibayar Rp475 ribu per bulan. Uang
gaji mereka berasal dari iuran warga. Setiap rumah tangga wajib membayar Rp2
ribu setiap bulan. Apabila memiliki sambungan listrik harus membayar tambahan
Rp3 ribu untuk retribusi sampah. “Mereka berdua bisa dapat uang tambahan dari
sampah-sampah non organik seperti kemasan air mineral,” ujar Dewi yang
memberikan pupuk cair hasil olahan biodigester secara cuma-cuma kepada yang
membutuhkan.
Upaya paling penting dari kegiatan ini adalah memilah sampah
sejak dari rumah. Indriyani Rachman, seorang mahasiswa program PhD di Course of
Environment and Resources Systems di Graduate School of Environmental
Engineering, The University of Kitakyushu, Jepang menyatakan, konsep pemilahan
sampah serupa berlangsung di kota tempat dia belajar.
Meski harus berakhir di insenerator, sambung Indriyani, sampah
dari masyarakat itu hampir 90 persen bisa didaur ulang. “Tidak musti berakhir
di pembakaran. Di beberapa negara lain , ada yang menggunakan controlled
landfill juga. Tentunya dengan kedisiplin nan tinggi,” kata Indriyani lewat
surat elektroniknya.
Masyarakat di Kitakyushu, sambung Indriyani, awalnya memang tidak
memiliki kesadaran tentang lingkungan. Kesadaran bermula dari para ibu rumah
tangga yang merasa polusi udara serta air di kotanya memburuk sejak pendirian
pabrik baja pada tahun 1901.
Berbekal kekhawatiran terhadap kesehatan suami dan anak-anaknya,
para ibu-ibu di sana mendesak pemerintah dan pemilik pabrik untuk memperbaiki
kondisi tersebut. Setelah 30 tahun berbenah, Kota Kitakyushu berubah menjadi
bersih dan memiliki sarana pengelolaan limbah dan sampah yang sangat maju.
Namun, sambung Indriyani, inti dari perubahan itu berawal dari tanggungjawab
masyarakat untuk memelihara lingkungannya.
Saat ini, pengolahan sampah di sana diawali dengan memilah
sampah organik, plastik kemasan, botol plastik, dan sampah kaca serta kaleng.
Setiap jenis sampah itu diangkut dalam waktu yang berbeda. Sementara untuk
buku, majalah, dan koran bekas disetor ke pusat pembelajaran kelurahan atau
dikumpulkan di taman dekat rumah, seminggu sekali pada hari Sabtu.
Untuk pengolahan sampah anorganik, pemerintah menggandeng 27 jenis
pabrik yang berbeda-beda. Semuanya dimiliki swasta namun tetap dikontrol
pemerintah. Konsep ini disebut ecotown.
Menyoal penggunaan insenerator atau tungku pembakaran sampah,
Indriyani mengungkapkan, pemerintah punya empat instalasi. Sampah yang masuk ke
insenerator adalah sampah yang tidak dibawa ke ecotown.
“Incinerator ini sepenuhnya dipantau oleh pemerintah dan
pusat reseach dari 4 universitas, yang terus menerus mencari inovasi baru.
Dengan berbagai penelitian dan hasil terbaik, saat ini asap yang dikeluarkan
oleh incinerator benar benar asap yang ramah lingkungan . sedangkan gas
dioxin nya disaring dan dimasukan ke adalam tabung dan dipindahkan ke pabrik
pengolahan limbah gas. Jadi tidak ada asap yang mengotori udara kota. Tentunya
ini menggunakan teknologi yang canggih,” tambah Indriyani.
Pengolahan
sampah paling baik memang melibatkan seluruh masyarakat. Karena sampah bukan
hanya urusan pemerintah belaka. Untuk memulainya juga cukup mudah. Bijaksana
dalam mengonsumsi dan memilah sampah sejak dari rumah kita masing-masing.